Sebagai seseorang yang ngakunya adalah pendaki gunung rasanya “gelar” itu lagi pantas tersemat lagi, pasalnya sudah kurang lebih 4 bulan tidak menyusuri jalan setapak panjang menanjak yang mengkontraksikan otot dengkul dan membelah dinginnya kabut di ketinggian. Semua itu karena kesempatan yang kian mahal harganya. Tanah yang ku injak sekarang pun bukan tanah Jawa lagi yang teramat banyak terpancang paku bumi buruan pendaki. Kini tanah yang ku pijak adalah tanah Celebes, tanah perantauan yang begitu dekat dengan laut. Ada yang mengatakan kalau saya sudah menyandang predikat baru yaitu “anak pantai” yang dulunya banyak teman tahu kalau saya adalah “anak gunung” yang kerap kali memposting foto keindahan puncak-puncak gunung di sosial media.
Meski “anak pantai” sekarang menjadi predikat baruku namun dinginnya angin gunung yang kerap membuat rindu selalu saja berat untuk ditinggalkan. Sulawesi Barat tempat ku kini berdiri memang tak ada gunung yang mudah dijangkau. Banyak sih bukit-bukit yang berjejer membentuk barisan perbukitan indah, tapi itu belum disebut gunung sepertinya. Sekalinya ada gunung disini perlu 14 hari untuk mendakinya, Gunung Gandang Dewata, pernah dengar?
Oleh karena itu gunung di Sulbar di-skip dulu, beralih ke provinsi sebelah yaitu Sulsel sepertinya cukup untuk meluapkan rasa rindu pada pendakian. Ada beberapa pilihan gunung yang bisa didaki, terlebih tak perlu belasan hari untuk mendakinya. Salah satunya yaitu Gunung Bawakaraeng yang lumayan menarik untuk dicoba. Dan gunung inilah yang menjadi pilihan untuk didaki setelah 4 bulan tidak mendaki.
Gunung inilah yang akhirnya menjadi pilihan untuk didaki. Pendakian di awal bulan Agustus 2014 ini menjadi pendakian reuni bagi saya dan teman-teman alumni STAN, selain itu juga menjadi gunung kedua yang ada di Pulau Sulawesi yang saya daki setelah Gunung Klabat di Minahasa Utara, Sulut di tahun 2012 lalu saat masih berstatus sebagai mahasiswa.
Oke, setelah berdiskusi membahas persiapan pendakian sekaligus ajak-mengajak teman lewat dunia maya akhirnya terkumpul 14 teman yang fix ikut mendaki Bawakaraeng. Jumlah yang cukup banyak memang, serasa pendakian masal saja. Hal itu memang karena Sulawesi Selatan menjadi lokasi penempatan yang lumayan banyak menampung teman-teman seperjuangan.
GUNUNG BAWAKARAENG
Gunung ini berada di Kab. Gowa, Sulawesi Selatan. Terdapat beberapa jalur pendakian untuk mencapai puncaknya. Diantaranya Jalur Dusun Lembana yang berlokasi dekat dengan objek wisata Malino dan Jalur Tasoso yang termasuk wilayah administrasi Kab. Sinjai.
Gunung yang menjulang dengan ketinggian 2.830 mdpl ini berada pada posisi ke-5 di Prov. Sulsel jika dilihat dari ketinggiannya setelah Gunung Latimojong 3.440 mdpl, Gunung Tolangi Balease 3.016 mdpl, Gunung Kambuno 2.950 mdpl, dan Gunung Lompobattang 2.871 mdpl.
Gunung yang menjulang dengan ketinggian 2.830 mdpl ini berada pada posisi ke-5 di Prov. Sulsel jika dilihat dari ketinggiannya setelah Gunung Latimojong 3.440 mdpl, Gunung Tolangi Balease 3.016 mdpl, Gunung Kambuno 2.950 mdpl, dan Gunung Lompobattang 2.871 mdpl.
Dalam bahasa setempat “Bawakaraeng” mempunyai arti Bawa = Mulut, Karaeng = Tuhan/Raja sehingga “Bawakaraeng” bisa diartikan sebagai “Mulut Tuhan”. Dibalik keindahannya, gunung ini ternyata menyimpan cerita mistis yang dipercayai masyarakat sekitar. Masyarakat percaya bahwa gunung ini merupakan pertemuan para wali.
Selain itu terdapat pula ritual semacam ibadah haji yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha yang tentunya membuat jalur pendakian gunung ini menjadi ramai. Ritual tersebut dianggap menyamai dengan ibadah haji di Mekah, sehingga setelah berhasil mendaki gunung ini akan mendapat gelar Haji Bawakaraeng. Cukup menarik memang, bisa menjadi khasanah budaya yang dapat memperkaya nilai kebudayaan Indonesia. Sempat pula kami berpapasan dengan penduduk sekitar yang mendaki dengan membawa ayam dan makanan yang cukup banyak. Entah dibuat apa, tapi kata teman mendaki yang asli Sulsel bahwa ayam-ayam tersebut nantinya bakal dilepas di puncak. Mereka sangat ramah sekali, saat berpapasan dengan kami meski dengan nafas tersengal, mereka tetap tersenyum dan bahkan berjabat tangan dengan kami sambil mendoakan. Sungguh ini merupakan kesempatan langka dan baru pertama kali saya alami setelah sekian kali naik gunung.
Selain itu terdapat pula ritual semacam ibadah haji yang dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha yang tentunya membuat jalur pendakian gunung ini menjadi ramai. Ritual tersebut dianggap menyamai dengan ibadah haji di Mekah, sehingga setelah berhasil mendaki gunung ini akan mendapat gelar Haji Bawakaraeng. Cukup menarik memang, bisa menjadi khasanah budaya yang dapat memperkaya nilai kebudayaan Indonesia. Sempat pula kami berpapasan dengan penduduk sekitar yang mendaki dengan membawa ayam dan makanan yang cukup banyak. Entah dibuat apa, tapi kata teman mendaki yang asli Sulsel bahwa ayam-ayam tersebut nantinya bakal dilepas di puncak. Mereka sangat ramah sekali, saat berpapasan dengan kami meski dengan nafas tersengal, mereka tetap tersenyum dan bahkan berjabat tangan dengan kami sambil mendoakan. Sungguh ini merupakan kesempatan langka dan baru pertama kali saya alami setelah sekian kali naik gunung.
bawa ayam tuh... |
yang ini bawa apa yaa??? kambing kah??? |
semangat mbok... Puncak tinggal 5 cm lagi |
ramah banget lho, setiap dari kami disalami |
yang ini ayamnya dikurungin, eh ayamnya harus yg bulunya putih yak??? |
JALUR PENDAKIAN DUSUN LEMBANA
kebun di Dusun Lembana |
Begitu sampai di Dusun Lembana kami disambut dengan gumpalan awan kelam yang menutupi gunung. Kayaknya sih bakal turun hujan padahal tadi panas terik banget. Di dusun tersebut tak ada bascamp khusus yang dijadikan pos lapor dan perijinan. Hampir di setiap rumah bisa dijadikan basecamp. Biaya retribusi yang seperti kebanyakan gunung yang pernah saya daki pun tidak ada. Jadi begitu sampai kami langsung packing ulang sejenak, lalu langsung saja memulai pendakian.
Basecamp – Pos 1
Sebelum memulai langkah pertama, kami awali terlebih dulu dengan berdoa bersama agar setiap jengkal kaki mendekati puncak akan selalu dilindungi dan tak ada halangan satu apapun. Baru beberapa langkah berjalan, gerimis mulai jatuh membasahi kepala kami. Keluar dari Dusun Lembana kami menemui satu gapura yang seolah menyambut kami yang akan mendaki Bawakaraeng. Alih-alih reda, hujan malah makin mejadi hingga sepatu dan pakaian kami basah kuyup.
Melewati bak penampungan air yang pertama kami mulai dibingungkan dengan percabangan jalan. Kami saat itu memilih yang ke kiri. Jalan yang lebih menanjak itu bukannya salah, bisa kok sampai ke pos 1 tapi ternyata jalur yang benar adalah yang ke kanan. Pantas saja jalur yang kami lewati itu masih sangat rimbun bahkan sempat kita temui pohon tumbang yang melintang di tengah jalur yang seakan memberi petunjuk pada kami kalau jalur yang kami ambil bukan yang biasa dilewati. Sempat punya keputusan untuk berbalik arah, tapi sudah lumayan jauh pula kami berjalan. Bayu yang punya feeling kalau kami tidak salah jalan mencoba menerobos ranting-ranting pohon tumbang tersebut. Benar saja kami mendapat jalan setapak yang skhirnya bisa membawa kami ke Pos 1. Di perjalanan menuju pos 1 kami masih menemukan sapi yang digembalakan namun sang penggembala tidak tampak di dekatnya, mungkin sapi itu dilepas begitu saja memakan rumput segar Gunung Bawakaraeng. Jarak basecamp menuju Pos 1 menurut catatan kami adalah 1 jam perjalanan. Di pos pertama ini juga terdapat percabangan jalur yang mengarah ke Lembah Ramma yang juga merupakan tempat favorit para pendaki Gunung Bawakaraeng.
Pos 1 – Pos 2
Menuju Pos 2 jalur masih tak berbeda jauh dan belum ditemui tanjakan yang berarti. Hingga 45 menit perjalanan kami sampai di Pos 2 yang tempatnya cukup datar dan terdapat satu aliran sungai yang jernih. Kami memutuskan beristirahat di pos tersebut sekaligus sholat. Namun udara dingin dan hujan yang belum reda membuat kami enggan untuk mengambil air wudhu. Tapi dingin yang kami rasakan sudah tak kami indahkan lagi, sudah kepalang basah gitu soalnya. Begitu semua selesai kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pos 3.
Pos 2 – Pos 3
Jarak Pos 2 ke Pos 3 cukup dekat, cukup 15 menit untuk sampai. Pos ini adalah pos yang cukup luas dan terdapat aliran sungai yang bisa digunakan untuk mengisi cadangan air. Kami tak singgah di pos ini karena masih belum terlalu jauh kami berjalan. Kami lanjut saja berjalan menuju Pos 4.
sungai yang ada di Pos 3 |
jernih dan seger banget |
Pos 3 – Pos 4
Perjalanan menuju Pos 4 kami dimanjakan dengan pemandangan vegetasi yang begitu menakjubkan dimana terdapat pepohonan yang ditumbuhi lumut yang menempel di seluruh permukaan batangnya yang mengesankan bahwa kami sedang berada di tengah-tengah hutan lumut. Pos 4 ditandai dengan adanya satu tumpukan batu-batu ukuran tanggung yang tersusun menyerupai sebuah makam lengkap dengan nisannya. Kami menempuh perjalanan menuju Pos 4 selama 1 jam dari pos sebelumnya.
Pos 4 – Pos 5
Berjalan 45 menit melewati jalur yang masih datar sedikit tanjakan kami sampai di Pos 5, pos dengan tanah datar paling luas sehingga cocok untuk beristirahat. Kami pun menyempatkan rehat sejenak sambil mengisi perut dengan bekal yang kami bawa. Disitulah kami mulai bertemu dengan rombongan pendaki lain. Kami sempat diberi tahu kalau mereka tinggal disitu sejak tadi pagi dan tak berani naik karena menurut kabar pendaki yang turun tadi katanya di atas anginnya sangat kencang hampir menyerupai badai. Kami pun sempat merasakan sisa-sisa badainya di Pos 5, secara pos tersebut sangat terbuka.
indahnya Pos 5 ini dicapture saat perjalanan turun saat naik mah hujan badai |
Pos 5 – Pos 6
Kami memantapkan diri untuk melanjutkan perjalanan meski tadi ada pendaki yang mengabarkan bahwa sempat terjadi badai di atas. Tapi kami rasa keadaan sudah membaik sehingga kami beranikan diri untuk melangkahkan kaki kembali setelah rehat dan ngobrol sejenak dengan sesama pendaki. Trek di antara Pos 5 dan Pos 6 sudah mulai dijumpai tanjakan yang menguras tenaga.
Hujan ternyata sedang berpihak pada kami sehingga dia selalu setia mengiri perjalanan kami. Keadaan makin diperparah dengan banyaknya hewan penghisap darah yang bernama Pacet yang kadang bisa sampai masuk baju hingga kaus kaki. Dengan sabar kami pun akhirnya sampai di Pos 6 setelah melewati jalur becek dan licin selama sekitar 45 menit dari pos sebelumnya. Pos 6 ini cukup luas sebenarnya, bisa untuk mendirikan tenda namun karena hujan alhasil pos itu menjadi empang dadakan.
Pos 6 – Pos 7
Tak berlama-lama di Pos 6, kami segera lanjut ke Pos 7 yang ternyata kondisi dan kekuatan kami mulai diuji disitu. Trek makin berat dengan beberapa tanjakan curam dan licin. Gelap sepertinya hendak datang namun redanya hujan sepertinya masih jauh dari harapan. Pepohonan sekitar sungguh sangat rapat dengan ranting-rantingnya penuh lumut. Tak heran jika ada yang menyebut Bawakaraeng adalah salah satu gunung dengan hutan lumut yang termasuk yang paling indah.
Sebelum benar-benar gelap akhirnya kami sampai di Pos 7. Kami memutuskan untuk mengakhiri perjalanan di hari pertama di pos ini dengan mendirikan tenda. Kami belum punya keputusan hendak melanjutkan lagi di jam berapa yang jelas hujan disertai angin kencang makin terasa di pos ini padahal termasuk pos yang tertutup. Tidak kebayang gimana keadaan di puncaknya.
Dini hari beberapa dari kami sempat terbangun dan melihat ke luar tenda. Ternyata bulan terlihat bulat sempurna dengan ditemani bintang-bintang bertebaran, namun sayang angin badai masih berhembus kencang yang menjadikan kami masih enggan untuk melanjutkan pendakian meski hujan sudah reda. Akhirnya pun hingga pagi menjelang kami hanya habiskan di Pos 7.
Keputusan terakhir yang kami ambil adalah tidak melanjutkan pendakian dan mencukupkan sampai di Pos 7 dari 10 pos yang ada mengingat nanti bisa terlalu siang sampai puncak dan nggak tahu jam berapa bisa sampai di basecamp lagi. Padahal ada beberapa dari kami yang dikejar waktu agar tidak tertinggal bus untuk kembali ke posisi masing-masing.
Pagi itu kami langsung turun dan beruntungnya kami masih diberi secercah harapan menikmati pendakian dengan cuaca cerah meski hanya saat perjalanan turun. Kami sempatkan mengabadikan pemandangan yang terhampar dengan jelas saat itu. Puncak yang ingin kami tuju pun terlihat, tapi kami hanya bisa melambaikan tangan ke arahnya. Insyaallah pendakian Bawakaraeng hingga puncaknya masih bisa dilanjutkan di lain waktu semoga mendapat cuaca cerah dari naik sampai turun lagi.
Sampai jumpa lagi Bawakaraeng…
Tunggu kami di puncakmu dan biarkan kami bisa merasakan segarnya udara pagi di Lembah Rama…
wah keren banget......:-D tp sayang banyak pacetnya....hihhihhihihi takuuuut....:-(
BalasHapuspacetnya pada haus darah mbak....
Hapussekarang menetap di sulawesi ya mas????
Hapusiya di Majene, Sulbar mbak
Hapusfotonya keren-keren,ternyata gunung bawakaraeng bagus ya :)
BalasHapustrimakasih...
Hapusiya, Bawakaraeng sangat indah...
aku fansmu :3
BalasHapussamin arep ning sulsel, mau cuti 5 hari, diantaranya mau ke bawakaraeng atau latimojong. yuk di melu! :D
dirimu kak samin?
Hapusatau siapa?
mau dong ikutan
bagus bgt gan pemandanganya, jadi pengen kesana
BalasHapuscobain mas...
HapusAgustus tahun 2013 saya menginjakkan kaki di puncak Bawakaraeng, tapi sayang pas pagi harinya hujan badai turun yang mengharuskan kami tak lama di puncak dan tak bisa melihat view yang bagus.
BalasHapuskalau saya paginya malah sebenarnya cerah, tapi hari sebelumnya yg badai mas... Lagian dikejar hari senin, jadinya nggak sempet muncak...
HapusLain kali lah, insyaallah