Super SINDORO


Pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan saya sebelumnya kalau tak jauh dari tempat tinggal saya, berdiri beberapa pancang bumi alias gunung yang jaraknya tidak terlalu jauh antara satu dan lainnya. Mungkin bagi teman-teman yang tinggal di sekitaran Salatiga-Kopeng sudah pasti akrab dengan yang namanya pemandangan gunung-gunung yang menjulang.
Tentu bisa menyebutkan gunung-gunung apa saja yang dekat dari situ kan… *-*

Oke, diulas kembali sedikit saja ya. Mulai dari yang paling timur ada Gunung LawuMerapiMerbabuAndongTelomoyo, UngaranSumbing, Sindoro, dan yang paling barat yang jaraknya sudah agak lebih jauh yaitu Slamet. 


Sindoro Sumbing dari Puncak Telomoyo

Si Kembar Sumbing Sindoro dari Merbabu

Sumbing - Sindoro dari Puncak Merapi


dari kiri ke kanan
Gunung Selamet, Sumbing, Sindoro, dan Gunung Prau-Dieng Plateu

Tulisan kali ini bakal saya manfaatkan untuk berbagi pengalaman saya dalam pendakian yang masih anget-angetnya dilakukan. Bisa dikatakan saat nulis postingan ini, pegel di kaki masih belum hilang   *-*. 


Mendaki Gunung Sindoro (3.153 mdpl)


Sampai lah saya pada kesempatan untuk mendaki salah satu gunung yang start awal pendakian bisa ditempuh selama 2 jam perjalanan dari rumah. Gunung yang saya maksud adalah Sindoro. Sering pula disebut-sebut sebagai kembaran Gunung Sumbing yang ada di sebelah selatannya.

Pendakian di weekend pertama bulan Juni 2013 kemarin dilakukan hanya berdua saja dengan Bayu, teman satu almamater STAN yang juga sempat nanjak bareng ke Merapi sebulan yang lalu. Bayu pernah mendaki Sindoro sebelumnya, namun tentunya setiap pendakian walau di gunung yang sama pasti view yang terhampar akan berbeda. 
Pengalaman Bayu mendaki Sindoro sebelumnya tentu akan lebih meringankan pendakian kali ini karena sedikit banyak medannya sudah nyangkut di kepalanya.
Setelah fix segala persiapannya, kami pun janjian bertemu di basecamp pendakian Gunung Sindoro via Jalur Kledung.


Gunung Sindoro


birunya Sindoro dari Sumbing

Sebelum lebih jauh masuk ke cerita pendakian saya di gunung yang punya puncak setinggi 3.153 mdpl ini, ada baiknya berkenalan dulu dengan gunung istimewa yang satu ini.

Ada beberapa nama yang biasa dipakai masyarakat untuk menyebut gunung tersebut. Di kalangan pendaki sih lebih akrab dengan nama Sindoro, tapi masyarakat sekitar ada pula yang memakai nama Sendoro atau Sundoro.
Gunung dengan Kawah Jolotundo tersebut berdiri gagah berdampingan di sebelah utara Gunung Sumbing, tepatnya berada di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah. Di sebelah baratnya terhampar pemandangan keren yang sudah sangat tersohor yaitu Dieng Plateu dengan bentang alam khasnya.

Bertipe stratovolcano yang bentuknya menyerupai kerucut raksasa dengan bukit kecil di lereng barat dayanya. Sampai sekarang masih aktif megeluarkan kepulan asap belerang dari kawahnya. Bahkan di pergantian tahun baru 2013 lalu sempat ada dua pendaki yang tewas karena gas beracun dari kawah tersebut. Ckckck…

Jalur Pendakian

Edelweis di jalur pendakian Kledung

Jalur Kledung

Jalur ini Berada di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Selain menjadi favorit karena keindahan di sepanjang medannya, basecamp-nya sendiri bisa dicapai dengan mudah dari arah barat (Purwokerto) maupun dari arah timur (Magelang) karena berada persis di tepi jalan raya Magelang-Wonosobo. 
Basecampnya sih sepertinya baru saja pindah dari yang semula agak masuk di tengah kampung, tapi sekarang ada di Balai Desa Kledung tepat di pinggir jalan sisi kanan kalau dari arah Magelang. Tergolong masih belum terlalu berada di ketinggian memang sehingga jarak ke puncak masih sangat jauh banget.
Gapura Desa Kledung bisa dilihat dengan jelas di seberang lapangan bola yang letaknya beberapa meter sebelum gapura memasuki Kabupaten Wonosobo. 

Basecamp Gunung Sumbing via Garung juga tak terlalu jauh kok, tapi sudah masuk wilayah Kabupaten Wonosobo. Sehingga nggak jarang juga ada pendaki yang melakukan pendakian marathon di dua gunung tersebut.


Peta Jalur Pendakian via Kledung

Jalur Sigedang (Tambi)

Kalau jalur yang satu ini masuk dalam wilayah Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo dan dekat dengan objek wisata Dataran Tinggi Dieng. Enaknya sih jalur ini dipilih sebagai jalur turunnya, sekalian mencicipi keindahan Dieng Plateu. Namun, kabarnya jalur ini lebih sulit dilalui karena berupa tanjakan terjal yang terus-menerus. Jalur ini juga tergolong masih sepi karena kebanyakan pendaki lebih memilih jalur Kledung yang akses transportasinya lebih mudah. Tapi untuk menambah pengalaman boleh juga mencoba jalur ini.
Basecamp jalur ini bisa dicapai dengan angkutan umum maupun pribadi. Jika naik bus, bisa dipilih bus jurusan Dieng lalu turun di Rejosari atau Tambi yang jaraknya sekitar 15 km. Kemudian diteruskan dengan jalan kaki atau bisa juga ojek ke arah Sigedang yang berjarak kurang lebih 4 km. 
Perijinan bisa dilakukan dengan Pak Amin, tapi bisa juga dilakukan di Sikatok yang letaknya kurang lebih 20 m dari perbatasan kabupaten.

Di sekitar basecamp terhampar luas perkebunan teh khas dataran tinggi yang menjadi pemandangan tersendiri bagi para pendaki Sindoro. Normalnya sih kalau melewati jalur ini memakan waktu 6-7 jam untuk sampai ke puncaknya.

Spot khas di jalur ini adalah "Watu Susu" yang menyerupai bentuk payudara wanita. Ada anggapan pula kalau Sindoro ini merupakan gunung perempuan karena adanya batu tersebut dan yang menjadi pasangannya adalah Gunung Sumbing sebagai suaminya.  *-*  hehe pasangan yang serasi....  
Eh, masih kurang afdol kalo pasangan suami istri nggak ada anaknya. Gunung Sindoro juga punya anak lho namanya Gunung Kembang, yang nempel di lerengnya.

Menuju puncak lewat jalur ini nantinya bukan langsung ketemu kawahnya, tapi akan sampai di tugu perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung yang letaknya di tepi lapangan “Segoro Wedi”.

Jalur Bansari

Jalur ini termasuk jalur pendakian baru yang diresmikan pada 6 juli 2012 tepat jam 24.00 oleh KOMPAS Bansari (Komunitas Peduli Alam Sindoro). 
Basecamp-nya berada di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten TemanggungJawa Tengah. Kecamatan tersebut juga merupakan kecamatan baru hasil pemekaran dari Kecamatan Parakan.
Jalur Bansari mempunyai 6 pos yang memiliki nama tersendiri, antara lain Pos Sedempul, Turunan, Tunggangan, Saoma, Mlelan, dan Manisrejo.

Jika melalui jalur lain, kita akan kesulitan menemukan sumber mata air bersih di sepanjang jalur pendakian, akan tetapi di Jalur Bansari kita bisa menemukan sumber air bersih di Pos Tunggangan dan Pos Saoma.
Sumber mata air di pos Tunggangan, berjarak sekitar 200 m ke arah utara dari shelter. Mata sir di pos tersebut berupa jalur sungai yang mengalir karena air hujan. Sehingga jika musim kemarau akan mengering. 
Menurut info dari KOMPAS Bansari pada tahun 2012, terdapat pula air di sisi utara Pos Saoma yang bisa dicapai dengan berjalan menurun sekitar 200 m. Sumber air tersebut menurut informasi juga tidak bergantung pada musim.

Kelebihan jalur ini dari pada yang lain selain adanya sumber air adalah treknya yang relatif lebih landai dan juga hutannya yang masih cukup lebat.

Jalur yang lain yang bisa menjadi akses alternatif mencapai puncak Sindoro adalah via Jumprit di Temanggung. Tapi perlu keahlian dan pengalaman untuk melewatinya agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan.


Menuju Puncak via Kledung


Basecamp Pendakian Sindoro
via Kledung
Dari beberapa jalur yang bisa dimanfaatkan pendaki untuk menuju puncak, kami lebih memilih Jalur Kledung yang lebih mudah dijangkau.
Tepat pukul 1 siang saya mulai menaiki motor untuk menuju basecamp dengan melewati Magelang lalu ke arah simpang tiga Secang dan menuju ke arah Temanggung.
Hampir selama dua jam di atas sepeda motor menempuh perjalanan yang cukup melelahkan dengan cuaca yang sedikit labil yang kadang panas menyengat tapi bisa tiba-tiba turun hujan.
Setelah melewati Parakan, ternyata Bayu yang berangkat dari rumahnya di Sumowono jam 10 dengan bus sudah sampai duluan di basecamp. 
Beberapa saat kemudian saya pun juga tiba disana. Ternyata tempat perijinan pendakian Sindoro berada di pinggir jalan raya, tepatnya ada di satu kompleks dengan Balai Desa Kledung. Awalnya sih letak Basecamp sedikit ada di dalam desa, entah sejak kapan dan kenapa pindah saya juga kurang tahu.

Setelah repack peralatan pendakian, kami pun mengisi buku tamu dan membayar biaya administrasi Rp 3.000,- per orang dan Rp 5.000,- untuk penitipan motor. Tak lupa ada tambahan Rp 1.000,- untuk peta dan keterangan jalur pendakian yang dibekalkan kepada kami. Buku tamu saat itu hanya terisi penuh satu lembar saja yang kebanyakan rombongan dari luar Jateng.

Sebelum memulai pendakian, petugas di basecamp memberikan wejangan-wejangan agar selalu berhati-hati terutama jika cuaca buruk jangan mengaktifkan alam komunikasi dan juga saat di puncak dilarang menuruni kawahnya mengingat adanya asap sulfatara yang cukup berbahaya.

Siap…

Kami saat itu juga ditawari ojek sampai di batas ladang warga dengan hutan. Untuk menghemat waktu kami memutuskan mengiyakan tawaran bapak ojek yang sudah standy di basecamp. Dengan tarif Rp 10.000,- nanti kami bisa menghemat tenaga sekaligus waktu. Normalnya dari basecamp sampai puncak memakan waktu sekitar 7-8 jam. Tapi dengan awalan menumpang ojek dulu tentunya akan lebih cepat dari biasanya. Jika jalan kaki perlu satu jam untuk sampai di batas ladang namun jika dengan ojek cukup 8 menit saja.

Jam sudah menunjuk angka 3 lebih 30’ alangkah baiknya jika diawali dengan Sholat Ashar dulu di masjid di dekat basecamp sebelum mulai mendaki. 
Setelah selesai, kemudian kami naik ojek menuju batas akhir ladang penduduk yang penuh ditanami tembakau.

Sama seperti di Sumbing yang juga harus melewati ladang-ladang penduduk di lerengnya dengan melalui tanjakan dengan jalan berbatu terjal. Bedanya kalau di Sindoro jalur di sisi ladangnya tidak terlalu menanjak seperti di Sumbing. Walau begitu, ketidaktersediaan sumber air bersih di Jalur Kledung ini juga lah yang membuat kami memutuskan menggunakan jasa ojek itu dulu.

Pukul 16.00 kami turun dari ojek dan memulai pendakian yang sebenarnya tentunya dengan doa dulu sebelum melangkahkan kaki mendekati puncak. Jalan sisi ladang yang semula cukup lebar kini berganti dengan jalan setapak saja dan mulai menanjak.  

Berjalan beberapa saat ternyata kami sudah menjumpai Pos 1 dengan shelter cukup nyaman untuk beristirahat. Namun karena baru beberapa saat berjalan kami memilih lanjut saja menuju Pos 2. Jalur yang kami lewati saat itu berada di rerimbunan hutan gunung yang berada dibawah pengelolaan Perum Perhutani Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Kedu Utara. 
Masalah trek di awal pendakian masih wajar-wajar saja dengan jalan tanah yang cukup enak dilalui.

Sampai lah kami di satu shelter kedua yang merupakan pos bayangan. Kami tidak singgah dan terus melanjutkan perjalanan karena stamina masih cukup stabil. Kemudian kami melewati jembatan kayu yang disusun rapi di atas jalur air yang lumayan dalam. Beberapa saat kamudian kami melewati jembatan kayu kedua. Sering-sering lihat peta saja yaaa, soalnya ada beberapa percabangan yang mengarah ke jalan buntu. Kalau bisa lihat saja di jalan tanah yang masih ketara jejak kaki pendaki atau tanda lain yang ditinggalkan untuk menunjukkan ke jalur yang benarnya.

Ada keunikan yang kami temui di pendakian kali itu. Mendekati Pos 2 kami menemukan dua trek yang cukup surprising karena yang namanya naik gunung tentunya jalannya bakal nanjak, tapi saat itu kami melewati dua turunan yang cukup curam.  Setelah itu kami mulai melihat shelter yang tampak lumayan masih baru-baru dibangun. Dan itulah Pos 2-nya. Lagi-lagi kami tidak mampir di pos tersebut dan lanjut saja mendaki.

Saya rasa dengan mendaki berdua akan lebih mudah mengatur tempo. Tanpa harus saling tunggu menunggu dan jarak pun bisa saling menyesuaikan. Saat itu kami tak banyak beristirahat tapi tidak juga buru-buru, cukup melangkah dengan tempo stabil saja. 
Beban yang saya bawa di punggung saat itu sepertinya menjadi bawaan yang paling berat yang pernah saya pikul. Bagaimana tidak, air mineral saja bawa 3 botol besar, belum yang lainnya. Tapi memang lebih baik bawa lebih dari pada kekurangan. 
Mi instan pun dikurangi  jumlahnya agar penggunaan air juga bisa dihemat. Sebagai gantinya saya membawa nasi matang dengan lauk sarden dan telur rebus.

*-*


Hari mulai gelap dan gerimis mulai turun rintik-rintik. Merasa belum terlalu deras kami pun belum memakai jas hujan. Sayup-sayup mulai terdengar adzan maghrib. Kami pun duduk sebentar sekalian beristirahat menanti adzan selesai dikumandangkan. 
Lalu kami lanjut untuk mencari dataran yang cocok untuk sholat.

Di tengah sholat, hujan yang sebenarnya akhirnya turun dengan derasnya. Selesai sholat kami mulai memakai jas hujan dan melanjutkan lagi pendakian. 

Oiya beda medan antara Sindoro dan Sumbing adalah jenis tanah di Sindoro lebih enak dipijak dari pada Sumbing yang didominasi tanah liat yang jika diguyur air hujan menjadi sangat licin.

Pukul 18.00 kami akhirnya sampai di Pos 3 setelah mendaki dengan guyuran hujan yang jatuh di kepala. Di pos tersebut sudah ada dua rombongan pendaki yang sudah nyaman di dalam tendanya masing-masing. Kami belum berminat untuk mengikuti jejak mereka untuk mendirikan camp. Kami lanjut saja tanpa mampir karena tidak ada tempat berlindung di pos tersebut.

Dengan memakai jas hujan rasanya langkah kaki makin berat dan tidak leluasa. Maka saat hujan tinggal sisa-sisanya, kami memutuskan melepas jas hujan saja agar lebih ringan melangkah di medan yang makin menanjak ekstrim.


Yap, benar memang… Selepas Pos 3 trek yang kami lalui semakin berat saja. Sampai-sampai tak hanya kaki saja yang bekerja, tapi tangan pun ikut bekerja meraih bebatuan sebagai pegangan untuk meraih tingkat di atasnya. 
Trek kini didominasi dengan batu-batuan yang bisa mempersulit tapi bisa saja mempermudah, tergantung kita memilih mana batu yang tepat untuk mempermudah langkah.

Sindoro memang istimewa, tak perlu sampai di pos untuk bisa menemukan tanah lapang. Dari Pos 1 hingga menuju Pos 4 setidaknya kami sudah menemukan belasan tanah datar yang bisa digunakan sebagai tempat camp, tapi tidak untuk ramai-ramai memang karena tiap dataran mungkin hanya cukup untuk satu sampai dua tenda. 
Sempat kami temui satu rombongan pendaki yang hanya membangun bivak saja untuk bermalam, hingga ada pula pendaki yang mendirikan tenda di tempat yang sangat nyaman dan terlindung dari angin. Tapi kami belum bisa memutuskan untuk mendirikan camp saat itu. Kami masi melangkah terus mendekati puncak. 
Sampai kami menemukan satu dataran yang kami rasa cukup nyaman dengan terlindungi oleh tebing tinggi di satu sisi, namun di sisi lain sangat terbuka. Tak apa lah sisi terbuka itu mengarah ke Gunung Sumbing, biar kami tidur ditemani dengan pemandangan Sumbing di seberang.

Oiya kami sampai di tempat camp kami yang berada di bawah Pos 4 atau Watu Tatah sekitar jam 8 malam, sehingga kalau ditotal kami telah melangkah selama 4 jam dari start pendakian hingga tempat camp tersebut.

Kami segera mendirikan tenda berframe paralon yang di bawa Bayu dan memberesi barang-barang kami. Setelah tenda berdiri lalu kami memasak minuman hangat sekaligus santapan malam. Karena tendanya tidak ber-fly sheet sampai-sampai saat kami memasak di dalam tenda, angin gunung pun merembes ke dalam yang membuat api kompor tidak bisa tenang. 
Bau belerang kawah di puncak sedikit mulai tercium dari tenda yang menunjukkan bahwa puncak memang sudah dekat, tapi yang penting malam itu kami istirahat dulu untuk mempersiapkan tenaga untuk summit attack esok hari.

Menu kami malam itu adalah minuman coklat hangat dan juga nasi sarden plus telur rebus. Cukup mengenyangkan sebelum tidur di malam berbintang. 
Semoga esok hari bisa sampai puncak dengan sukses dan cerah ceria.


Saatnya tidurrr......!!!!!!  Good Night....!!!!!!




_____*-*_____

Penasaran kan bagaimana perjuangan kami sampai di pucuk Sindoro dan seindah apakah penampakan puncaknya terus apakah dapet momen sunrise yang diimpikan yaaa....



Biar lebih penasaran lagi, nih saya pamerin sekelumit keindahannya....
*-*


langit biru yang unyu

Super Sindoro

semacam Surya Kencana dan Tegal Alun

melihat Edelweis segar untuk pertama kalinya

Puncak ber Edelweis

Dieng Plateu dari Puncak Sindoro


Cerita kami selengkapnya menuju puncak bisa dilihat disini nih.....

Komentar

  1. Saya tambahkan ya gunung-gunung di Jawa Tengah yang bisa di daki :p

    Ada gunung Prau (Gunung tertinggi ke 7 di Jateng)
    Gunung Muria (Gunung paling utara walau gak tinggi)
    Gunung Lasem (Gunung paling timur, di bawah 1000m)
    dan gunung2 kecil lain :p

    BalasHapus
  2. @El Cid:

    yah kalo itu lumayan jauh mas, misi awal yg deket2 dulu aja lahh....

    berapa gunung yang uda km daki mas...
    tau sampe sedetil itu lagi....

    BalasHapus
  3. sebenarnya gunung yang saya daki masih dikit banget, tapi gara-gara saya sering keluyuran pake motor jadi tahu gunung-gunung kecil.

    Lah Slamet kan termasuk jauh kalau dari Salatiga :D

    BalasHapus
  4. @El Cid:

    iya sih jauh, tapi kalo bisa sampe puncak Slamet kan dapet kayak satu pencapaian gutu lho, bisa mendaki puncak tertinggi Jateng...

    Kalau prau sih insyaallah kapan2 kesana... katanya sih view nya keren juga...

    gunung yang paling ujung ujung ntar misi ke dua kali yaa heheh....

    BalasHapus
  5. bener di prau viewnya bagus, sayang pas saya ke sana lagi mendung dan habis terbakar.

    BalasHapus
  6. fto2x keren.... salam lestari..

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam lestari kemabali....

      trimakasi banyak... :D

      Hapus

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!