Makassar Hari Ketiga part. 2 (Dusun Berua)




Setelah keluar dari kawasan Taman Batu Rammang-rammang, kami pun bergegas menuju dermaga penyebrangan ke Dusun Berua. Jalan kaki lagi tentunya, namun sekarang panasnya jadi tak karuan. Terik matahari mungkin sedang maksimalnya terpancar ke bumi. Dari taman batu, kami berjalan kembali keluar desa menuju jalan ke arah pabrik semen kamudian mencari keberadaan jembatan pertama yang dibawahnya mengalir Sungai Pute. Menurut info yang saya dapatkan sih begitu, tapi jauh dekatnya masih belum sepenuhnya kami ketahui. Pokoknya yakin saja kalau kami bisa, yeahhh. 
Dan benar saja, karena keyakinan kami tersebut tak berjalan terlalu jauh akhirnya kami temukan jembatan pertama. Dibawahnya sudah ada perahu kertas yang siap melaju membawa kami. Pakai tawar-tawar dulu dong pastinya, berharap kejadian hari sebelumnya ke Pulau Samalona dengan Si Enal tak terulang lagi disini. Tapi sepertinya bapaknya baik kok, nggak seekstrim persaingan antar calo di dermaga penyebrangan ke Samalona.


Tawar-tawar akhirnya kami deal di Rp 150.000,- untuk satu ketinting. Saya sebenarnya tak yakin dengan perahu sekecil itu bisa mengankut kami bertiga ditambah bapaknya, tapi kata beliau ternyata pernah juga mengangkut penumpang hingga 6 orang belum termasuk bapaknya. Kami naik satu persatu ke ketinting tersebut dengan sedikit goyangan-goyangannya yang membuat jantung berdegub kencang. Setelah ambil posisi masing-masing di atasnya, mesin pun mulai dinyalakan dan petualangan menyusuri Sungai Pute menuju Dusun Berua pun dimulai. Pemandangannya sungguh luar biasa, mendekati pemandangan green canyon di Jawa Barat. Mirip mirip juga sama sungai sebelum Air Terjun Sri Gethuk di Gunung Kidul. Eh tunggu, masih ada satu lagi yang mirip, gunung-gunung karangnya mirip yang ada di Pulau Sempu.







   
Selama hampir 15 menit kami terombang-ambing di atas ketinting kecil akhirnya kami sampai di Desa Berua. Waow, saya ada dimana ini sungguh menakjubkan. Lagi-lagi saya terhipnotis akan keunikan pemandangan yang tersaji. Benar saja saingannya China dan Vietnam, ini sih memang sudah kelas internasional. Deretan pegunungan kapur terhampar di depan mata dengan beberapa kolam yang menciptakan refleksi karst yang memukau.

welcome to BERUA

super memukau

Dari salah satu warga Dusun Berua kami tahu beberapa informasi tentang dusun tersebut, meski kadang bahasanya yang tidak terlalu saya pahami tapi sedikit-sedikit bisa saya tangkap lah intinya. Dusun Berua dihuni 15 kepala keluarga yang sebagian besar mengolah sawah dan bercocok tanam, ada pula yang memelihara ikan di tambak yang ada di sekitaran rumah dan sebagai sampingan ada juga yang bekerja di sektor pariwisata seperti menjadi pengantar pengunjung dari dermaga menuju Dusun Berua dengan perahu ketinting. 

Ada satu warga yang dituakan di desa tersebut, bernama Daeng Beta. Beliau pula lah yang menangani perijinan di Berua. Tak perlu ribet-ribet banget kok, hanya cukup mengisi buku tamu yang disediakan. Cukup dengan itu, tapi jangan dianggap sepele. Meski tak dipungut biaya sepeserpun lagi saat berada di berua, namun masih ada saja yang tak mau sekedar ijin dan mengisi buku tamu. Terbukti saat kami datang, ada salah satu pengunjung yang kena marah. Sebabnya karena tidak ijin dulu saat jalan menuju ke goa purba. Saya kalau jadi warga asli situ juga bakal merasa kurang dihormati juga sih kalau begitu. Lokasi rumah Daeng beta ada agak di tengah, tapi rumah itu yang pertama dilewati kalau kita mau ke goa yang konon ada cap tangan manusia purba.

Kami pun penasaran ingin membuktikan kebenaran info tersebut. Kami berjalan mendekati bukit karst yang ada di sebelah barat laut, melewati depan rumah Daeng Beta. Kami pun tiba-tiba dipanggil salah seorang yang ada di rumah panggung. Mengingat kata bapak tua tadi di depan, lebih baik kami mampir dulu dan ijin. Tapi langkah kami sedikit berat, kalau-kalau nanti ada biaya tambahan. Tapi kalau nggak mampir entar nggak boleh masuk goa. Pikir-pikir dulu… OKE lah kami mampir dan bergabung ditengah obrolan Daeng Beta dengan rombongan mahasiswa dari Makassar. Walah, nggak mudheng yang diomongin deh. Alamat Cuma angguk-angguk geleng-geleng doang. 
Kami mengisi buku tamu dan sedikit buka-buka di halaman depan. Orang pertama yang mengisi buku tamu ternyata di tahun 2013. Entah baru di tahun itu ada buku tamu atau memang Dusun Berua baru mulai ramai dikunjungi wisatawan tahun 2013 kurang tau juga. Sempat saya lihat juga di buku tamu ada pengunjung dari satu stasiun televisi ternama di Indonesia. Berarti mungkin juga pernah nongol di TV, tapi pas saya gak lihat sepertinya.

Tak seperti yang kami kira, ternyata saat mau melanjutkan perjalanan ke goa tak dipungut biaya tambahan lagi. Kami bergabung saja dengan rombongan mahasiswa dari Makassar itu, kalau kesasar kan biar rame-rame. Masih berjalan di area persawahan warga, kami akhirnya sampai di goa yang katanya ada cap telapak tangan manusia purba. Tapi ternyata cukup susah juga mencari lukisan telapang tangan yang dimaksud karena memang tak banyak yang terlukis di dinding goa. Susah payah akhirnya ketemu juga, coba kalau teman-teman kesana lomba cepet-cepetan nyari cap telapak tangannya, pasti seru.



   
Wah ternyata sudah mulai sore. Kami pun segera menuju dermaga karena sudah janjian sama bapak supir ketinting mau dijemput jam 3. Namun masih ada satu spot lagi yang mau kami datangi. Di tengah sungai dalam perjalanan balik ke dermaga, bakal ditemui penunjuk jalan yang mengarah ke satu telaga yang dinamakan Taman Bidadari. Dari namanya aja bikin penasaran. Kami pun meminta agar nanti berhenti disana.

Perlu trekking dulu untuk mencapai Telaga Bidadari. Bagi yang baru pertama berkunjung, nanti bakal ada warga yang mengantar. Kami sempat pikir-pikir lagi saat ditawari mau diantar, maklum duit udah makin mepet. Jadi kalau mau apa-apa pikir-pikir dulu, siapa tahu ntar minta uang tip. Tapi kalau nggak diantar ntar kemungkinan kesasar juga makin besar, apalagi medannya belum kami ketahui. Jadilah kami mengiyakan tawaran itu. Kami pun diantarkan seorang ibu-ibu menuju Telaga Bidadari. Cukup jauh ternyata, jalannya belok-belok lagi. Sampai di telaga, ibu itu berpamitan dan berpesan kalau mau pulang pakai jalan yang tadi saja. Oke deh buk, makasih yaa. Oh, ternyata nggak minta uang tip kok. Kami memang terlalu meng-underestimate setiap yang ditawarkan. Kami sudah kapok saat mau ke Samalona. Disana apa-apa bayar, mau duduk di pinggir pantai harus sewa bale-bale mau ini mau itu bayar lagi. Tapi ternyata selama di Karst Maros Cuma bayar kapal doang, selebihnya gratis.

duduk di bale-bale Dusun Berua tidak gratis,
tapi kalau duduk di depannya gratis kok...
sama-sama adhem

Perjalanan 3 hari di Makassar ditutup dengan destinasi dengan pengalaman yang paling seru menurut saya. Saatnya pulang dengan membawa kenangan dan foto-foto yang cakep. Terimakasih Makassar. Sampai ketemu lagi di tempat-tempat indah yang lainnya.


Dilain kesempatan, saya kembali ke Dusun Berua untuk yang kedua kalinya...
Mau tau ceritanya ??? dan apakah sama aja pemandangan yang bisa dilihat ???


Bisa dilihat disini nih (klik


Komentar

  1. bro,klo sudah datang ke sulawesi mending ane saranin ke pulau wakatobi yg ada di sulawesi tenggara,.
    katanya disitu tempat yg sip bwt adventure

    BalasHapus
    Balasan
    1. sudah direncanakan kok bro... tinggal tunggu tanggal

      Hapus
  2. Boleh gabung ngga in the next expedisi? :)

    BalasHapus
  3. butuh perahu, kami menyewakan perahu untuk menyusuri sungai Rammang-Rammang, hubungi : Sunardi ( 087 840 811 319 / 085 230 742 876 ).........

    BalasHapus
  4. ohh iyaa pernah liat di tayangan televisi ,,kalo gak salah acara
    masak-masak yang host nya cakep ituh :D

    sumpaah kereeenn kk pict nyaaaa,,

    BalasHapus
  5. sangu duit berapa tuh gan untuk menjelajah ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha... Sangu secukupnya aja...
      Tapi harus cash yg penting, soalnya di dusun Ga ada ATM hehe

      Hapus

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!