Semalam di Waerebo, Melebur Bersama Mereka


Sudah menjadi hal wajib jika ke Waerebo untuk sekaligus menginap disana. Tentu bakal menjadi pengalaman tersendiri bisa merasakan bagaimana tinggal di salah satu "Mbaru Niang", rumah adat di desa etnik yang berada ketinggian sekitar 1.100 mdpl itu. Temen-temen mungkin bertanya-tanya juga mengenai bagaimana perijinannya, bayar berapa, dan lain-lainnya. Kalau lagi nggak pengen pusing, biasanya dari trip organizer seperti yang saat itu saya pakai sudah semua termasuk ke dalam biaya awal alias all in one. Tapi kalaupun mau kesana secara mandiri bisa juga kok. Rinciannya kira-kira seperti yang diceritakan oleh dua orang traveler yang menginap dihari yang sama dengan kami. Mereka berdua pergi ke Flores tanpa trip organizer. Tapi mereka ke pulau-pulaunya tetep pakai operator juga sih. Operator ke pulau-pulau banyak tersedia di Labuan Bajo dengan harga tegantung dengan fasilitas, durasi, dan banyak spot yang dikunjungi. Setelah mengunjungi beberapa pulau, barulah mereka menuju Waerebo. Singkat cerita, dari Labuan Bajo mereka naik elf ke Denge, desa terakhir sebelum trekking. Biasanya bakal sampai di Denge tengah malam, tidur sejenak di homestay, paginya sarapan, lantas memulai trekking menuju Waerebo. Untuk trekking, harus ditemani seorang guide. Tawar-menawar terlebih dahulu tentunya sekaligus nanti sang guide pula yang bakal menjadi jembatan untuk perijinan dan administrasi kepada ketua adat Waerebo. Biaya untuk guide kalau belum naik sebesar Rp 100.000,-an dan untuk semalam menginap di Mbaru Niang dikenakan biaya Rp 325.000,- sudah termasuk upacara penyambutan, kuliner tradisional, bisa mencicipi kopi khasnya yang enak banget, tempat tidur beralas tikar lengkap dengan selimut tebal, dan kamar mandi. Tersedia juga etalase souvenir, oleh-oleh, dan kopi bubuk untuk wisatawan yang pengen beli kenang-kenangan dari Waerebo.

Salah satu hal yang menarik saat mengunjungi Waerebo adalah trekking sejauh sekitar 8 km melewati jalan setapak yang juga digunakan untuk warga Waerebo yang turun untuk menjual hasil bumi maupun membeli kebutuhan lain. Terbukti saat itu kami sering berpapasan dengan warga Waerebo yang turun, salah satunya membawa sebongkok kayu manis untuk dijual di pasar. Sempat juga kami berpapasan dengan salah satu ketua adat Waerebo yang juga dalam perjalanan turun untuk mengunjungi kerabat yang sudah menetap di desa lain. Bicara soal ketua adat, Waerebo dikepalai beberapa ketua adat yang bakal menyambut dan memberi sedikit wejangan ketika kita datang mengunjungi Waerebo. Sampai saat ini ada 3 ketua adat yaitu Bapak Alexander Ngadus yang lahir di Manggarai tahun 1947, Bapak Rafael Niwang yang lahir pada tahun 1927, dan juga Bapak Rofinus Nompor yang lahir pada tahun 1937. Salah satu dari mereka akan dengan ramah menyambut kita saat berkunjung ke Waerebo. Saat itu rombongan kami disambut oleh Bapak Rofinus Nompor, sedangkan dua ketua adat yang lain kebetulan sedang turun ke Denge untuk mengunjungi kerabat yang sudah tidak tinggal lagi di Waerebo.
Setidaknya ada 7 rumah adat yang berdiri dengan satu bangunan utama yang fungsinya untuk upacara adat dan penyambutan tamu bernama rumah gendang. Yap tepat, karena di dalam rumah adat utama yang juga ukurannya paling besar dan tinggi itu terdapat gendang dan beberapa properti upacara adat yang lainnya. Rumah Gendang juga dijadikan rumah hunian beberapa kepala keluarga dengan terbagi kamar-kamar dengan bagian tengah untuk tempat berkumpul dan juga dapur.
Berbeda dengan rumah gendang, para pengunjung yang datang dan menginap akan ditempatkan di salah satu rumah yang lataknya paling pinggir.

waduh, ini kok malah jadi kayak pengungsian yahhh hehe...

nge-cas smartphone adalah koentji begitu nyampe Waerebo
ngantre yah tapi

Bagian tengah rumah digunakan untuk berkumpul sambil makan, minum kopi khas Waerebo, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja sembari menunggu kantuk tiba di malam hari. Listrik sudah sampai kesini kok karena makin banyak wisatawan yang bermalam.

sumpa demi apa, kopinya "juara umum"

Kami saat itu juga sempat ada acara potong ayam juga loh. Bahkan kami sendiri yang diminta untuk memotong ayamnya. Begitu matang, saatnya makan deh. Kulinernya yang sederhana menjadi mewah ketika dinikmati bersama di dalam Mbaru Niang. Selain kopinya yang juara, sambal yang disajikan pun sangat enak dan terasa lain daripada yang lain. Ada gurih-gurihnya gitu, entah dari mana. Selain itu, bakal disajikan pula pisang dengan kulit berwarna kemerahan yang bisa menjadi teman ngopi setelah santap malam. Pokoknya sempurna lah perjalanan kali itu.
Pagi harinya, bisa dimanfaatkan untuk berkeliling sekitar dan melihat aktivitas sehari-hari warga. Pada musim tertentu bakal menjumpai kegiatan menjemur kopi tapi karena saat itu kami datang ketika musim hujan sehingga kegiatan warga yang bisa kami lihat adalah tenun menenun. Ketika sang ibu menenun, ayah pergi ke kebun, anak-anak pun bermain di halaman rumah yang berumput. Kami pun sempat bermain juga dengan anak-anak Waerebo yang pas awal-awal malu-malu gitu, tapi lama-kelamaan mereka bisa ketawa ketiwi juga sama kami.













Sungguh luar biasa kan yaaa, sampai-sampai PBB pun memberikan penghargaan bagi salah satu dari sekian banyak budaya Indonesia. Sebagai generasi muda, kita semua bertugas untuk melestarikannya dan terus menjadi agen promosi agar Waerebo semakin mendunia.

Komentar

  1. Selalu jadi inspirasi buat menulis, nih. Mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasiiii yha, tapi lagi blm ada semangat nulis lagi nih padahal ada beberapa perjalanan yg blm ditulis

      Hapus

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!