Ada sesuatu
yang berbeda di pendakian kali ini. Disamping karena mendaki di tengah malam,
perjalanan menuju puncak Gunung Lawu pada 5 November 2013 ini bertepatan dengan
pergantian tahun dalam kalender Islam. Orang Jawa bilang malam satu Suro. Cukup
mendatangkan tantangan tersendiri selain karena momen yang termasuk
disakralkan, pendakian kali itu juga kami lakukan di salah satu gunung yang
termasuk deretan teratas gunung yang masih kental aura mistisnya. Perpaduan
yang sungguh pas bukan…
Hal itu
mantap saya dan Bandon rencanakan karena kami tahu memang di waktu tersebut
Gunung Lawu sedang ramai-ramainya dikunjungi. Berbeda cerita jikalau kami tahu
kalau di malam satu Suro tersebut hanya kami berdua saja yang mendaki Lawu,
tentu kami bakal berpikir berulang kali dulu.
Rencananya
sih kami mau tek tok saja tanpa ngecamp, tapi karena pengalaman pendakian tek
tok Gunung Ungaran seminggu yang lalu yang berujung dengan pakaian basah kuyup
karena hujan yang setia mengiringi perjalanan menuju puncaknya, jadi kami memutuskan
tetap membawa tenda untuk sekedar jaga-jaga saja.
Singkat
cerita kami yang masih berstatus pegawai diperbantukan pada instansi di bawah
Kemenkeu harus menunggu jam 17.00 untuk memperoleh kebebasan waktu, setelah itu
baru kami bisa memfokuskan pikiran ke rencana pendakian. Meski lelah, saya yang
baru pulang langsung bergegas mengepack perbekalan pendakian. Setelah itu
barulah menuju rumah Bandon di Karanganyar.
Selepas Isya’ saya mulai memacu
motor untuk menuju Karanganyar. Cukup jauh juga jaraknya, apalagi jalanan sudah
mulai gelap. Apa boleh buat... Harus sedikit mengajak tubuh untuk bekerja lebih
demi satu momen tersebut, karena waktu luang bagi saya memang sekarang benar-benar sulit
untuk dicari.
Cukup
santai memacu motor hingga terpaksa berhenti sejenak untuk memakai jas hujan
ketika melintasi jalanan sebelum masuk Kota Boyolali. Hujan deras seketika
turun dengan lebatnya. Dari situ mulailah kehilangan sedikit harapan untuk mendaki
Lawu tanpa bertemu sang hujan. Pengalaman pendakian seminggu lalu membuat
saya sedikit was-was bakal terjadi hal yang sama. Ga enak banget kalau mendaki
basah-basahan, jadi ga bisa menikmati pendakian gitu lho. Apalagi kalau sepatu
sampai basah, duh super gak nyaman. Positif thinking saja lah semua bakal baik-baik saja.
Keluar Boyolali, hujan mulai
reda. Sepertinya hanya hujan lokal saja nih. Barulah sekitar jam 10 malam saya
sampai di rumah Bandon. Istirahat sebentar sambil ngeteh hangat, lalu kami pun
bergegas menuju basecamp pendakian Lawu. Kali ini kami memilih Cemoro Sewu
sebagai jalur pendakian yang kami pakai. Selain karena lebih singkat, di jalur
itu biasanya lebih ramai pendaki maupun penduduk sekitar yang melakukan
kegiatan adat.
Benar saja,
begitu kami sampai di basecamp Cemoro Sewu, lautan manusia memenuhi jalanan dan
warung-warung yang ada disana. Kami pun sempat kebingungan mencari lokasi
parkir karena memang semuanya penuh. Namun akhirnya kami menemukan area parkir
yang masih bisa menampung motor kami meski harus berjalan beberapa meter dari gerbang
pendakian. Dari yang kami lihat saat melewati jalanan menuju basecamp, ternyata
Cemoro Sewu memang lebih ramai dari pada Cemoro Kandhang yang juga sama-sama
merupakan jalur pendakian Lawu.
Setelah
motor dipastikan aman, kami pun menuju gerbang pendakian untuk mengurus
perijinan dan administrasi. Biaya administrasinya cukup Rp 7.500,- saja
perorangnya. Sebelum memulai pendakian kami pun berdoa. Barulah sekitar jam setengah
12.00-an malam menuju pergantian hari Rabu kami mulai mendaki. Di sekitaran
gerbang pendakian sudah banyak tenda yang didirikan. Mungkin mereka cuma
ngecamp disitu tanpa muncak atau mungkin juga hanya istirahat sejenak sebelum meneruskan
mendaki ke puncak. Bisa dipastikan malam itu Cemoro Sewu rame banget, saking
ramenya saat mendaki kita tak akan berjalan satu rombongan sendirian saja,
pasti di depan maupun di belakang ada saja rombongan lain yang juga mendaki.
Setelah Pos
1 kami lewati, barulah satu hal mistis kami temui. Ada seorang cewek di depan
kami yang kesurupan mennn. Ngigau-ngigau, teriak-teriak, muntah-muntah gitu.
Ngigaunya dibilang nggak jelas juga enggak, tapi jelas juga nggak jelas-jelas
banget. Ada satu kalimat yang saya tangkap dari igauannya.
“Dendame sunan kudu dibuang dhisik…”
Berkali-kali
kalimat itu terlontar dari mulut cewek yang kesurupan itu. Sepertinya hanya
kesurupan sebagian karena dia sempat tersadar, namun tak lama kemudian dia kehilangan kesadaran lagi berubah menjadi sosok yang berbeda. Kami berdua yang berjalan di
belakangnya pun terpaksa ngerem mendadak dan duduk-duduk dulu sembari menunggu
kondisi menjadi aman terkendali lagi. Tapi setelah menunggu beberapa saat kok
tidak menunjukkan satu kemajuan. Teman-teman sang cewek itu terkesan
tenang-tenang saja seolah menganggap kejadian tersebut memang wajar terjadi
pada sang cewek. Bandon pun juga sempat berkata kalau memang cewek itu punya semacam
indra keenam yang dengan itu ia bisa dengan mudah menjadi perantara atau mediator alam lain.
Wallahualam…
Lama
ditunggu tapi tak menunjukkan satu kemajuan, akhirnya kami berdua memutuskan
untuk mendahuluinya. Tapi…. Aku takuuttt…. Haha… enggak dink. Kami berdua
memberanikan diri, entah ntar dicegat atau pun enggak pasrah saja.
Kami
berjalan pelan-pelan, tak lupa baca alfatihah, dannnn kami pun berhasil
mendahuluinya.
Kami melanjutkan berjalan menapaki jalur pendakian yang didominasi batu terjal yang
menanjak tersebut perlahan-lahan karena di sisi kanan dan kiri mulai banyak
pendaki-pendaki yang tiduran di pinggir jalur pendakian. Kalau gak melihat
dengan seksama bisa-bisa pas kita jalan mereka bisa terinjak tuh karena saking
berserakannya pendaki yang tiduran di jalur pendakian.
Tak terasa
satu per satu pos yang ada berhasil kami lewati dengan lancar. Hingga akhirnya
sampai di Pos 4 dengan tanah berkapur putih nya. Rasanya tubuh ini sebenarnya
ingin segera direhatkan karena letih dan kantuk yang perlahan makin bertambah
intensitasnya, namun kami memutuskan lanjut saja berjalan hingga Pos 5 karena
jaraknya nggak terlalu jauh dari pos sebelumnya.
Langit di sisi timur sudah mulai menyala tanda
pagi mulai menjelang, kami pun mencukupkan menikmati pemandangan sunrise hanya di Pos 5 saja, tak perlu sampai ke Puncaknya dulu. Toh tempatnya cukup terbuka dan lumayan strategis.
Menikmati matahari terbit di Puncak Lawu, Hargo Dumilah, memang sudah pernah saya lakukan
beberapa bulan sebelumnya. Cerita pendakian pertama bisa dibaca disini nih (klik). Sehingga selain keadaan yang memaksa kami untuk
menikmati sunrise di Pos 5, disisi lain saya juga ingin menikmati matahari
terbit Gunung Lawu dari sisi yang berbeda.
Sepertinya
kami mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat mendirikan camp. Gimana nggak
kesulitan coba, sudah ada puluhan tenda yang didirikan disana ditambah ada sebuah
warung dadakan lagi. Warungnya luar biasa lho… Seperti warung-warung yang ada
di tiap pos Gunung Lawu sebelumnya yang sekaligus menyediakan pondokan bagi
pendaki untuk beristirahat atau pun tiduran, di Pos 5 pun ada. Mungkin karena
bertepatan dengan malem satu Suro kali ya. Biasanya sih cuman ada di Pos 1,
namun kali ini kalau dihitung-hitung yang tidak ada warungnya hanya di Pos 4
saja, karena memang tempatnya nggak begitu luas.
Setelah
berjuang dengan menahan angin ekstra kencang yang membawa hawa super dingin di Pos 5, akhirnya
kami mendapat lokasi mendirikan camp yang tepat meski tak begitu sempurna. Agak
miring, nggak rata, cukup tertutup sih, yah gimana lagi emang sudah penuh.
Karena dikejar waktu yang terus berjalan seiring dengan langit yang mulai
menguning, saya pun meninggalkan sejenak acara mendirikan tenda dan menuju
tempat yang pas untuk memotret keindahan sunrise Gunung Lawu.
|
kerlap-kerlip Kota Magetan dikala fajar |
|
menjelang munculnya mentari |
|
Bandon menatap sang mentari |
|
begitu indah |
Beberapa
jepretan sunrise indah sudah didapat, kami lanjutkan dengan menunaikan
kewajiban untuk sholat Subuh sebelum matahari semakin meninggi. Sehabis itu
barulah kita menikmati lagi sunrise dengan leluasa.
Puas
menikmati menyingsingnya sang fajar, kami kembali ke tugas awal yang belum kelar yaitu mendirikan
tenda. Rencananya sih mau tidur bakal sejam dua jam dulu sebelum sarapan di
Warung Mbok Yem. Begitu tenda berdiri walau terpaan angin ribut terus
menghantam tenda, kami pun mengisi perut dengan masak-masak sederhana
itung-itung sebagai pengganjal perut sebelum tidur pagi, #lhoh...
Ahh,
akhirnya bisa tidur. Selamat pagiii…. haha
|
tenda kami yang agak gak jelas bentuknya |
|
Edelweiss di dekat tenda |
|
merekah rimbun |
Angin yang
ribut menghantam tenda membuat saya tidur tak terlalu pulas. Saya pun
memutuskan keluar tenda saja. Bandon yang tidur menggigil ikut keluar juga akhirnya. Baru jam 8 kurang sih, tapi kami
yang berniat ke Candi Sukuh setelah turun gunung membuat kami tak terlalu
mengulur waktu. Kami langsung beres-beres dan bergegas ke Hargo Dalem untuk
ngapeli Mbok Yem.
Sebelum
sampai di Warung Mbok Yem, kita akan melewati sebuah sumber mata air yang
disekitarnya terdapat cerukan-cerukan tanah yang bisa digunakan untuk bersembunyi
dari dinginnya udara. Namun
sepertinya saat itu Sendhang Drajad sedang kering kerontang hanya mengucur sedikit
saja, tapi tak apa lah. Selain itu juga terdapat sebuah warung lain yang sempat saya dan beberapa teman pakai untuk nginep saat pendakian Lawu yang lalu.
|
keramaian di dekat Sendhang Drajad |
|
sesajian di samping Sendhang Drajad |
|
Sendhang Drajad yang sedang mengering |
Oiya, pada pendakian Lawu yang pertama, saya sempat memecahkan gelas di warung sebelah
Sendhang Drajad, oleh karena itu di pendakian kedua ini saya bawa gelas dari rumah
untuk menggantinya karena saat itu mbok yang punya warung enggak mau diganti
dengan uang. Yasudah, diganti dengan gelas juga deh meski agak sedikit berbeda wujudnya.
Maaf ya mbok…
Kali ini
kami tidak menapaki puncak tertinggi Lawu, Hargo Dumilah, karena alasannya agak
sedikit nggak wajar yaitu karena kami sudah pernah. Bukan apa-apa sih, waktu juga
yang membuat demikian. Kali ini kami lebih memilih menuju Hargo Dalem untuk
sarapan di Warung Mbok Yem sekaligus melihat bagaimana petilasan terakhir Prabu
Brawijaya V sebelum moksa.
|
menuju Warung Mbok Yem |
|
sebuah spot sakral |
|
sesaji bunga tujuh rupa (kayaknya sih) |
Setelah
berjalan beberapa saat kami akhirnya sampai di Hargo Dalem. Sebelumnya kami
sempat melintasi beberapa bangunan yang tak tahu apa nama dan fungsinya. Sama
seperti yang ada di dekat Sendhang Drajad, bangunan yang kami kunjungi saat itu
juga terdapat sesaji berupa mawar merah putih. Kami sebenarnya tertarik dengan
petilasan Prabu Brawijaya V, namun karena ketidaktahuan kami ya cukup tahu aja
deh tanpa ada keterangan lebih lanjutnya. Bertanya pada warga yang
berada di puncak pun juga kurang memberi pencerahan.
|
warung Mbok Yem yang terlihat dipenuhi pendaki |
|
Warung Mbok Yem Sudah makin dekat |
Ada satu
bangunan lagi di Hargo Dalem berupa rumah tua dari kayu, tepatnya di atas Warung Mbok Yem. Kami pun penasaran
dengan dalamnya, barang kali itulah petilasan yang kami cari. Setelah berjalan
menuju bangunan tersebut ternyata pintunya tergembok rapat. Alhasil kami pun
langsung memutuskan mengisi perut saja di warung tanpa mengetahui bagian dalamnya.
Wah
ternyata di dalam warung sudah penuh sesak dengan pendaki. Saya yang sedari
pendakian pertama Lawu belum pernah melihat sosok Mbok Yem secara langsung akhirnya
bisa juga bertatap muka dengan mbok-mbok yang sudah tersohor di kalangan
pendaki itu. Kami memesan dua piring sotonya dan beristirahat sejenak di
pondokan yang menyatu dengan warung tersebut untuk persiapan perjalanan turun.
|
kebersamaan di dalam pondokan warung Mbok Yem |
|
tungku yang mengebul |
|
ini dia Mbok Yem #cekrik |
Nyam-nyam…
Ternyata rasanya spesial juga. Tak heran juga sih. Kapan lagi bisa menyantap
soto ayam di pucuk gunung. Bukan mie instan rasa soto lho, tapi bener-bener
soto plus nasi dan selembar telur mata sapi.
Setelah
perut terisi, kami pun berpamitan sekaligus membayar soto yang kami makan
tentunya. Wajar sih lebih mahal dari soto yang di bawah, namun karena berada di
pucuk Gunung Lawu, harga tersebut terasa sebanding dengan perjuangan untuk
membawa bahan-bahan makanan dari bawah hingga ke puncak.
Oke deh,
misi pendakian Gunung Lawu di malem satu Suro sekaligus ngapeli Mbok Yem yang
di pendakian pertama belum kesampean akhirnya terselesaikan. Saatnya turun,
Candi Sukuh sudah menunggu.
|
turun gunung |
|
view sekitar yang menakjubkan |
|
itu warung di Sendhang Drajad |
|
ehm... betah melihatnya... |
|
lihat apa yang dibawanya...!!!
EDELWEISS menn.... emang Lo ikut nanem apa??? |
|
lebih empuk dari sepring bed |
|
sabana eksotis yang mengering |
|
wiiih ada lapangan golf nya... |
|
tampak Telaga Sarangan juga |
|
jalan setapak antara Pos 5 dan Sendhang Drajad |
|
bawah Pos 5 |
|
Pos 5 |
|
warung dadakan di Pos 5 |
Eh iya, tau gak…
Di perjalanan kami saat turun gunung sempat terjadi satu hal yang cukup membuat bertanya-tanya. Entah ada hubungannya atau tidak dengan saya yang memakai celana hijau yang notabene menjadi salah satu pantangan dalam pendakian Lawu untuk memakai pakaian berwarna hijau.
Mau tau kelanjutannya?
ada di sini nih (klik)
..."pegawai diperbantukan di Kemenkeu"
BalasHapusHaha, been there.. Kayaknya saya nyasar di blog sesama alumni nih. Salam kenal :)
Negeri atas awannya Lawu masih tetep keren yak, Juni 2011 pas magang pernah kesana juga. Tapi gak sempet mampir warung Mbok Yem :|
Dulu saya juga melanggar 1 pantangan dari 7 pantangan pendakian lawu, tapi alhamdulillah masih tetap dalam lindunganNya.
Ditunggu cerita selanjutnya :)
Iyakah mas? skrg tugas dmn?
HapusSalam kenal jg hehe....
Blm afdol mas klo blm ke warunge mbok Yem...
Kpn2 ksono lg mas....
Sunsetnya memang mantapp!! nice pics..
BalasHapusThx mas.... klo yg sy foto itu sunrise mas,
HapusSaya juga pernah melanggar 1 peraturan pas di Lawu, Alhamdulillahnya..... yang kena imbas malah teman saya, hehehee....
BalasHapus*yang bersambung buruan dilanjutkan, Mas... (keburu penasaran) :D :D :D
Iya mbak... percaya ga percaya sih, kalo ga ke diri sendiri ya temen se tim,
HapusLanjutannya masih otw hehe...
keren banget pemandangan nya
BalasHapusiya mas, sangat keren...
Hapusapalagi bisa secara langsung menikmati keindahan ciptaan-Nya itu secara langsung...
Jd pengen nanjak gunung niieee...
BalasHapusjangan lupa persiapan yang mantap ya kalau jadi mendaki...
Hapusfotonya pake kamera apa nih kak ? SLR ? kok hasilnya keren keren banget ya ? aku rencana mau kesana tgl 22 agustus via cetho dan aku dokumentasi , kamera ku nikon d3200 , trus itu edit ga ?? asli fotonya keren keren banget parah !!
BalasHapusndak ku edit kok, cuman tambah pake filter CPL aja...
Hapusedit nya dimana mas ?? bagi bagi ilmu dong
Hapuspake filter yg di pasang di depan lensa kamera mbak...
Hapussekedar berbagi informasi..
BalasHapus"7 pekerjaan yang cocok untuk pendaki gunung"
http://goo.gl/GRiJPp
wih, ko di gunung banyak bangunan gitu ya
BalasHapusitu posnya dibangun shelter2 mas...
Hapusditambah lagi kalau malem satu suro, pendakian super rame bgt, dibangunlah warung-warung semi permanen dadakan...
oiya itu bangunan-bangunan yg di puncak dibangun karena disitulah terdapat situs-situs peninggalan Prabu Brawijaya V
HapusNyasar ke blog ini keren banget fotonya mas
BalasHapusthx mbak...
Hapusmas ane ijin artikel ente ane tampilin di blog ane yah mas , ada di pengalaman . terimakasih mas
BalasHapushttp://jelajahalam18.blogspot.com/
monggo mas...
Hapus