Rencana utama mengerjakan suatu hal memang terkadang akan terselip
rencana-rencana dadakan yang tak terduga bisa dilakukan, tentunya yang
merupakan hal menarik dong. Sama halnya dengan yang terjadi pada saya di hari
Jumat selepas Ashar kurang dari dua minggu yang lalu. Saat itu saya pingin
mengunjungi Candi Dukuh yang
ada di sekitaran Rawa Pening. Saat hampir melewati gapura desa tempat candi itu
berada yang ada di Jalan Raya Salatiga-Banyubiru terbelesit keinginan untuk
menikmati Rawa Pening dari dekat terlebih selama ini belum pernah melakukannya,
hanya bisa melihat dari jauh atau pun hanya sekedar lewat saja. Saya putuskan
saat itu untuk menuju Objek Wisata Bukit Cinta dulu sebelum ke Candi Dukuh.
Sering banget sih lewat tempat ini, tapi ya lagi-lagi cuman lewat. Mumpung ada
kesempatan dan biar gak dibilang kuper karena objek wisata di dekat rumah
sendiri masak belum pernah mengunjunginya.
Masuklah saya ke Bukit Cinta melalui gerbang masuk yang sedang
direnovasi. Setelah memarkirkan motor saya langsung menuju loket masuk yang
bentuknya sangat unik yaitu menyerupai mulut naga raksasa yang menganga. Kalau
pas beli tiket rasanya seperti masuk mulut naga beneran jadinya. Karena saat
itu hari jumat maka dikenakan tarif hari biasa sebesar Rp 6.000,-.
Bentuk
naga yang ada di loket wisata tersebut tidak semata-mata hanya sekedar variasi
bentuk bangunan saja, namun Rawa Pening menyimpan satu legenda yang mungkin
sudah banyak yang tahu. Legenda terjadinya danau ini tak lepas dari sebuah naga
raksasa yang merupakan jelmaan seorang anak kecil bernama Jaka Baru Klinthing.
Karena cacat yang ada pada dirinya dan penyakit kulit yang menjijikkan, oleh
penduduk sekitar dia dicemooh, dihina, dan diusir, namun dia tetap tersenyum
tanpa ada amarah dihatinya. Dari legenda yang berkembang, diceritakan bahwa
karena kesombongan penduduk sekitar maka Baru Klinting mengambil sebuah lidi
lalu ditancapkannya ke tanah dan menyuruh satu-persatu dari penduduk sombong
itu untuk mencabutnya. Tidak ada seorang pun yang bisa hingga akhirnya Baru
Klinthing sendiri yang mencabutnya. Seiring dengan lidi tercabut maka keluarlah
sumber air yang memancar deras tanpa henti yang akhirnya menenggelamkan satu
desa dan desa yang tenggelam itulah yang akhirnya membentuk satu danau cantik
yang bernama Rawa Pening. Kisahnya memang menarik, hingga satu program malam di
salah satu stasiun tv "Dua Dunia" yang ingin menggali informasi
mengenai kebenaran legenda yang berkembang tersebut melalui proses mediumisasi
di lokasi ini. Setelah melihat tayangan ulangnya saya menyimpulkan bahwa
legenda yang sudah tersebar luas tersebut memang terjadi sesungguhnya yaitu
menurut narasumber yang tak lain adalah penjaga objek wisata tersebut
mengatakan bahwa pada tahun 708 Saka atau menjelang abad 8 M ada seorang gadis
cantik cantik bernama Dewi Ari Wulan yang sedang mengandung tetapi dengan
status tanpa suatu ikatan pernikahan. Sebelum ia mengandung sempat satu hari
dia meminjam pisau kepada seorang resi. Namun karena kelalaiannya pisau
tersebut sempat dipangkunya, ternyata memang akan mendatangkan satu peristiwa
yang tidak disangka yaitu pisau tersebut masuk ke dalam perutnya dan akhirnya
dia hamil. Setelah waktunya tiba ia bukan melahirkan seorang bayi, yang ada
malah seekor naga yang sedari lahir saat itu sudah bisa langsung berbicara.
Saat beranjak besar naga tersebut menjelma menjadi seorang anak kecil seperti
yang saya sebutkan tadi. Pada akhirnya ia mengadakan sayembara dengan
menancapkan satu lidi yang bernama "Sadha Lanang" (sadha = lidi ,
lanang = laki-laki). Di mata umum pusaka itu berbentuk lidi namun sebenarnya
pisau itu adalah pusaka pinjaman ibunya dari seorang resi. Lalu Baru Klinthing
pun berkata kepada penduduk setempat bahwa siapa saja yang bisa mencabut lidi
ini dari tanah berarti orang itu sakti. Tak seorang pun yang mampu, hingga dia
sendiri yang mencabutnya. Karena kesombongan mereka, maka turunlah azab dari
sang kuasa melalui Baru Klinthing lalu terjadilah Rawa Pening.
Lain
ceritanya dari hasil mediumisasi, bisa saya simpulkan bahwa cerita itu hanya
sebuah kiasan saja karena tidak mungkin seorang manusia melahirkan seekor ular
naga. Disebutkan oleh makhluk yang merasuk di salah seorang medium bahwa ular
naga tersebut bagi tetua dulu merupakan suatu aib, maksudnya anak yang
dilahirkan tetaplah manusia. Namun anak yang dilahirkan dari orang tua yang
tidak memiliki satu ikatan pernikahan adalah sebuah aib. Maka ular lah yang
dipakai sebagai perumpamaan suatu aib dari peristiwa tersebut. Sedangkan cerita
asli tanpa ada kiasannya makhluk itu bercerita bahwa memang ada seorang gadis
yang meminjam pisau pada resi atau tokoh yang ada. Dan ada suatu
"hal" yang terjadi diantara mereka berdua. Namun seorang resi tidak
boleh melakukan suatu ikatan dengan wanita. Memang sifat manusia yang penuh
hawa nafsu, akhirnya wanita itu pun akhirnya mengandung. Dan pisau pusaka itu
hanyalah perumpamaan dari kejadian tersebut. Karena malu, akhirnya sang resi
pergi tidak tau rimbanya berada hingga kini, yang diketahui adalah keberadaan
anak hasil hubungan meraka tersebut. Cacat fisik dan penyakit kulit itu juga
merupakan gambaran dari keburukan suatu perbuatan yang hanya didasari oleh hawa
nafsu belaka oleh orang tuanya.
Di
akhir percakapan sang medium berkata kalau ada satu kunci yang bisa diambil dan
dipelajari untuk diterapkan di kehidupan yaitu kebaikan dan kesabaran dari
seorang anak yang bernama Baru Klinthing itu. Sedang air yang keluar dari lidi
yang dicabut itu juga memiliki makna, yaitu bahwa air adalah sumber kehidupan
yang dibutuhkan setiap makhluk hidup. Dikiaskan pada sikap Baru Klinting yang
sabar dan tanpa amarah menghadapi caci makian, maka kesabaran itulah yang
menjadi sumber kehidupan bagi setiap manusia seperti layaknya air. Air yang
menenggelamkan seluruh desa juga merupakan akibat dari kesombongan yang
tentunya azab itu terjadi bukan karena kehendak Baru Klinting, melainkan itulah
hukuman dari sang pencipta.
Sejatinya
memang Rawa Pening adalah sebuah pedesaan, sedang nama Rawa Pening itu hanya
pemberian manusia jaman dulu. Tapi nama Baru Klinting adalah nama pemberian
ayahnya yang sebelum pergi memberikan suatu benda yang bisa mengeluarkan
bunyi-bunyian.
Jadi
cerita Baru Klinthing dan Rawa Pening memang benar adanya, tapi bukan dari
manusianya itu sendiri melainkan dari Tuhan agar bisa diambil suatu pelajaran.
Dulunya memang ada sebuah mata air yang karena perubahan alam, maka akhirnya
mata air itu mulai meluas dan jadilah Rawa Pening.
Makhluk
yang merasuki medium pun berpamitan dan dia mengaku kalau dia merupakan pertapa
yang juga mengenal ayah dan ibu dari Baru Klinting.
Dari
cerita yang berkembang atau pun dari penelusuran tim Dua Dunia kita sebagai
orang beriman sebaiknya mengembalikan semua itu kepada Allah SWT, hanya Dia
yang mengetahuinya karena Dia lah pencipta seluruh jagad raya ini. Cerita Baru
Klinthing dibuat memang ditujukan untuk bisa diambil hikmah dan kebaikannya
bagi manusia.
Legenda
tetaplah sebuah legenda.....
Rawa Pening penuh enceng |
Lepas dari legenda terjadinya Rawa Pening ini saya ingin segera masuk ke objek wisata dan menikmati keindahannya. Setelah mengantongi karcis, lalu naiklah saya melalui anak tangga menuju sebuah bukit yang ditumbuhi banyak pohon pinus. Pertama kali yang saya lihat adalah sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat sepasang Lingga dan Yoni yang tak lain adalah petilasan Ki Godho Pameling, mungkin dari bentuk arca lingga yang menyerupai bentuk "gadha" sejenis senjata untuk memukul musuh maka dinamakan demikian.
Di atas bukit saat itu sedang ada pembangunan suatu bangunan di
tengahnya, mungkin nantinya dipakai sebagai tempat pementasan seni. Selain itu
ada juga warung-warung milik masyarakat setempat yang menjual berbagai makanan
dan minuman untuk pengunjung.
Ada pula kursi-kursi untuk bersantai menikmati
sejuknya udara dan tentunya keindahan Rawa Pening yang mistis sekaligus
eksotis. Jika pergi kesana dengan anak-anak ada juga arena bermain untuk
mereka. Kurang lengkap kalau ke Rawa Pening tidak berlayar ke tengah danaunya.
Disana terdapat dermaga kapal motor khusus untuk mengantar pengunjung untuk
menikmati rawa pening dengan berkeliling sampai tengahnya dengan tarif Rp
35.000,- per setengah jamnya maximal 8 orang untuk satu kapal.
Dermaga Kapal Rawa Pening |
Rawa pening selain mendatangkan berkah bagi warga sekitar dari sektok wisatanya, ternyata dari enceng gondok yang tumbuh subur di permukaan airnya, yang semula dianggap pengganggu, ternyata juga bisa menjadi sumber rejeki. Dengan bermodal keterampilan dan ketelatenan penduduk maka batang enceng gondok bisa disulap menjadi kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomis yang lumayan. Dengan mengeringkan batangnya dan mengepangnya, tumbuhan air tersebut bisa dijadikan kursi, meja, dan berbagai kesenian lain yang bisa dijadikan cinderamata khas Rawa Pening.
Batang Enceng Gondok Rawa Pening |
Mulai mengering |
dikepang selanjutnya bisa dijadikan ornamen kursi, meja, dll |
Selain itu ada pula cerita mistis mengenai Rawa Pening yang
memakan korban tenggelam saat memancing atau naik perahu, tapi kembali
pada keimanan masing-masing apakah itu ada faktor "X" dari Rawa
Pening atau memang dari kecerobohan manusia itu sendiri. Di sisi lain tempat
inilah yang menjadi bukti betapa besarnya kuasa Allah SWT yang menciptakan
sesuatu pasti ada hikmah dan manfaatnya. Seperti cerita legenda yang berkembang
mulai menasional, dapat diambil hikmah bahwa sebagai manusia kita tak
sepantasnya sombong.
mas, fotonya enak dimata :)
BalasHapussalam mbolang :)
trimakasih... :D
Hapussalam kenal...
Mantab artikelnya
BalasHapusmakasih mas...
Hapusmas salam kenal ya...
BalasHapusklo ke bukit cinta dari arah semarang gimana ya? klo dari kampung rawa mananya ya? thx infonya...
Bukit cinta itu sebelah selatannya rawa pening, kalo Kampung rawa itu kan di utaranya rawa pening. Jadi berseberangan.
HapusKalo mau ke bukit cinta lewat banyubiru Mbak.
keren nih... saya kalo dari pekanbaru kira2 kesasar gak ya mas?
BalasHapus