Anak muda jaman sekarang memang sukanya
kumpul-kumpul dengan yang punya kesukaan yang sama, termasuk kami yang punya minat
lebih dengan yang namanya mendaki. Kami yang awalnya adalah sekumpulan perantau
dari Tanah Jawa yang ditempatkan sama-sama di Pulau Sulawesi dan disatukan lagi
dalam suatu pendakian Bawakaraeng Agustus 2014 silam, membuat kami memutuskan
untuk memberi nama pada perkumpulan kami ini. Dan dalam pendakian kedua menuju
Puncak Lompobattang yang punya ketinggian sekitar 2.870 mdpl pada tanggal 11-12
Oktober 2014 lalu, barulah tercetus satu nama yang begitu mewakili
masing-masing dari kami. Cuman lucu-lucuan saja lah, biar kalau bikin grup di
WhatsApp ada nama kerennya gitu hahah. "JAVABEST" yang kepanjangannya "Orang Jawa Penempatan Celebest" adalah nama yang akhirnya kami pilih yang begitu merepresentasikan kami semua.
Pendakian kedua setelah mendaki GunungBawakaraeng (±2.830 mdpl) yang tak sampai ke puncaknya karena terhalang badai
dengan 14 orang dalam satu tim bakal kami susul dengan pendakian ke Gunung
Lompobattang yang berada di sebelah selatan Gunung Bawakaraeng. Kali itu kami
mendaki dengan anggota tim setengah dari jumlah personil pendakian yang lalu.
Mengenai jalur pendakian, menurut info yang kami dapat bisa melewati Malino yang berdekatan dengan jalur pendakian Bawakaraeng namun berbeda dusun. Jalur pendakian Lompobattang sisi utara diawali dari Dusun Lengkase. Dari Basecamp Bawakaraeng (Dusun Lembana) masih naik lagi. Kami belum tahu letak tepatnya sih karena kami saat itu melewati jalur yang lain yaitu Desa Malakaji yang merupakan jalur selatan.
GUNUNG LOMPOBATTANG (±2.870 mdpl)
Gunung tidak berapi ini terletak masih dalam satu deretan dengan Gunung Bawakaraeng dan juga sama-sama berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Gunung dengan nama yang berarti "Perut Besar" ini tak kalah pamornya dengan Bawakaraeng, termasuk yang menjadi favorit para pendaki. Saat musim haji atau menjelang Idul Adha pun ramai. Selain pendaki, penduduk sekitar pun yang masih menganut suatu kepercayaan tertentu turut meriuhkan gunung tersebut.
Mengenai jalur pendakian, menurut info yang kami dapat bisa melewati Malino yang berdekatan dengan jalur pendakian Bawakaraeng namun berbeda dusun. Jalur pendakian Lompobattang sisi utara diawali dari Dusun Lengkase. Dari Basecamp Bawakaraeng (Dusun Lembana) masih naik lagi. Kami belum tahu letak tepatnya sih karena kami saat itu melewati jalur yang lain yaitu Desa Malakaji yang merupakan jalur selatan.
Jalur selatan pendakian Gunung Lompobattang
diawali dari Dusun Lembang Bu’ne. Memang masih termasuk wilayah Kab. Gowa,
namun untuk menuju basecamp Dusun Lembang Bu’ne kita perlu melewati 2 kabupaten
yang lain yaitu Takalar dan Jeneponto. Sangat jauh memang, saat itu kami yang
menyewa mobil pick
up menghabiskan 5 jam berada di atasnya sebelum akhirnya sampai ke
basecamp. Dari Kota Makassar pukul 07.00 pagi menuju Kab. Gowa via Sungguminasa
lalu melewati Kab. Takalar selanjutnya Kab. Jeneponto hingga masuk lagi di Kab.
Gowa.
Melewati jalanan aspal yang terlihat masih baru dan tentunya mulus,
akhirnya kami sampai juga di wilayah Kecamatan Tompobulu. Mulai dari situ
jalanan mayoritas berbatu dan banyak genangan air karena memang mulai masuk ke
dusun-dusun menuju Desa Malakaji. Bagitu menemukan desa tersebut, saatnya
mencari letak dusun dimana titik awal pendakian akan dimulai, yaitu Dusun
Lembang Bu’ne.
Kami cukup kesulitan saat hendak mencari basecampnya, padahal dusun yang dimaksud sudah kami temukan. Gampangnya, titik awal pendakian punya patokan yaitu sebuah masjid yang bernama Masjid Al-Ikhlas dan perijinan bisa dilakukan di kediaman Tata Juma. Perlu masuk ke jalan kecil berbatu di depan sebuah rumah tembok atau warga setempat menyebutnya rumah batu untuk sampai kesana. Rumah itu sangat mudah menjadi patokan karena di sekitarnya mayoritas rumah penduduk berbentuk panggung dan terbuat dari kayu. Mobil bisa melewati jalan berbatu yang cukup menanjak tersebut untuk menuju basecamp, namun tentunya mobil yang punya tenaga ekstra yaaa.
saat kami melintasi sebuah pasar di Kab. Jeneponto |
Kami cukup kesulitan saat hendak mencari basecampnya, padahal dusun yang dimaksud sudah kami temukan. Gampangnya, titik awal pendakian punya patokan yaitu sebuah masjid yang bernama Masjid Al-Ikhlas dan perijinan bisa dilakukan di kediaman Tata Juma. Perlu masuk ke jalan kecil berbatu di depan sebuah rumah tembok atau warga setempat menyebutnya rumah batu untuk sampai kesana. Rumah itu sangat mudah menjadi patokan karena di sekitarnya mayoritas rumah penduduk berbentuk panggung dan terbuat dari kayu. Mobil bisa melewati jalan berbatu yang cukup menanjak tersebut untuk menuju basecamp, namun tentunya mobil yang punya tenaga ekstra yaaa.
Kami tiba di Masjid Al-Ikhlas tepat sebelum
kumandang adzan dhuhur. Karenanya kami sempatkan dulu untuk sholat dhuhur
sekaligus ashar di masjid tersebut. Meski saat itu cuaca sangat panas terik,
namun merasakan berwudhu dengan air disana serasa berwudhu dengan air es, brrrr.
Kami pun siap mendaki Lompobattang di tengah
terik matahari siang itu. Gunung bisa terlihat jelas di depan kami namun tanah
tertinggi yang nampak saat itu bukan puncaknya, tapi Pos 7. Dari bawah
terlihat pendek memang, karena yang tampak bukan puncaknya. Puncak masih berada
di sebaliknya yang entah masih sejauh apa kami harus melangkah. Usai berdoa
kami mulai melangkah sedikit demi sedikit menuju puncaknya.
Basecamp – Pos 1 (30 menit)
Kami mulai dengan berjalan di sebuah jalan
dusun yang berbatu cadas namun tidak terus-menerus mengikuti jalan tersebut,
karena untuk menuju Pos 1 kita perlu berbelok ke kiri ke arah perkebunan warga.
Setelah itu tinggal mengikuti jalan setapak dengan pemandangan hamparan sayur
mayur yang begitu subur. Tanpa terasa kita akan tiba di Pos 1 dengan sebuah
sungai yang ternaungi pohon rindang sebagai penandanya.
Pos 1 – Pos
2 (45 menit)
Menuju Pos 2 trek sudah mulai berat dengan
tanjakan yang lumayan panjang. Sudah tidak ditemukan lagi perkebunan warga
karena vegetasi sudah berupa hutan yang sangat rimbun. Cukup membantu kami yang
tengah mendaki di siang bolong sehingga terik matahari tak sampai di kulit
kami. Mendekati Pos 2 jalur pendakian mulai datar hingga sampai di pos. Pos ini
juga terdapat sungai jernih yang bisa digunakan untuk mengisi penuh persediaan
air karena kita tidak akan menemukan lagi sumber mata air sebelum kita sampai
di Pos 9.
Pos
2 – Pos 3 (1 jam)
Selepas Pos 2 kita akan melewati tanjakan
yang sedikit curam hingga melewati Pos 2 yang ke-2 berupa tanah lapang yang
teduh. Setelah itu pemandangan akan sedikit terbuka sehingga kita bisa melihat
luasnya hamparan hutan Lompobattang. Tapi sayangnya puncak masih belum terlihat.
Ingat, jalur dari Pos 2 ke Pos 3 ini banyak percabangan, karenanya kita perlu melihat tanda-tanda yang sudah disediakan. Biasanya berupa tanda yang diikat pada batang pohon. Saat menemukan percabangan ambil jalur yang ke kanan. Tak jauh dari situ kita akan menemukan Pos 3.
Ingat, jalur dari Pos 2 ke Pos 3 ini banyak percabangan, karenanya kita perlu melihat tanda-tanda yang sudah disediakan. Biasanya berupa tanda yang diikat pada batang pohon. Saat menemukan percabangan ambil jalur yang ke kanan. Tak jauh dari situ kita akan menemukan Pos 3.
Pos 3 – Pos 4 (1.5 jam)
Akan banyak menemukan pohon tumbang yang
menghalangi jalur pendakian saat melewati jalur menuju Pos 4 ini. Tanjakan
masih belum berakhir hingga kita sampai di pos selanjutnya yang berada di puncak bukit
dengan pepohonan yang rindang namun agak terbuka.
Pos 4 – Pos
5 (30 menit)
Meninggalkan Pos 4 akan dijumpai sebuah turunan yang cukup tajam hingga sampai disebuah punggungan mengarah ke bukit yang lain. Setelah itu kita akan menemukan tanjakan lagi. Perjalanan kami menuju Pos 5, bertepatan dengan momen sunset yang cukup memanjakan mata. Kami berhenti sejenak untuk menikmatinya sembari meregangkan otot-otot kaki. Belum puas dengan keindahan yang ditawarkan kami segera bergegas untuk menuju Pos 5, siapa tahu pemandangan matahari tenggelam dari sana lebih cantik. Ternyata pos tersebut tidak terlalu terbuka namun kami masih bisa mengintip indahnya gradasi langit senja di sela pepohonan.
Pos 5 – Pos
6 (30 menit)
Matahari pun akhirnya tenggelam di
peraduannya, saatnya kami menggelar sajadah untuk menunaikan sholat maghrib
berjamaah. Usai sholat kami melanjutkan pendakian yang masih jauh. Perjalanan
kami kini mulai dipandu dengan cahaya senter yang kami bawa hingga kami
akhirnya sampai di Pos 6.
Pos 6 – Pos
7 (1.25 jam)
Menuju Pos 7 yang merupakan puncak dari
Gunung Assumpolong (±2.673 mdpl) mengharuskan kami untuk mendaki di tanjakan
berbatu terjal. Pos ini bisa dijadikan area camp yang cocok karena
berupa tanah lapang yang cukup luas dan bisa melihat pemandangan puncak Gunung
Lompobattang degan jelas. Namun perlu diingat jika memutuskan menggelar tenda disini karena pos ini tidak ada sumber
mata air. Kami pun tidak mendirikan tenda di pos ini karena kami menargetkan
untuk sampai di Pos 9 sebagai tempat camp.
Pos 7 – Pos
8 (1 jam)
puncak disana adalah Pos 7 |
Pos 8 – Pos
9 (15 menit)
Melanjutkan perjalanan menuju Pos 9 melewati
jalur setapak berbatu kami akhirnya sampai di pos dimana kami akan mendirikan
tenda. Salah satu yang menjadi penanda pos ini adalah keberadaan bongkahan batu
besar yang bisa menaungi tenda-tenda dari angin. Sudah ada beberapa tenda yang
didirkan di pos tersebut. Kami kebagian tempat tepat dibawah bongkahan batu
besar tersebut. Informasi yang kami dapat, diwaktu tertentu batu besar tersebut
meneteskan titik-titik air. Mungkin para pendaki yang lebih dulu sampai di Pos
9 tidak memilih mendirikan tenda di bawahnya karena khawatir tenda mereka akan
basah terkena tetesan air dari batu besar tersebut, namun karena saat itu
sedang musim kemarau jadilah tenda kami kering-kering saja, bahkan saat paginya
tak ada embun yang menempel di tenda.
Pos 9 – Puncak (30 menit)
Pukul 04.00 pagi kami bangun dan berkemas
untuk summit attack. Pagi buta itu tak sedingin saat mendaki gunung
sebelumnya, cuaca sangat bersahabat. Namun, tantangan yang masih harus kami
hadapi adalah medan menuju puncak Gunung Lompobattang yang begitu ekstrim. Trek
menuju puncak bervariasi mulai dataran hingga tebing batu besar horizontal yang
hampir punya kemiringan mendekati 90° sehingga ada kalanya kami harus memanjat
pada tebing-tebing batu tersebut.
Selain kemiringan yang cukup membuat
adrenalin mengalir cepat, tantangan tidak habis sampai disitu. Jurang menganga
di sisi jalur pendakian juga mengharuskan pendaki untuk selalu waspada,
terlebih biasanya summit attack dilakukan saat matahari belum
menyingsing sehingga penerangan masih sangat diperlukan.
Berjalan kurang lebih selama 30 menit dari Pos 9, akhirnya kami sampai di Puncak dengan sebuah tugu triangulasi sebagai penandanya. Kami menjadi rombongan yang pertama sampai di puncak. Kami bergegas untuk segera sholat subuh karena mentari akan segera muncul dari peraduannya.
Tak berapa lama beberapa rombongan lain
berdatangan. Ada yang searah dengan kami dan ada pula yang datang dari arah
Gunung Bawakaraeng. Pendakian memungkinkan untuk dilakukan secara marathon dari
Bawakaraeng dilanjut Lompobattang atau sebaliknya karena memang kedua gunung
tersebut disatukan dengan sebuah pelana yang bisa dilalui pendaki. Puncak
Bawakaraeng pun terlihat gagah diseberang. Di pendakian pertama Bawakaraeng
saya memang belum bisa menggapainya, semoga satu saat puncak itu insyaallah
bisa ku pijak.
"Oiya, sekedar
share pengalaman terkait percabangan jalur dari Pos 2 ke Pos 3. Saat
perjalanan turun, kami sempat dibingungkan oleh percabangan ini. Saya yang
menjadi sweeper berjalan paling belakang dan agak sedikit jauh dari
teman di depan hampir saja kesasar. Dari puncak, titik yang membingunkan itu
berada di sebelum Pos 2 yang berupa tanah lapang seperti pos namun bukan pos
dengan 4 percabangan. Kalau lagi enak-enaknya turun gunung plus lelah dan letih
pasti bakal ambil jalan yang lurus, padahal yang benar adalah yang ke kiri.
Saya pun yang saat itu ambil jalan yang lurus hingga beberapa meter berjalan
saya menemukan keanehan. Takut semakin jauh melangkah di jalur yang belum saya
yakini adalah jalur yang benar, saya pun kembali ke tanah lapang pusat
percabangan tadi dan saat sampai disana ternyata 3 orang teman yang berjalan
paling depan baru saja balik arah setelah salah ambil jalur yang ke kanan yang
juga menrupakan jalur yang salah. Ingat, jalur yang benar adalah yang ke kiri
kalau dari arah Pos 3 menuju Pos 2.
Sekarang yang
jadi pertanyaan adalah teman yang berjalan di tengah rombongan ambil jalur yang
mana???
Kami
berasumsi mereka ambil jalur ke kiri atau jalur yang tepat. Benar saja ternyata
mereka sampai di Pos 2 lebih dulu, tapi cuman berdua saja, masih ada satu orang
lagi yang belum berkumpul. Nhah, inilah yang makin membuat kami bingung dan
panik. Kami sempat bagi tugas antara ada yang menunggu di Pos 2 dan ada yang
langsung turun. Butuh waktu sekitar satu jam lebih hingga akhirnya kami
menemukan teman yang kami kira hilang tersebut, ternyata dia sudah sampai di
Masjid Al-Ikhlas seorang diri.Kami akui koordinasi diantara kami masih kurang,
semoga bisa menjadi pembelajaran"
Okelah...
ini sekedar oleh-oleh dari pendakian ke Puncak Lompobattang
sunrise dan Iwan (yang kami kira hilang heheh) |
yeah, aku bisaaa... |
bertemu dengan rombongan pendaki yang lain |
eh, ono fotokuu, mbayar kenee!!!!
BalasHapuspiro sejam?
HapusTernyata sudah mendaki ke Lompobattang juga,
BalasHapussaya saja orang makassar belum kesana,
Hanya bisa mengintip dari puncak bawakaraeng.
Catatan perjalanannya keren mas,
Dokumentasi perjalanannya juga tak kalah keren.
Makasi mas...
HapusSaya sih dimana saya berpijak saya usahakan mencari gunung-gunung terdekat untuk didaki...
Rasanya ada yg kurang gt kalau nggak naik gunung...
subhanAllah keren pemandangannya
BalasHapussetuju...
Hapus