Perjalanan menuju Kota Semarang di suatu pagi membawa saya mlipir
dulu ke satu klenteng yang terkenal di kota tersebut yaitu Klenteng Sam Poo
Kong. Tempat ini menarik hati saya untuk mengunjunginya karena mungkin tempat
ini juga sudah menjadi icon Semarang selain Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Gereja
Blenduknya. Klenteng ini dibangun sebagai penanda pernah singgahnya seorang
penjelajah lautan yang sangat pemberani dari China yaitu Laksamana Cheng Ho.
Sebenarnya sih tujuan ke Semarang saat itu untuk menikmati suasana jadul Kota Lama Semarang, tapi karena masih pagi yaa gak ada salahnya menikmati suasana
negeri “tirai bambu” dulu di salah satu sudut Kota Semarang. Bermodal
pengetahuan mengenai Kota Semarang yang pas-pasan dan mengingat kembali memori
perjalanan bolak balik Salatiga Semarang saat geladi dari kampus tahun lalu,
saya akhirnya bisa menemukan lokasi tempat ini berada. Sebelumnya saya pernah
mendengar dari seorang teman yang asli dari Semarang kalau mau ke Klenteng Sam
Po Kong lewat di pertigaan depan RS Kariadi ambil ke kanan kalau dari Tugu
Muda. Tapi hanya itu saja yang saya tahu, tidak lebih.
Pada
tanggal 20 Februari 2013 lalu saya sempatkan mengunjungi klenteng tersebut
sebelum ke “Kota Lama” dengan berbelok di pertigaan depan RS Kariadi. Setelah
itu saya masih harus tengok kanan dan kiri karena belum begitu tahu persis lokasinya
berada.
Beberapa menit memacu motor dan melewati satu jembatan dengan
sungai dibawahnya yang lumayan besar, mulai terlihatlah bangunan dengan ornamen
merah-merah di kejauhan. Benar saja, itulah klenteng yang saya cari, Klenteng Sam Poo Kong.
Klenteng tersebut mengingatkan saya pada satu masjid di Pandaan, Kab. Pasuruan yang sempat saya datangi sewaktu mau ke Gunung Bromo. Masjid itu benama Masjid Muhammad Cheng Hoo yang memiliki arsitektur akulturasi antara kebudayaan Tiong Hoa dan nuansa Islam. Sejarah masjid yang diresmikan pada 27 Juni 2008 itu oleh Bupati Pasuruan H. Jusbakir Aldjufri, S.H, M.M belum sempat saya ketahui. Apakah memang ada hubungannya dengan singgahnya Cheng Hoo di daerah tersebut atau bagaimana masih menjadi tanda tanya bagi saya. Mungkin ada teman-teman yang tahu? boleh dishare dong.....!!!
Masjid yang hampir serupa dengan klenteng |
Dari luar
kompleks Klenteng Sam Po Kong saat itu suasana imlek masih terasa karena memang
perayaan imlek baru beberapa hari berlalu namun di lokasi sudah tak terlalu
ramai, hanya beberapa orang Chinese yang hendak sembayang.
Ada
beberapa bangunan yang ada di kompleks tersebut. Bangunan pertama yaitu
bangunan yang digunakan untuk sesi pemotretan bagi pengunjung yang ingin membawa
kenang-kenangan berupa foto dengan berpose memakai kostum ala negeri China
Untuk
memasuki bangunan inti dari tempat ibadah yang sudah mulai menjadi tempat
wisata ini, pengunjung harus membeli tiket lagi sebesar Rp 20.000,- karena di
dalamnya digunakan sebagai tempat ziarah dan napak tilas perjalanan Laksamana
Cheng Ho.
Untuk
lebih mengenal siapa Laksamana Cheng Ho itu dan bagaimana akhirnya bisa
mendarat di Semarang, ada baiknya kita simak dulu sejarah singkat perjalanan
beliau yang suka mengelana ke penjuru dunia dengan kapal legendarisnya.
Laksamana Muhammad Cheng Ho

Cheng
Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle
dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama
aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao, berasal dari Provinsi
Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian
dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara
fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.
Beberapa sumber menyebutkan, Ma He (Nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.
Ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani, kaisar menyetujuinya.
Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah. Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka (Sultan Mansur Shah).
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
Beberapa sumber menyebutkan, Ma He (Nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.
Ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani, kaisar menyetujuinya.
Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah. Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka (Sultan Mansur Shah).
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
Karena
beragama Islam, para temannya mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin melakukan
Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para
arkeolog dan para ahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini.
Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan kapal
armadanya.
Cheng
Ho adalah penjelajah dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia yang
pernah tercatat. Juga memiliki kapal kayu terbesar dan terbanyak sepanjang masa
hingga saat ini. Selain itu beliau adalah pemimpin yang arif dan bijaksana,
mengingat dengan armada yang begitu banyaknya beliau dan para anak buahnya
tidak pernah menjajah negara atau wilayah dimanapun tempat para armadanya merapat.
Semasa
di India termasuk ke Kalkuta, para anak buah juga membawa seni beladiri lokal
yang bernama Kallary Payatt yang mana setelah dikembangkan di negeri Tiongkok
menjadi seni beladiri Kungfu.
Sebagai
orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk
agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah
menunaikan rukun Islam kelima itu.
Bulan
Ramadhan adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7
Desember 1411 sesudah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini
menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah.
Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa
semarak.
Setiap
kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum
melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah
ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. Kapal-kapalnya
diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam.
Ma
Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai
penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian
(Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan
negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan
dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di
laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.
Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.
Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.
Cheng Ho sampai di Indonesia
Cheng
Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera
Pasai, ia memberi lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh,
yang kini tersimpan di museum Banda Aceh.
Tahun
1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa
cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya,
sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan
Cirebon.
Sewaktu
Laksamana Cheng Ho sedang berlayar melewati Laut Jawa ada seorang awak kapalnya
yang sakit, ia memerintahkan membuang sauh. Kemudian ia merapat ke pantai utara
Semarang yang bernama Pantai Simongan dan mendirikan sebuah masjid di tepi
pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi klenteng. Bangunan itu
sekarang telah berada di tengah kota Semarang di akibatkan pantai utara jawa
selalu mangalami pendangkalan diakibatkan adanya sedimentasi sehingga lama
kelamaan daratan meluas ke utara hingga seperti saat ini.
Klenteng Sam Poo Kong
Tempat ibadah etnis Tiong Hoa ini sering
disebut juga dengan Kelenteng
Gedung Batu Sam Po Kong.
Adalah sebuah
petilasan yang tepatnya merupakan bekas tempat persinggahan dan
pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng
He / Cheng Ho.
Terletak
di daerah Simongan, sebelah barat daya Kota Semarang.
Tanda yang menunjukan sebagai bekas petilasan yang berciri keislamanan dengan
ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan
mendengarkan bacaan Al Qur'an". Tempat ini biasa disebut Gedung Batu,
karena terdapat satu goa batu yang berukuran besar.
Karena kaburnya sejarah, orang Indonesia keturunan cina menganggap
bangunan itu adalah sebuah klenteng, mengingat bentuknya
berarsitektur China sehingga mirip sebuah kelenteng. Sekarang
tempat tersebut dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau
bersembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut, di dalam
gua batu itu diletakan sebuah altar, serta patung-patung Sam Po Tay Djien.
Padahal laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim, tetapi oleh mereka di anggap
dewa. Hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tau menganggap
orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.
Konon,
setelah Zheng He meninggalkan tempat tersebut karena ia harus melanjutkan
pelayarannya, banyak awak kapalnya yang tinggal di desa Simongan dan kawin
dengan penduduk setempat. Mereka bersawah dan berladang ditempat itu. Zheng He
memberikan pelajaran bercocok-tanam serta menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
Muslim
pemberani ini meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India), dalam pelayaran
terakhirnya.
Galeri dari Klenteng Sam Poo Kong
Lampion penghias Taman |
kental suasana China |
bisa berpose ala Kokoh dan Cici |
Bangku Taman Klenteng Sam Poo Kong |
Masih belum rampung di cat |
Pintu Masuk langsung menuju Klenteng utama |
Patung Liong di Klenteng Sam Poo Kong |
Bangunan Utama di Klenteng Sam Poo Kong |
Patung Cheng Ho |
Patung-Patung di Klenteng Sam Poo Kong dengan wajah seremmm...!!! |
Beberapa bangunan inti Klenteng Sam Poo Kong |
Taman di Klenteng Sam Poo Kong |
ijin ambil 2 gambar
BalasHapushttp://www.zenshifu.com/semarang-trip-klenteng-sam-poo-kong/