Satu kata yang saya rasa pantas disandangkan pada satu kegiatan yang dilakukan untuk menemukan harta karun dalam bentuk keindahan alam yang tersembunyi yaitu “BLUSUKAN”. Hal itu pula lah yang saya, Angga, dan Meykke lakukan dalam rangkaian perburuan kami mencari keindahan alam di sekitaran Banyubiru di hari Selasa, 30 April 2013 ini. Kami bertiga yang merupakan teman sewaktu SMA baru-baru ini juga pernah melakukan pendakian bareng ke Gunung Andong. Pendakian kala itu sebenarnya dilakuakan berempat ditambah dengan Agam, namun dalam trip kali ini dia tidak ikut serta karena masih disibukkan dengan skripsinya.
Perjalanan yang saya lebih suka menyebutnya sebagai ekspedisi ini sebenarnya merupakan rangkaian perjalanan setelah melakukan hunting poto-potonarsis di Benteng Pendem “Willem I” di Ambarawa.
Perjalanan yang saya lebih suka menyebutnya sebagai ekspedisi ini sebenarnya merupakan rangkaian perjalanan setelah melakukan hunting poto-poto
Blusukan kali ini awalnya hanya tertuju pada satu candi di pinggiran Rawa Pening yang juga sempat saya kunjungi sendirian beberapa waktu yang lalu, tapi karena Angga dan Meykke merasa penasaran dengan keeksotisan candi peninggalan Prabu Brawijaya Pamungkas itu akhirnya mendorong saya untuk kembali ke tempat tersebut.
Segera lah kami tancap gas menuju lokasi Candi Dukuh berada, tepatnya di Desa Rowoboni dekat objek wisata Bukit Cinta. Dalam perjalanan menuju destinasi tersebut saya tak melulu menghadap mengarah ke depan layaknya pengendara motor kebanyakan, saya yang tergiur dengan keindahan alam di sekitaran Jalan Raya Banyubiru seakan pengen punya mata di setiap sisi kepala. Selama perjalanan itu saya habiskan dengan jelalatan menikmati keindahan Banyubiru yang didominasi dengan persawahan dan perbukitan yang menjulang tinggi. Sawah-sawah yang tergenang air irigasi menciptakan keindahan tersendiri dengan refleksi yang berpadu dengan bayang-bayang perbukitan di permukaannya.
Pemandangan yang awalnya persawahan pun segera berganti dengan
pemukiman-pemukiman penduduk desa yang mulai berbenah hampir meyerupai perkotaan. Mata ini
pun belum terdorong untuk berkonsentrasi memandang ke arah depan, masih saja
asik dengan berjelalatan ria. Angga dan Meykke yang berboncengan di depan saya
terasa sangat cepat melaju hingga jarak antara kami tak disadari
makin menjauh. Mungkin mereka sudah tak sabar lagi untuk segera sampai di Candi
Dukuh, atau malah
karena perut mereka sudah keroncongan pengen
segera mencicipi pecel keongnya Mbak Tun di depan Pemandian Muncul hingga
mereka memacu motor secepat itu.
Mata saya yang jelalatan pun akhirnya mendatangkan
Objek Wisata tersebut rasanya masih asing di telinga saya. Beberapa kali melewati pertigaan tersebut rasanya baru kali itu melihat papan petunjuk tersebut. Dari segi warna dan bentuk papan yang terlihat masih kinclong, saya kira memang baru saja dipasang. Berarti pula air terjun kembar tersebut masih belum banyak dikunjungi orang.
Menuju Curug Kembar Baladewa
Kami masuk gapura dan melaju terus hingga kami sampai di tempat pemecahan batu-batu. Khawatir tersasar karena keterbatasan petunjuk mengenai lokasi air terjun itu, kami pun bertanya pada ibu-ibu di dekat tempat pemecahan batu tersebut. Ternyata kami kebablasan dan jalan sebenarnya adalah berbelok di gapura kedua. Gapura ini berada di sebelah kanan jalan tengah desa.
Setelah melewati gapura tersebut kami kira tak perlu memacu motor terlalu jauh lagi, namun ternyata hingga menanjaki perbukitan tinggi kami belum juga sampai.
Setelah melewati gapura tersebut kami kira tak perlu memacu motor terlalu jauh lagi, namun ternyata hingga menanjaki perbukitan tinggi kami belum juga sampai.
Makin lama jalanan makin menanjak dan menjauhi peradaban penduduk. Jalan saat itu sudah cukup mulus semulus paha ceribel dengan aspal yang tampak masih belum terlalu lama dibangun. Rawa Pening pun makin cantik dan tampak sangat-sangat luas banget dari jalanan menanjak tersebut. Cuaca yang cerah sangat mendukung ekspedisi kami hari itu sehingga semangat kami tetap menggebu hingga menemukan lokasi curug kembar itu berada.
Kami merasa semakin “mblusuk” atau mengarah makin pelosok saja yang ditunjang dengan suasana yang makin sepi dan makin menuju puncak bukit yang rimbun. Hingga akhirnya kami berpapasan dengan seorang ibu muda yang siap menuruni bukit untuk berladang. Kami pun berhenti sejenak untuk menanyakan kebenaran lokasi air terjun yang ingin kami tuju. Ibu itu pun berkata bahwa Desa Wirogomo tempat curug kembar itu bersemayam masih dua kilo meter lagi. Walau ibu itu terkesan tidak mantap menyebutkan jarak yang masih harus kami tempuh, tapi kami percaya saja karena ibu itu juga menerangkan kalau kami hanya perlu mengikuti jalan berasapal itu saja.
Makin jauh kami melaju makin indah pula pemandangan yang terlihat. Sudah
Yap, akhirnya gerbang lokasi air terjun sudah terlihat. Kami pun masuk dengan leluasa karena hanya kami pengunjung saat itu yang datang, selain beberapa pekerja penggergaji kayu yang sedang duduk leyeh-leyeh di dekat gapura air terjun. Sepinya pengunjung disamping mungkin karena masih minimnya informasi yang menjelaskan keberadaan Curug Baladewa tersebut, hari itu juga bukan merupakan hari libur sehingga hanya kami bertiga saja yang hari itu mengunjunginya.
Oiya, kami saat itu masuk ke lokasi air terjun tanpa merogoh kocek sepeser pun alias gratis. Tempat petugas tiket sebenarnya sudah ada, tapi tidak ada yang jaga. Fasilitas di sekitar tempat parkir sudah cukup lengkap dengan adanya warung dan kamar mandi yang baru selesai dibangun.
Oiya, kami saat itu masuk ke lokasi air terjun tanpa merogoh kocek sepeser pun alias gratis. Tempat petugas tiket sebenarnya sudah ada, tapi tidak ada yang jaga. Fasilitas di sekitar tempat parkir sudah cukup lengkap dengan adanya warung dan kamar mandi yang baru selesai dibangun.
Usai memarkirkan motor dan memastikannya aman, kami segera memulai trekking mendekati curug kembar Bolodewo bersemayam. Dari lokasi parkir ternyata kami masih harus berjalan menyusuri jalan setapak di pinggir sawah sejauh 400m. Ada beberapa percabangan di jalan setapak yang kami lalui, untung saja ada bapak-bapak penggergaji kayu yang berjalan di belakang kami. Di percabangan pertama bapak itu mengarahkan kami untuk ambil jalan yang ke kiri.
Tak lama kemudian kami temui sungai kecil jalur irigasi sawah yang airnya sangat jernih, mungkin berasal dari aliran air terjunnya. Kami berjalan menyusuri jalur irigasi tersebut yang sudah disemen. Sampai di ujung kami masih harus jalan terus sampai kami menyebrangi sungai kecil. Jalan setapak itu makin berat saat bertemu dengan trek yang dipenuhi dengan lumpur.
Tak lama kemudian kami temui sungai kecil jalur irigasi sawah yang airnya sangat jernih, mungkin berasal dari aliran air terjunnya. Kami berjalan menyusuri jalur irigasi tersebut yang sudah disemen. Sampai di ujung kami masih harus jalan terus sampai kami menyebrangi sungai kecil. Jalan setapak itu makin berat saat bertemu dengan trek yang dipenuhi dengan lumpur.
Tak berapa lama berjalan, kami menemui aliran sungai lain yang juga harus kami seberangi. Setelah menyeberangi sungai dan trekking beberapa langkah akhirnya kami temukan air terjunnya. Alirannya tak terlalu deras namun cukup tinggi. Aliran air terjun tersebut jatuh di sebuah penampungan dan mengalir menuruni teras-teras yang menciptakan keindahan tersendiri.
Karena dari namanya yang ada unsur kembar-kembarnya, saya pun penasaran dengan kembaran air terjun yang pertama. Saya naik keatas duluan untuk mencari saudara kembar yang terpisah dari air terjun pertama. Benar saja setelah naik tanjakan yang cukup sulit dilalui, akhirnya saya menemukan air terjun kedua. Tak berbeda jauh dari air terjun pertama, aliran air di lokasi kedua ini juga tak terlalu deras bahkan lebih kecil malah. Namun tebing yang menjadi sandaran air terjunnya lebih eksotis.
Tak lupa kami berpose dengan latar belakang air terjun tersebut. Beberapa saat kemudian, saya merasa ada sesuatu yang janggal di kantong celana saya. Astaga naga…!!! Ternyata kunci motor saya tak ada di kantong. Saya pun mulai panik dan segera mencari-cari keberadaan benda kecil yang sering terselip itu. Sepertinya masih tertancap di jok motor. Lupa dicabut saat mau nyantolin helm tadi. Khawatir terjadi sesuatu, saya pun bergegas menuju lokasi parkir duluan. Berlari sekencang-kencangnya tak peduli lumpur yang memenuhi jalan setapak dan batu-batu yang menghadang saya tebas saja. Dan sesampainya di parkiran, alhamdulillah kunci motor masih tertancap di jok motor. Keringat tak terasa mengucur deras dan nafas tersengal-sengal, saya pun istirahat sejenak sembari menunggu Angga dan Meykke datang.
Beberapa menit menunggu mereka belum nongol-nongol juga. Saya pikir mereka poto-poto dulu di jalan karena memang pemandangannya sangat ajiib. Saya pun melanjutkan leyeh-leyeh di kursi bambu di dekat parkiran. Beberapa menit kemudian mereka berdua datang. Selain karena mereka poto-poto pemandangan dulu, selama saya menunggu ternyata mereka selingi perjalanan ke parkiran dengan tersesat
Keindahan Curug Kembar Baladewa
Setelah lelah di tubuh sirna dan dahaga terobati, kami pun memacu motor lagi untuk menuju destinasi selanjutnya yang sempat tertunda karena mendatangi Curug Kembar Bolodewo ini terlebih dulu yaitu Candi Dukuh.
Candi Dukuh
Candi Dukuh ini berada di Desa Rowoboni Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang. Sempat saya kunjungi beberapa waktu yang lalu setelah mampir sejenak di Bukit Cinta. Ceritanya ada disini.
Candi tersebut memang berada di pinggir Rawa Pening, tepatnya di atas sebuah bukit kecil.
Untuk sampai di lokasi candi ini kami masuk di gapura desa di sebelah kiri jalan yang berada sekitar 5 menit setelah gerbang Bukit Cinta. Ada petunjuknya kok di pinggir jalan.
Candi tersebut memang berada di pinggir Rawa Pening, tepatnya di atas sebuah bukit kecil.
Untuk sampai di lokasi candi ini kami masuk di gapura desa di sebelah kiri jalan yang berada sekitar 5 menit setelah gerbang Bukit Cinta. Ada petunjuknya kok di pinggir jalan.
Setelah masuk gapura desa terus jalan saja hingga ketemu petunjuk selanjutnya yang mengarah ke kiri. Di ujung jalan barulah ditemui pintu masuk ke kompleks candi. Kalau beberapa waktu yang lalu saya mengunjungi candi ini dalam keadaan pagar terkunci rapat, saya harapkan kali ini pagar yang mengelilingi candi terbuka.
Memasuki Gapura Candi Dukuh, kami masih harus meniti anak tangga menuju puncak bukit kecil di tepi rawa pening untuk bisa sampai di kompleks candi. Di tengah jalan kami berpapasan dengan bapak-bapak yang misterius. Dalam Bahasa Jawa beliau menanyakan tujuan kedatangan kami, lalu saya pun menjawab kalau kami hanya pengen melihat-lihat saja. Saya bertanya lagi mengenai dibuka atau tidaknya pagar candi, beliau pun menjawab sekelumit kalimat yang tak kami dengar terlalu jelas. Di akhir percakapan beliau mengatakan kalau mau lihat-lihat silahkan saja.
Dengan langkah yang sedikit pelan kami melanjutkan menaiki anak tangga menuju lokasi candi tentunya dengan perasaan hati yang sedikit terganjal dengan kemisteriusan bapak tadi.
Dengan langkah yang sedikit pelan kami melanjutkan menaiki anak tangga menuju lokasi candi tentunya dengan perasaan hati yang sedikit terganjal dengan kemisteriusan bapak tadi.
Angga yang meratapi terkuncinya pagar candi |
Kerimbunan lokasi candi tersebut menyebabkan banyak sekali serangga-serangga yang mengerubungi kami, mulai dari nyamuk, ulat kecil, laba-laba, dan beberapa jenis serangga lainnya. Mungkin mereka tertarik dengan kedatangan tiga manusia ini sehingga langsung diserbunya. Rasanya predikat "BLUSUKAN" juga pantas disandangkan pada perjalanan kami menuju Candi Dukuh ini.
Di kompleks candi kami hanya ambil gambar dari luar pagar saja. Dengan mengelilingi setiap sisi candi yang tidak terlalu luas itu kami berusaha mengabadikan setiap reruntuhan candi yang tersebar di sekeliling pelataran.
Candi Dukuh memang tidak lagi utuh, yang tampak masih berdiri hanya satu teras candi utama saja dengan yoni ditengahnya. Yoni ini menunjukkan bahwa candi tersebut merupakan candi bercorak Hindu. Cerita mengapa candi ini bisa dibangun di pinggir Rawa Pening bisa di baca di akhir cerita saya tentang pendakian Gunung Lawu.
Di kompleks candi kami hanya ambil gambar dari luar pagar saja. Dengan mengelilingi setiap sisi candi yang tidak terlalu luas itu kami berusaha mengabadikan setiap reruntuhan candi yang tersebar di sekeliling pelataran.
Bangunan utama Candi Dukuh dengan Yoni di tengahnya |
Candi Dukuh memang tidak lagi utuh, yang tampak masih berdiri hanya satu teras candi utama saja dengan yoni ditengahnya. Yoni ini menunjukkan bahwa candi tersebut merupakan candi bercorak Hindu. Cerita mengapa candi ini bisa dibangun di pinggir Rawa Pening bisa di baca di akhir cerita saya tentang pendakian Gunung Lawu.
Lho ada hubungan apa memang candi ini dengan Gunung Lawu???
Puas bercengkrama dengan Candi Dukuh dengan dipisahkan ruang dan waktu pagar yang tergembok, akhirnya kami menyudahi kunjungan kami di candi peninggalan Prabu Brawijaya V itu.
Galery Keeksotisan Candi Dukuh
mengintip Candi Dukuh |
terlihat dupa di dekat yoni, menandakan masih difungsikannya candi ini sebagai tempat ibadah |
reruntuhan bangunan candi |
Pos Penjagaan candi yang juga terkunci rapat |
di anak tangga yang menanjak |
Destinasi selanjutnya adalah berwisata kuliner di Warung Mbak Tun di depan pemandian Muncul yang tersohor dengan kelezatan pecelnya. Menu tersebut dirasa biasa saja yaa??? Tapi lihat dulu kombinasinya. Kita bisa memilih teman menyantap pecel tersebut antara lain keong, belut, wader, lele, dan menu khas rawa lainnya. Pastinya puas deh…
Weew, si Meykke kalah cepat dari Yanta. Tumben. *sambil ngerjain post Gunung Andong yang entah kapan kelarnya, maklum pake on screen* :p
BalasHapus@Stufly:
BalasHapuskejar setoran haha.....
yaampun kapan rampungnya Andongmu klo pke onscreen?
uda awal bulan ni....
Yanta, intrupsi! Namaku m e y k k e. Bukan meyke atau pun meike...-______-
BalasHapusmari kita merengkuh destinasi berikutnyaaaaah!!!
@Meykkesantoso:
BalasHapusokkk..... editted..... :D
kalo "k" nya 2 pronounciation -nya how???
@ardi yanta: bacanya ya kayak baca dgan tajwid idgham bilagunnah ta...
BalasHapusMantap bosku
BalasHapus