Kami berdua
memutuskan untuk turun gunung setelah berhasil mengisi perut dengan sarapan
yang teramat spesial yaitu soto ayam Mbok Yem yang sudah melegenda. Sebenarnya
saya dan Bandon masih penasaran dengan spot-spot sakral yang ada di Gunung
Lawu, namun karena ketidak tahuan kami sekaligus tak ada narasumber yang bisa
memberi informasi yang akurat yasudah kami putuskan untuk menuntaskan misi
tersebut di kemudian hari sekaligus mencoba jalur pendakian Lawu via candi
Cetho yang katanya lumayan ajib pemandangannya.
Oiya cerita pendakian malam hari sebelumnya ada di sini nih (klik)
Oiya cerita pendakian malam hari sebelumnya ada di sini nih (klik)
Sabana mengering eksotis |
Lanjut
jalan lagi kami sampai di keramaian Sendhang Drajad yang belum berkurang sedari
pagi tadi saat kami melintasinya. Masih ada saja yang menunggu dengan sabar
tetes demi tetes air yang keluar dari sendhang yang kala itu masih enggan
mengeluarkan airnya, efek kemarau kemarin mungkin.
Berjalan
langkah demi langkah lagi, kami sampai di Pos 5 yang mulai ditinggalkan oleh
para pendaki. Tenda-tenda pun sudah mulai sepi karena memang panas matahari
sudah sangat membara. Bandon yang kepingin foto-foto di puncak bukit kecil di
dekat Pos 5 pun saya tunggui dulu, lama kelamaan saya kepengen juga foto
disitu. Ternyata keren juga view-nya.
Mulai
banyak pendaki yang mulai turun. Tak jarang kejadian ngantre terulang lagi,
harus sabar dan jangan terburu-buru karena jika saling senggol kalau kebablasan
bisa fatal juga akibatnya, di satu sisinya jurang dalem menn.
Singkat
cerita Pos 4 sudah terlewati dengan sempurna. Nah, di tengah perjalanan kami
menuju Pos 3, mulai lah terjadi satu kejadian yang membuat saya kebingungan
setengah mati, hal aneh dengan tanda tanya besar. Sebenarnya sedari awal hingga
sampai di warung Mbok Yem kami mendaki sering berjalan berdampingan dan tak
jarang juga jarak antara kami terpisah sedikit agak jauh, namun tak sampai
seperti kejadian yang kami alami di perjalanan turun setelah Pos 4 terlewati
tersebut.
Awalnya
saya berniat rehat sejenak di bawah pohon yang lumayan rimbun dan menyuruh
Bandon jalan duluan. Tak tahu berapa lama saya rebahan di bawah pohon tersebut
seorang diri tapi sekiranya tak sampai tertidur lah yaa. Setelah itu saya susul
bandon yang sudah berjalan duluan di depan. Saya pun agak mempercepat langkah
dengan diselingi berlari kecil untuk mengejar ketertinggalan. Sedari naik sudah
berjalan bareng dan setidaknya speed
jalan Bandon sudah saya hafalkan. Dengan saya agak berlari tersebut saya
harapkan bisa saya susul. Ternyata apa yang saya harapkan tak terwujud begitu
saja. Dalam hati saya berkata, “kok tumben cepet banget tu anak jalannya…”
seperti yang saya bilang tadi kalau speed
Bandon sudah saya pahami dan dengan kecepatan langkah saya yang sudah saya
tingkatkan beberapa kali lipat saya perkirakan bisa tersusul, tapi ternyata kok
Bandon nggak keliatan juga batang hidungnya. Pos 3 saya lewati saja karena
disitu tak saya temukan Bandon, pikir saya “Wah tega banget tu anak ninggalin
saya begitu saja, kebelet kali ya pengen cepet-cepet sampe basecamp…”
Saya
percepat langkah lagi siapa tahu dia di Pos 2 nunggunya. Oke lanjut berjalan ke
Pos 2 dan sesampainya disana dengan terengah-engah saya mencari Bandon lagi dan
hasilnya tak saya temukan Bandon di pos tersebut. Walah sumpah, cepet banget
jalannya, apa jangan-jangan pake lari turunnya. Tapi kan nggak mungkin
mengingat jalur pendakian berbatu terjal kaya gitu bisa lari. Oke oke, mungkin
sudah sampai di Pos 1. Lanjut lagi berjalan ke Pos 1.
Lha, mulai
disitulah pikiran negatif diselingi sedikit pikiran positif mulai berhamburan
di dalam otak. Hingga puncak kepanikan saya terjadi sesaat setelah sampai di
Pos 1. Saat duduk-duduk di dekat warung saya mendengar percakapan seorang
pendaki yang baru turun dengan temannya yang sudah sampai Pos 1 duluan.
“Eh di atas
tadi ada yang sakit ya”
“Di Pos dua
kan…”
“He’em,
sakit apa sih emang ?”
“Sakit
gatel kali, minta digaruk Tim SAR”
“HAHAHA”
Sambil
bercanda sih emang mereka ngobrolnya, tapi candaan mereka tersebut merupakan
satu hal yang serius bagi saya. Awalnya saya kira Bandon yang berjalan di depan
saya namun mulai dari kecepatan jalan saya yang sudah dipercepat, saya mulai
yakin kalau Bandon masih ada di belakang.
Percakapan dua
pendaki tersebut mengingatkan saya pada Bandon yang saya tahu memang punya
riwayat sakit tipes sedari kami berteman saat di bangku kuliah dua tahun lampau.
Pikiran negatif mulai menghampiri, dalam hati berkecamuk firasat-firasat yang
mengatakan kalau pendaki yang sakit di Pos 2 tersebut adalah Bandon. Namun ada
selingan fikiran positif pula yang mengatakan kalau yang sakit itu bukan dia.
Sempet juga terbesit asa untuk balik ke atas lagi untuk memastikan kebenaran
siapa pendaki yang sakit itu. Jika temen-temen pernah mendaki Lawu, tentunya
tahu kan jarak antara Pos 1 dan 2 jalur Cemoro Sewu. Super jauh brooo. Namun
saya mencoba berpikir jika saya balik ke Pos 2 apa bisa memperbaiki keadaan, toh
juga banyak pendaki lain disana yang mungkin sudah menangani Bandon. Dari pada
menghabiskan tenaga untuk balik ke atas tanpa hasil yang belum pasti saya pun
memilih menenangkan diri, tapi tetap saja nggak bisa. Ntar kalau saya pulang
tanpa Bandon apa yang saya bilang sama bapaknya coba. Ntar kalau pulang nggak
sama Bandon apa yang temen-temen bilang yang tentang loyalitas dan tanggung
jawabku sudah ngajak Bandon naik gunung. Ntar kalau, ntar kalau, dan ntar kalau
pulang nggak sama Bandon gimana ya… Aaaaaarrrgggghhhhh...
Saat itu
kegelisahan mulai memenuhi diri ini. Saya pun mencoba menenangkan diri di
tengah kecamuk pikiran nggak karuan tersebut. Apalagi semua logistik juga
dibawa Bandon dan kami mulai terpisah sedari Pos 4 alhasil mulai dari situ tak
ada satupun makanan dan menuman yang bergulir di kerongkongan saya. Saya pun memesan
teh di warung Pos 1, siapa tahu dengan minum bisa sedikit membuat tenang dan
berfikir lebih jernih. Sayang sekali di tengah haus yang melanda, teh yang saya
dapatkan bukan es teh yang segar tapi teh yang super panas seperti baru keluar
dari tungku. Waduh, apa boleh buat. Itu merupakan minuman panas yang pernah
saya minum dalam keadaan yang terpanas pula karena memang haus yang sudah tak
tertahan. Saat menikmati minuman tersebut, tim SAR dengan sepeda motor trailnya
mulai berdatangan dan berkoordinasi dengan rekan-rekannya melalui HT. Memang
saat momen satu Suro tersebut pengamanan keselamatan lebih diperketat dengan
adanya Tim SAR yang selalu standby
dan juga Posko PMI yang berjaga di basecamp.
Segelas teh
panas sudah ludes, saya mulai bisa berpikir. Ckckck, kenapa aku gak tanya yang
sakit cowok apa cewek ya. Saya pun menghampiri pendaki yang baru tiba di Pos 1.
“Mas yang sakit di atas cowok apa cewek ya?” mas itu menjawab “Cewek mas…” Ya
Allah terimakasih, alhamdulillah bukan Bandon. Bisa sedikit tenang. Lhah terus
Bandon kemana coba, saya hitung-hitung saya sudah satu jam di Pos 1 dalam
keadaan yang nggak karuan dengan pikiran berkecamuk. Pikiran yang lebih kotor
lagi mulai datang, kalau yang sakit cewek terus Bandon? Jangan-jangan jatuh ke
jurang, jangan-jangan kesasar, jangan-jangan…
Mencoba
berpikir positif, saya berkesimpulan kalau Bandon sudah berjalan di depan dan
mungkin sudah sampai di basecamp mengingat waktu kami terlampau satu jam. Tidak
mungkin kalau dia berjalan duluan sejak saya istirahat sebentar di bawah pohon
tadi dan saya susul dengan berlari bisa tertinggal di belakang. Saya pun juga
tak berpapasan dengannya sedari melintasi jalur pendakian tadi.
FIX, saya turun dengan harapan Bandon sudah sampai di
bawah. Turun ke basecamp dengan
langkah yang cukup cepat akhirnya saya sampai di gerbang pendakian Cemoro Sewu.
Mulai lah saya mencari sesosok Bandon di sekitaran basecamp. Ah, nggak ketemu
juga. Oh ya, mungkin dia menunggu di parkiran. Saya pun berjalan ke parkiran
tempat motor kami terparkir semalam. Dannn, hasilnya nihil. Tak ada Bandon
disitu. Ya Allah, apa benar Bandon masih di atas. Saya mulai benar-benar lemes
plus haus. HP saya aktifkan dan ternyata ada beberapa SMS masuk dan salah
satunya dari Bandon. Di SMS itu dia mengatakan kalau dia masih di Pos dua dan
menanyakan saya ada dimana. Saya balas SMS itu namun tak ada jawaban. Saya
mulai tenang namun masih belum sepenuhnya tenang. Intinya dia masih selamat dan
mungkin baru OTW turun. Saya tunggu
saja di warung kali ya, siapa tahu ntar papasan. Kalau sampai magrib belum juga
ketemu baru saya lapor ke Tim SAR saja.
Oh my to
the God, OH MY GOD… Saat sampai warung yang niatnya mau beli es jeruk, eh kok
disitu ada Bandon sudah duduk di meja dengan sepiring pecel yang baru
dihantarkan mbak-mbak. Saya pun duduk untuk mengintrogasinya. “Hey, kamu tu
tadi kemana wae”. Bikin panik setengah mampus aja. Ternyata kenapa coba, apa
yang saya pikirkan mengenai pendaki yang sakit di pendakian ternyata
dipikirkannya juga. Bandon juga sempat mengira kalau saat turun tadi ada tandu
yang dibawa oleh Tim SAR adalah saya, dan dia juga menunggu agak lama di Pos 2
untuk memastikan kebenaran. Hmm… Yasudah lah apa yang terjadi biarlah terjadi.
Gak usah dipermasalahkan panjang-panjang. Sing penting udah ketemu, jadi kan
saya ayem bisa mengembalikan Bandon ke pangkuan orang tuanya.
Bagi
teman-teman yang mengalami hal yang serupa namun tak sama dengan yang saya
alami, hikmah yang bisa petik yang bisa menjadi tips-tips mendaki adalah TENANG
dan BERPIKIR POSITIF. Jika terjadi seperti itu atau pun tersesat atau apalah
itu, kuncinya adalah STOP (sit, think,
observe, and pray). Intinya kita harus duduk dulu untuk menenangkan diri,
lalu berpikir untuk mengatasi masalah tersebut dan yang lebih penting tentunya
berpikir yang positif saja, kemudian mengamati kondisi dan keadaan sekitar
siapa tahu bisa menemukan petunjuk atau clue
yang bisa memberi pencerahan, dan yang terakhir adalah berdoa karena segala
sesuatau ada di tangan-Nya.
*-*
Setelah
makan kami sholat Dhuhur di masjid depan basecamp lalu kembali ke rencana awal
kami yang setelah turun Gunung Lawu kemudian ke Candi Sukuh yang terkenal
keerotisannya. Cerita ke Candi Sukuh ada disini. Saat di candi tersebut lah kami baru menyadari kalau ada salah satu pantangan
yang dilanggar. Saat di candi, kami sempat ngobrol banyak dengan juru kunci
candi dan salah satu warga mengenai sejarah Gunung Lawu sampai segala hal yang
berkaitan dengan Lawu. Hingga di satu percakapan kami membahas tentang
pantangan dalam pendakian Gunung Lawu yang melarang pendaki untuk memakai
pakaian berwarna hijau. Terus pak tua juru kunci pun melirik celana saya yang
berwarna hijau army dan seketika
berkata “Asline celanane niku nggih mboten pareng mas” dalam Bahasa Indonesia “sebenarnya
celanamu itu juga nggak boleh mas” wah iyaa saya baru sadar. Padahal sebenarnya
saya pernah baca juga lho pantangan-pantangan tersebut. Saya ingatnya memang
nggak boleh pakai pakaian hijau dan saya dari rumah memang tidak memakai baju
hijau, namun tak sadar ternyata celana saya yang berwarna hijau.
Apa jangan-jangan ini yang
menyebabkan kejadian membingungkan tadi terjadi. Kami pun sempat juga
menceritakan kejadian tersebut pada sang juru kunci dan memang dibenarkannya.
Beliau juga berkata kalau mendaki Lawu jangan dalam jumlah yang ganjil
karena bisa berdampak salah satu atau beberapa bisa tersesat atau nggak bisa
pulang katanya. Huuh, untunglah kami masih bisa selamat tak kurang satu apa
pun.
Pesan saya,
pantangan memang terkadang nggak masuk akal. Akan tetapi pantangan dibuat
tentunya ada sebab dan akibatnya yang sudah diperhitungkan matang-matang.
Seperti pantangan makan daging kambing bagi penderita hypertensi yang berakibat
fatal jika nekat dilakukan. Hal itu juga senada dengan pantangan dalam satu
pendakian gunung, tak hanya Lawu, mungkin gunung lain juga punya pantangan dan
hal yang harus dilakukan masing-masing. Jadi alangkah baiknya jika kita mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang gunung yang akan kita daki. Tak hanya
mengenai jalur pendakiannya saja, namun pantangan dan kewajiban pendakian juga
harus dipertimbangkan.
Salam
Ardiyanta
beginilah resiko kalau naik dengan pendaki yang ngebut. resiko tertinggal atau terpisah itu selalu ada. Kancamu ojo ditinggal Le! haha
BalasHapusada faktor X nya kayake mas... Biasane terpisah yo wajar kok, ga terlalu jauh gt. Lah yg pas turun iku terpisah g wajar bgt.
HapusKeren jg,, nih jepretanya. Smakin mengukuhkan langkah saya menuju kesana..
BalasHapuskeren banget foto*nya..
BalasHapusceritanya jg seru banget..
ahh gunung lawu emang bkin aku galauuu..
pngen ksna.
:'(
Monggo2 silahkan dicoba mendaki Lawu... Tetap hati2 yaa...
BalasHapusmemang keren gan view nya, bikin ketagihan muncak lagi^^
BalasHapusyap bner mbak... naik gunung emang addictive
BalasHapusijin share gaann :)
BalasHapusDengan senang hati...
HapusKeren bgt
BalasHapusBagus bang,
BalasHapuskapan2 kesitu ah keren bang lanjutkan...
BalasHapusbisa bisa...
Hapusizin share boleh gk ?
BalasHapusBoleh2... Tuliskan sumbernya ya saat dishare
HapusPostingan yang sangat bagus, saya setuju dengan Anda 100%!
BalasHapusPostingan yang sangat bagus, saya setuju dengan Anda 100%!
BalasHapussaya terkesan, saya harus mengatakan ini kepada anda.
BalasHapusSangat jarang saya menemukan sebuah blog yang informatif dan menghibur seperti ini.
BalasHapussaya tidak melakukannya untuk tujuan SEO , tetapi untuk belajar hal-hal baru.
BalasHapusBlog Anda sangat penting bagi semua orang, teruslah berbagi.
BalasHapussaya harus mengatakan bahwa secara keseluruhan saya benar-benar terkesan dengan blog ini.
BalasHapusblog yang bagus dan informatif, yang berisi semua informasi dan juga memiliki dampak yang positif
BalasHapussetahuku yang ga boleh hijau pupus ( hijau muda cerah ), ternyata hijau army juga ga boleh ya
BalasHapus