Setiap
pendaki gunung pastinya selalu punya ambisi untuk terus dan terus berusaha
menapaki puncak-puncak gunung yang ada. Dari satu puncak lalu ingin ke puncak gunung
yang lain. Jadi, apa sih sebenarnya yang para pendaki termasuk saya sendiri cari
di puncak gunung sana?
Kalau
ditanya seperti itu simpel saja jawaban saya, banyak rahasia tersimpan
di tingginya gunung dan hanya bisa diketahui setelah kita
mendakinya. Rahasia itulah yang saya atau mungkin pendaki-pendaki lain
jadikan
alasan kenapa mendaki gunung. Semua
orang tahu kalau gunung itu dingin, tapi kita baru bisa
benar-benar merasakan dinginnya jika kita telah memijakkan sendiri kedua
kaki ini disana secara langsung
bukan.
|
Argopuro, Mount of Thousands Savanas |
Di postingan sebelumnya sudah saya ceritakan gimana gambaran garis besar pendakian Gunung Argopuro, apa saja keunikannya, sampai mitos dan legenda apa saja yang terkait gunung dengan jalur pendakian terpanjang se-Pulau Jawa itu. Kali ini bakal diceritakan langkah demi langkah pendakian kami mulai dari basecamp hingga sampai puncak kemudian turun menuju basecamp yang ada di sisi lain Gunung Argopuro dengan selamat.
Menuju Basecamp Baderan
Kami
berangkat dari Jakarta sekitar jam 2 siang menggunakan kereta menuju Stasiun
Pasar Turi, Surabaya. Tiba di stasiun tujuan kurang lebih jam 2 pagi dan nggak
disangka driver elf yang bakal nganterin kami menuju basecamp Baderan sudah
menunggu di depan stasiun. Yap, kami memilih carter mobil saja dari pada harus
gonta-ganti bus dari Surabaya ke Bondowoso. Enaknya lagi sepanjang perjalanan
bisa dipake buat tidur mempersiapkan tenaga tanpa khawatir kebablasan. Kalau ada bro-bro dan sista-sista calon pendaki Argopuro yang berencana mau carter elf juga seperti
kami, bisa drop your email on the comment
form below ntar saya kasih kontak drivernya deh. Btw,
jarak Surabaya ke basecamp pendakian Gunung Argopuro di Desa Baderan yang masuk
wilayah Kabupaten Bondowoso itu lumayan jauh juga loh. Kami bisa puas tidur,
bangun, tidur lagi, dan bangun lagi selama di jalan. Bisa
sampai makan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan beberapa kali berhenti doang sih, cuman sekedar sholat dan belanja logistik di suatu pasar tradisional di Probolinggo.
Oiya, kalau memakai moda transportasi bus, perlu diingat kalau turunnya di
daerah yang namanya Besuki kalau kalian sudah sampai di Bondowoso. Abis itu tinggal ngojek aja atau kalau ada tebengan
mobil pick up bisa dimanfaatkan buat
nganterin ke basecamp. Jarak Besuki ke Baderan bisa ditempuh selama 50 menit
dengan jalanan beraspal nan menanjak.
Setelah
mengarungi jalanan yang teramat panjang, finally
kami pun sampai di basecamp Baderan. So
exited karena kami bakal mendaki gunung yang jalur pendakiannya panjang
pula. Melihat arloji di tangan teman, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul
8.30 WIB. Sudah ada beberapa pendaki yang bersiap untuk mendaki, bahkan ada
pula yang sudah siap di atas motor ojeknya untuk segera ber-off road ria. Istimewa
kan, Argopuro ternyata bisa didaki dengan ngojek. Gak tanggung-tanggung bisa
sampai Cikasur yang rencananya bakal kami gunakan pula sebagai lokasi camp di malam kedua pendakian. Enak sih
ngojek, tapi kami lebih memilih untuk menyusuri jalur pendakian Argopuro
setapak demi setapak sambil menikmati keindahan apa yang dimilikinya.
Target
jam 11 siang kami sudah harus mulai jalan. Jeda waktu kami manfaatkan buat
packing ulang dengan membagi rata semua logistik dan peralatan yang lumayan
bejibun. Setelah terpack rapi, selanjutnya nggak lupa kami mengurus perijinan
dan administrasi yang dikelola oleh BKSDA Suaka Margasatwa Dataran Tinggi
Hyang. Uniknya, biaya administrasi pendakian dihitung dari lama hari pendakian
itu sendiri. Beda dari gunung yang lain-lainnya kan. Waktu itu sih perharinya dipatok
Rp 25.000,- untuk akhir pekan dan Rp 20.000,- untuk hari biasa. Itu pun kalo
belum berubah yaa, berubahnya pun biasanya naik hehe. Normalnya pendakian Argopuro
selama 5 hari 4 malam, jadi sediakan minimal uang Rp 200.000,- tunai di dompet.
|
Basecamp Baderan |
Yap,
kami siap mendaki. Tak lupa kami foto bareng dulu di depan basecamp sebagai
kenang-kenangan karena besok kami turun nggak lewat basecamp ini lagi. Target
pendakian hari pertama sampai di Pos Mata Air I untuk bermalam.
Pendakian
Hari Pertama
Basecamp
– Pos Mata Air I
Seperti
biasanya, jalur pendakian yang belum terlalu jauh dari basecamp masih berupa
jalan dusun yang beraspal. Makin menjauh dari rumah-rumah penduduk, jalur
perlahan berganti menjadi ladang-ladang dengan percabangan jalan yang lumayan
banyak dan bikin bingung. Tapi santai, disitu kita bakal masih sering berpapasan
dengan para petani yang lagi beraktifitas jadi kalau bingung bisa tanya sama
warga sekitar. Karena percabangan yang membingungkan ini pula kami sempat
kesasar dua kali tapi untungnya kami segera menyadari kalau kami agak berjalan
menyimpang dan akhirnya memutuskan berbalik arah. Sebenarnya kami sudah membawa
dua gps, satu GPS konvensional dan satunya lagi GPS berupa aplikasi hp yang
bisa dijalankan tanpa jaringan operator namun tetap saja bisa kesasar. Coba
kami nggak bawa GPS, bisa-bisa kesasarnya makin menjadi-jadi. Di awal pendakian juga banyak sekali air terjun yang ada di tebing-tebing di seberang jurang yang lumayan menghibur dikala lelah melanda.
Target
pendakian hari pertama adalah Pos Mata Air I yang bakal menjadi
lokasi kami bermalam. Nggak sesingkat yang dibayangkan untuk sampai di pos itu. Banyak yang harus
kami lalui dulu sebelumnya. Diantaranya harus melawan kebingungan karena
percabangan jalur di awal pendakian yang bikin kesel karena minim sekali
petunjuk, cuaca yang berubah drastis mulai dari terik hingga lama-kelamaan
berubah menjadi rintik-rintik hujan, hingga masalah beberapa rekan kami yang
mengalami kram yang sering kambuh. Ngomong-ngomong soal kram, penyebab pastinya
nggak secara pasti diketahui namun pada umumnya karena cidera otot saat
melakukan aktifitas berat termasuk mendaki gunung yang mengharuskan kita untuk
menghadapi medan yang ekstrim dan juga udara yang dingin. Kontraksi otot ini biasanya
terjadi secara tiba-tiba, berlangsung selama beberapa detik hingga beberapa
menit saja, namun rasa nyerinya bisa menyebabkan penderitanya sampai berteriak
bahkan kalau nggak tahan menahan rasa nyeri itu bisa tak sadarkan diri untuk
beberapa saat. Nah, secara medis penyebab kram ini ada beberapa, misalnya:
- Kekurangan
mineral tertentu seperti kalium, kalsium, dan magnesium,
- Tekanan
saraf tulang belakang karena saat berjalanan terlalu tegang, kurang rileks,
atau menggunakan terlalu banyak otot,
- Suplay
darah yang kurang mencukupi kebutuhan tubuh,
- Dehidrasi
atau kekurangan cairan tubuh,
- Dan
penyebab lain.
Sebenarnya kram bisa dicegah atau bisa juga diredakan dengan:
- Mengkonsumsi
multivitamin yang mengandung mineral penting, terutama kalium, kalsium dan magnesium,
- Melakukan
pemanasan terlebih dahulu sebelum melakukan aktifitas berat,
- Jangan
biarkan tubuh kekurangan cairan. Minum secukupnya, jangan kurang jangan pula
berlebihan,
- Dan
yang nggak boleh dilupakan adalah cara jalan, posisi tubuh, serta pilih sepatu
yang bener-bener nyaman di kaki dan pas di hati #ups , biar nggak bikin cidera yang
berpotensi mendatangkan kram,
Jika
kram sudah menyerang maka rilekskan otot dengan duduk sembari melonggarkan
sepatu dan ikat pinggang, lalu lakukan pijatan secara mandiri di bagian yang
terasa nyeri, kalau tersedia bisa mengkompresnya dengan air panas.
Itu sekedar tips aja sih gaess untuk menghadapi kram yang sering menjadi masalah saat
mendaki gunung.
Karena situasi dan kondisi saat itu, maka akhirnya diputuskan
rombongan dibagi menjadi dua. Tim yang berjalan di depan tentunya yang membawa
tenda agar bisa sampai di lokasi camp dan segera membangun terlebih dulu dan disusul tim kedua yang diharapkan mendaki dengan santai saja karena ada anggota yang terkena kram.
Nggak
disangka untuk menuju pos pertama waktu yang kami habiskan lumayan lama juga.
Dari mulai mendaki pukul 11 siang tim pertama baru sampai pukul 18.30 lalu tim kedua tiba setengah jam kemudian. Untung saja hujan mulai turun setelah
kami semua masuk ke dalam tenda jadinya kami nggak basah-basah banget malam itu.
Oiya, kami sempat mencari cari dimana lokasi mata airnya, secara nama pos yang
kami jadikan tempat camp malam itu adalah Pos Mata Air I. Namun di malam gelap
itu kami nggak menemukan sedikitpun petunjuk dimana posisi mata airnya.
Karenanya, kami memasak dengan bekal air yang dibawa dari bawah.
Tiba
juga waktu untuk kami beristirahat, hal yang sudah kami tunggu-tunggu sejak
setengah perjalanan di hari pertama yang cukup berat tadi. Lumayan cepet kami
tidur tanpa ada haha hihi terlebih dulu. Selain lelah, juga karena esok hari
masih ada pendakian selanjutnya yang entah medannya lebih berat atau gimana
yang penting kami persiapkan dulu tenaga.
Pagi
hari kami terbangun dan melihat sekitar ternyata kami berada di pos yang
letaknya di pinggir jurang dengan aliran sungai yang cukup kedengaran deras, meskipun sungainya sendiri nggak nampak dari lokasi kami berada saat itu. Kami sempat mengira-ira
apakah itu mata air yang dimaksud atau bukan. Setidaknya semoga ada sumber air yang lebih
manusiawi lagi lah ya untuk dicapai, pasalnya sungai itu bener-bener ada di
dasar jurang yang dalem banget. Oiya, karena udah terang kami yang sedari malam
memang penasaran dimana letak mata airnya mencoba berjalan di sekitar pos siapa
tahu ada petunjuk yang mengarahkan ke mata air. Benar saja ternyata ada anak
panah kecil yang ada di satu pohon yang memberi sedikit petunjuk namun nggak
secara gamblang ngasih tau kalau itu ke arah mata air. Dari pada menebak-nebak
kami coba saja turun. Meskipun agak susah ya medannya, malah tergolong susah
banget untuk ukuran menuju ke mata air, kami mencoba menuju ke arah sumber
suara gemercik yang sedikit memberi pencerahan bahwa itu memang letak mata
airnya. Benar saja kami melihat satu aliran sungai yang nggak terlalu besar
namun air yang ada sangat bersih dan seger. Kami isi semua botol kosong yang
kami bawa untuk bekal melanjutkan perjalanan.
Sekedar
info kalau lokasi sumber air di Pos Mata Air I Gunung Argopuro jalur Baderan
berada di kiri jalan setapak kalau kita dari arah basecamp. Letaknya agak
dibawah dan jalurnya agak curam. Nggak terlalu jauh kok, paling jalan 5 menit
untuk ke lokasi.
Kejadian
unik lain yang kami alami di Pos Mata Air I adalah kejutan datangnya
segerombolan kera ke tenda kami. Pas lagi masak-masak tiba-tiba ada tamu yang
datang kirain siapa ternyata seekor kera terpuruk terpenjara dalam goa. Eh
nggak cuma satu doang, ada kali sekitar 5 ekor datang menyapa kami di pagi hari
yang sedikit berkabut itu. Mereka nggak nakal kok, cuman minta sedikit makanan
doang. Kera-kera itu meski agak bikin kaget, tapi menjadi sedikit hiburan buat
kami. Iya, hiburan ngeliat binatang tanpa harus ke kebun binatang, tapi di alam
langsung. Lebih greget kan...
|
ini adalah tamu yang ngetok pintu tenda kami di pagi hari |
|
indahnya berbagi |
Selesai
makan kami lanjut packing untuk menuju ke target selanjutnya. Jalan masih
panjang men, sepanjang jalan kenangan. Dan pendakian ini tentunya bakal jadi
kenangan di masa depan. Lanjut bang...
Pendakian
Hari Kedua
Pos
Mata Air I – Savana Cikasur
Kami
mulai jalan dari Pos Mata Air I pukul 9 pagi. Target hari kedua adalah Savana
Cikasur yang akan menjadi tempat camp di malam yang kedua. Sebelum sampai
Cikasur kami masih harus melewati beberapa pos terlebih dulu. Seperti yang saya
bilang di postingan sebelumnya bahwa jalur setelah Pos I sudah mulai sangat jelas, nggak
seperti jalur di awal-awal pendakian yang banyak sekali percabangannya. Paling
kalau ada cabangnya juga itu adalah antara jalur pendaki sama satunya adalah
jalur buat motor ojek. Kalau mau lewat jalur ojek sah-sah aja sih, cuman lebih
enak jalan di jalurnya hehe. Ketahuan banget kok mana jalur buat pendaki dan
mana yang buat ojek. Selain ada jejak ban motor, jalur buat ojek cenderung ada
cekungannya yang seukuran satu ban motor lebih dikit.
|
kami mencoba lewat jalur ojek |
Beberapa
menit berjalan kami sampai di satu portal yang menurut info adalah batas
kawasan. Entah batas kawasan cagar alam atau batas kabupaten kami agak kurang
tau. Yang kami rasakan setelah melewati portal itu, hutan di sekitar
keliatan beda aja gitu. Nggak berapa lama dari situ kami pun sampai di Pos Mata
Air II. Berarti kira-kira dari pos sebelumnya jarak tempuhnya sekitar 2 jam
kurang 15 menit.
|
portal batas kawasan |
Kami
istirahat sekaligus memasak untuk mengisi tenaga karena masih lumayan jauh
jarak yang harus kami tempuh untuk sampai di Cikasur. Kali ini saya lagi yang
bertugas ngambil air, selain karena penasaran gimana bentuk sumber airnya, saya
juga mau membandingkan dengan kondisi mata air di Pos Mata Air I.
|
leyeh-leyeh di Pos Mata Air 2 |
Kali ini
letak sumber air berada di sebelah kanan jalur pendakian kalau dari arah
Baderan. Sama-sama harus ke bawah dulu namun nggak securam sebelumnya. Sampai
di lokasi sumber air ternyata berupa sungai jernih yang alirannya lebih deras.
Karena letaknya lebih atas jadinya suhunya pun lebih dingin dari mata air yang
pertama.
|
sumber air Pos Mata Air 2 |
Oiya,
nggak sengaja ada petunjuk di pohon yang menginformasikan kalau di lokasi kami
saat itu terdapat sinyal operator. Saya pun mengaktifkan ponsel untuk sekedar
mengecek ada notif apa yang masuk.
Ternyata nggak ada jaringan internet sih, cuman sinyal biasa saja. Keberadaan
sinyal operator itu saya manfaatkan untuk berkabar dengan orang tua, terlebih
saya belum ngabari sejak mau mendaki. Seharusnya kalau mau naik gunung, ngabari
atau minta ijin ortu jauh-jauh sebelum mendaki dong yaaa, jangan pas udah di
ketinggian baru ngabari. Jangan di contoh yaaa, saya pun khilaf. Karena doa dan
ijin orang tua adalah kunci suksesnya pendakian kita. Dengan doa ortu bisa jadi
pemandangan dan cuaca yang kita dapatkan cerah tanpa kabut. Mungkin kalau
kalian para pendaki yang kalau naik gunung seringnya dapat kabut doang, mungkin
kalian belum ijin orang tua haha.
Okay,
kami lanjut lagi dan titik yang kami lewatin selanjutnya adalah alun-alun kecil
yang waktu tempuhnya sekitar satu setengah jam dari Pos Mata Air II. Tempat ini
adalah savana pertama yang kami lewati sebelum nantinya bakal ketemu savana-savana Argopuro lain yang
jumlahnya nggak kehitung. Sebenarnya savana-savana ini adalah bekas hutan yang
mati lalu tumbuhlah rerumputan yang memenuhi permukaan tanahnya lalu terciptalah savana. Dan di
Argopuro jalur Baderan ini jumlah savana yang dilalui pendaki banyak
banget, Itu baru yang dilalui jalur pendakian saja loh ya, belum yang nggak di jalur pendakian.
|
berbaris di pinggiran savana Alun-alun Kecil |
Savana
pertama bernama Alun-alun kecil entah sekecil atau sebesar apa kami nggak tahu
batesnya, soalnya waktu kami sampai disana kabut begitu pekat sehingga menutupi pemandangan. Namun,
kecantikan savana tersebut masih kelihatan. Berkabut aja cantik, apalagi kalau cerah
yah, pasti secantik kamu yang disana.
Puas berfoto ceprat-cepret, kami lanjut ke point selanjutnya yaitu
Alun-alun Besar. Waktu tempuhnya 1,5 jam dari Alun-alun Kecil. Kali ini
seberapa besar Alun-alun besar bisa keliatan, sebab pas nyampe disitu lumayan
agak cerah. Bener saja sesuai namanya, luas banget nget nget. Disitu kami
berhenti di tengah-tengahnya untuk ngopi-ngopi tampan sambil menikmati
ciptaan-Nya yang sungguh-sungguh terlalu mempesona.
|
Alun-alun Besar |
|
lari-lari dulu ah biar panas...!!! |
Keluar
dari Alun-alun Besar hujan mulai turun dan karena hari mulai sore jadi
sepertinya hujan bakal agak lama. Kami putuskan untuk memakai jas hujan dan
melanjutkan perjalanan yang sebagian besar masih berupa dataran, hanya beberapa
kali tanjakan dan turunan yang nggak seberapa. Kenapa dataran, nggak lain dan
nggak bukan karena emang sebagian besar yang kami lewati adalah savana-savana luas.
Mendaki
gunung harus sabar emang, nggak cuma Argopuro doang sih tapi semua gunung harus
didaki dengan lapang dada selapang savana Cikasur yang sebentar lagi kami
temui. Meski capek jangan sampai terlontar kata capek dari mulut kita yang
penuh dosa ini. Rasa seolah nggak nyampe-nyampe pasti bakal muncul pas
mendaki Argopuro, tapi kalau sabar pasti ntar banyak kejutan yang bakal
diperoleh dengan nama dan bentuk apapun.
Setelah
berjalan 4,5 jam dari Pos Mata Air 1 finally
kami sampai juga di target kami di pendakian hari kedua ini yaitu savana maha
luas benama Cikasur. Sungai Qolbu pun menyambut kedatangan kami dengan
menampakkan hijaunya selada air yang memenuhi permukaan airnya seolah meminta
untuk segera dijadikan pecel selada air khas Argopuro. Yeah, karena kami sudah
memperoleh info kalau sungai yang berada di dekat Savana Cikasur itu ditumbuhi
banyak tanaman yang kata para pendaki selada air, kami sudah menyiapkan bumbu
pecel untuk menjadikannya lauk makan malam. Spesial banget dan baru pertama
kali dalam sejarah pendakian gunung saya bisa makan pecel yang sayurnya ngambil
langsung di gunung.
|
Sungai Qolbu nih gaess |
|
Sungai Qolbu dan hamparan selada air nan melimpah |
Tanaman yang ada di Sungai Qolbu itu kalau dilihat dari
bentuknya nggak sama seperti slada yang sering ditemukan di tengah-tengah
burger, tapi lebih mirip tanaman yang memang sejenis sayuran yang tumbuh subur
di sekitaran umbul yang ada di daerah Klaten. Tau gak sih?
Sambutan
untuk kami di Cikasur juga berasal dari aura mistis yang entah dari mana
datangnya namun begitu terasa. Hujan yang menemani kami semenjak keluar dari
Alun-alun Besar juga menambah dingin suasana sore itu. Begitu sampai di Cikasur
kami langsung mencari tempat berteduh sementara yaitu di puing-puing bangunan
dengan atap seng yang sepertinya memang sering digunakan untuk berteduh karena
didalamnya terdapat bekas api unggun. Nggak perlu diceritakan lagi kali yak
tentang bangunan itu dan sejarah apa yang pernah terjadi di Cikasur. Di
postingan sebelum ini udah diceritain lumayan lengkap kan. Kalau belum baca bisa dibaca disini nih.
|
puing bangunan di Cikasur |
Dirasa
hujan yang kami nanti nggak kunjung reda, kami pun memaksakan diri
untuk membangun tenda saat hujan turun. Lokasi yang kami pilih adalah di bawah
pohon yang ada di tengah-tengah savana. Pohon soliter yang cuman sendirian gitu
di tengah savana yang luas, hanya dikerumuni semak-semak yang seolah menjadi
pelindungnya. Namun, formasi pohon dan semak-semak itu membentuk sebuah lokasi
camp yang aman dari angin loh. Hingga tenda berhasil kami dirikan hujan belum
juga reda, tapi sudah agak mendingan lah dari pada yang tadi-tadi. Kami lalu
membagi tugas ada yang menyiapkan alat masak dan ada pula yang mengambil air
sekaligus memetik slada air yang ada di Sungai Qolbu.
|
camp area |
Malam
pun datang dan masakan spesial sudah tersaji di hadapan kami masing-masing. Kami
makan dengan lahapnya karena perut memang sudah minta diisi, terlebih lagi
dengan menu yang sangat istimewa. Malam
itu tak banyak kami isi dengan kegiatan, namun kami gunakan untuk istirahat dan
tidur. Berharap tidur nyenyak dan nggak kepikiran dengan cerita-cerita serem
Cikasur.
Alhamdulillah,
akhirnya pagi dan di luar tenda sudah sangat berisik suara-suara unggas yang
bersahut-sahutan dari segala penjuru. Suara itu nggak seperti suara ayam jantan
yang berkokok seperti di kampung-kampung, namun suara yang entah dikeluarkan
oleh hewan apa kami belum bisa pastikan. Kami sempat mengira kalau itu adalah
merak. Memang Cikasur adalah habitat hewan-hewan liar, salah satunya adalah merak hijau. Sebenarnya kami juga mengharapkan bisa
melihatnya secara langsung. Hingga untuk mengobati rasa penasaran, saya dan
beberapa teman keluar tenda untuk mencari sumber suara. Kami mencoba mendekati
sumber suara di semak-semak, namun semakin kami mendekat suara itu makin
hilang. Tiba-tiba di kejauhan terdengar kepakan sayap dan ada sesuatu berwarna
hijau dan ukurannya lumayan gede terbang ke pohon. Benar saja itu adalah merak
hijau yang hidup bebas di Argopuro. Sepertinya suara yang bersahut-sahutan
sejak pagi itu bukan berasal dari mulut merak, namun ayam hutan yang juga hidup
bebas disana. Pengalaman yang keren banget bisa melihat binatang-binatang tanpa
harus ke kebun binatang atau taman safari, tapi jangan sampai deh ketemu macan
kumbang yang katanya juga masih ada di Argopuro.
|
bukan ini loh meraknya |
Pendakian
Hari Ketiga
Cikasur
– Rawa Embik
Kami
sudah memasuki hari ketiga pendakian di Argopuro. Kondisi fisik kami mulai
terbiasa dengan medan dan suasana yang ada. Rasa lelah juga perlahan sudah
menjadi kawan yang keberadaannya turut mewarnai perjalanan. Kami pun siap
melanjutkan perjalanan makin mendekati puncak. Hari itu menjadi perjalanan yang
paling panjang karena kami juga berencana akan melakukan pendakian pada malam
harinya.
|
boys talk di tengah jalur pendakian |
Keluar
dari savana maha luas Cikasur, kami perlahan berjalan di tepian padang rumput
dan menghadapi tanjakan di satu bukit yang mengarahkan kami menuju Cisentor, check point selanjutnya. Disitu makin
banyak savana-savana yang kami lewati. Jalur pendakian menuju Cisentor masih
nggak terlalu beda dengan sebelumnya. Landai-landai dengan sedikit tanjakan dan
turunan manja. Hanya saja pemandangan akan lebih didominasi dengan pepohonan
pinus yang lumayan tinggi-tinggi. Sekiranya butuh waktu 3 jam perjalanan dari
Cikasur sampai Cisentor.
|
savana lain setelah Cikasur |
Cisentor
juga terdapat percabangan jalur dimana ada yang mengarah langsung ke Danau
Taman Hidup dan ke Puncak. Kalau mau langsung ke Taman Hidup dan secara
otomatis bisa sampai Bremi lebih cepat dengan melewati jalan setapak di sebelah
kiri gubug jika kita menghadap gubug, tapi kalau mau ke puncak kita harus ke
Rawa Embik dulu dengan melewati jalan setapak yang menanjak di sebelah kanan
teras gubug. Karena misi kami ingin “menyapa” Dewi Rengganis dan juga melihat
arca yang berada di puncak, maka kami memilih jalur yang mengarah ke Rawa
Embik. Seiring dengan langkah kami yang meninggalkan Cisentor, sore pun tiba
dan jalur pendakian yang menuntun kami berubah menjadi bukit-bukit yang cukup
terjal. Tenaga kami pun perlahan hampir terkuras disaat-saat hampir sampai di
Rawa Embik. Sekira perlu waktu satu jam untuk sampai di savana dengan satu
sungai berair sangat jernih itu dari Cisentor.
Rawa
Embik konon adalah tempat menggembala hewan ternak di jaman Kekeratonan Dewi Rengganis
karena ketersediaan rumput dan air yang melimpah disana. Tapi kalau
dipikir-pikir jarak dari puncak masih jauh loh, namun karena orang-orang dulu
strong-strong mungkin bisa saja hanya untuk menggembala hewan ternak rela harus
jalan jauh dulu. Satu hal yang masih menjadi tanda tanya adalah kenapa
dinamakan Rawa Embik sedangkan nggak ada rawa disitu. Kalau “embik” kan artinya
kambing, masih nyambung lah dengan latar belakang sejarahnya.
|
inilah Pos Rawa Embik yang dingin banget |
|
dandelion |
|
sumber air super jernih di Rawa Embik |
Khusus
untuk hari ketiga, pendakian dilakukan sampai malam hari. Karenanya, di Rawa
Embik kami persiapkan segala sesuatunya agar nggak terjadi hal-hal yang tak
diinginkan. Kami memasak, sholat, dan menyiapkan peralatan yang diperlukan
untuk pendakian malam. Udara di Rawa Embik sangat dingin secara tempatnya terbuka
banget. Nggak kebayang kalau camp disitu dinginnya kayak apa.
Pukul
8 malam kami lanjutkan lagi pendakian dengan target Savana Lonceng yang sudah
sangat dekat dengan ketiga puncak. Suasana malam itu sangat cerah dengan
taburan bintang di langit, namun baru berjalan nggak seberapa jauh tiba-tiba
kabut pekat datang dan membatasi jarak pandang yang sebenarnya tanpa kabut pun
jarak pandang sudah terbatas karena gelap. Saat itu yang kami rasakan hanya
ingin segera sampai di Savana Lonceng, tapi harus tetep sabar berjalan setapak
demi setapak di tengah tanaman perdu yang kadang akarnya nyrimpet-nyrimpet di
kaki.
Sampailah kami di suatu pertigaan yang bernama Pertigaan Gunung Semar.
Jangan salah pilih jalan karena yang mengarah ke Savana Lonceng adalah yang ke
kiri dengan jalur agak menurun. Kami sampai di suatu tanah lapang yang sangat
luas namun kami nggak lantas yakin kalau itu adalah Savana Lonceng, pasalnya di
Argopuro sangat banyak savana. Jadi saat itu kami pun terus berjalan saja
hingga ternyata ada petunjuk yang meyakinkan bahwa itu adalah savana yang
menjadi tujuan kami malam itu. Savana terakhir yang kami lihat malam itu memang
Savana Lonceng. Lokasi camp bukan di tengah savana tapi di bagian pinggirnya
yang juga terdapat beberapa pohon rimbun yang bisa menjadi pelindung dari angin
yang membawa hawa super dingin. Tanpa pikir panjang kami langsung meletakkan
tas kami dan langsung mengeluarkan tenda dan membangunnya tanpa banyak bicara.
Kami pun memejamkan mata dan menanti kejutan esok hari.
Hari
Keempat Pendakian
Menuju
Puncak Argopuro
Sebelum
fajar menyingsing kami sudah dibangunkan oleh alarm ponsel. Kami sholat subuh
kemudian sarapan dan minum yang anget-anget untuk menghangatkan badan dan
menyiapkan tenaga untuk summit attack menuju ketiga puncak Argopuro. Urutan puncak yang kami datangi adalah Puncak
Rengganis lalu Puncak Argopuro baru kemudian Puncak Hyang/Arca. Ketiga puncak
tersebut dari Savana Lonceng sudah bisa dilihat di depan mata secara langsung.
Letaknya nggak saling berjauhan, namun Puncak Rengganis letaknya yang paling
terpisah. Jika kita berdiri di tengah-tengah savana dan menghadap ke ketiga
puncak, maka Puncak Rengganis ada di sebelah kiri dan dua puncak lainnya ada di
sebelah kanan. Saat mendaki ke Puncak Rengganis untuk menghemat tenaga, kami
membawa barang-barang seperlunya saja, tenda dan seisinya kami tinggal di
Savana Lonceng karena nanti kami bakal turun lagi kesitu.
Membahas
soal Puncak Rengganis memang seolah membicarakan Argopuro secara keseluruhan.
Seperti yang sudah saya tulis di postingan sebelumnya bahwa masyarakat sekitar
malah lebih dahulu mengenal Rengganis ketimbang Argopuro itu sendiri. Nggak
dipungkiri memang Rengganis-lah yang menjadi latar belakang bagaimana nama
Argopuro tercipta. Soal sejarah, mitos, dan misteri di Argopuro bisa dibaca
disini bro.
|
camp kami |
Menuju
Puncak Rengganis agak melipir ke kiri yak gaess. Perhatikan petunjuk yang
mengarahkan ke Gunung Welirang. Nggak perlu waktu lama kok untuk sampe ke
puncaknya, cukup 15 menit kalo gak pake foto-foto di sekitaran kawah.
Masalahnya pasti bakal foto-foto dulu di sekitaran kawah karena viewnya keren
parah (kalau cerah dan nggak berkabut). Set waktu juga kalau punya rencana
”mengejar” sunrise karena Puncak
Rengganis bisa menjadi spot menikmati pemandangan matahari terbit yang pas. Nah, di puncak tersebut kita juga bakal
disuguhi puing-puing penuh unsur sejarah. Di sekitaran kawah terdapat dua
pondasi bangunan yang masih bisa kita lihat sampai sekarang. Selain itu ada
pagar batu yang seperti membatasi kompleks kraton. Ada pula kolam pemadian yang
kini dipenuhi rerumputan namun masih terlihat jelas bentuknya kalau itu dulunya
adalah sebuah kolam pemandian.
|
menuju Puncak Rengganis |
|
bekas kolam pemandian yang kini ditumbuhi rerumputan |
|
di sekitaran kawah di bawah Puncak Rengganis |
|
bekas pondasi candi |
|
foto kece dulu |
|
tampak Puncak Argopuro dan Puncak Hyang masih berkabut |
Kami
nggak berlama-lama di puncak pertama karena kami masih harus menuntaskan
pendakian yang sudah masuk di hari keempat. Rasanya kami sudah menganggap
Argopuro seperti rumah sendiri karena hari demi hari kami menghirup udara
Argopuro, meminum air yang bersumber dari Argopuro, dan seolah hati kami sudah
terpaut dengan Argopuro. Hari itu pula kami akan turun melewati jalur pendakian
yang mengarah ke Basecamp Bremi setelah kesemua puncak kami datangi. Kami turun
lagi ke Savana Lonceng untuk packing semua barang kami termasuk tenda, kemudian
menuju puncak tertinggi Argopuro. Makin siang ketiga puncak makin terlihat dan
jalur pendakian juga bakal makin jelas jadi nggak perlu bingung kemana akan
melangkahkan kaki
|
beberapa carrier kami yang ditempeli bunga es saat kami tinggal ke Puncak Rengganis |
Menuju
puncak tertinggi Argopuro yang punya elevasi atau ketinggian 3.088 mdpl bakal
menguras tenaga karena jalurnya yang sangat curam terlebih lagi semua
barang-barang dibawa, nggak seperti saat naik Puncak Rengganis yang hanya
membawa yang diperlukan saja. Waktu tempuh dari Savana Lonceng nggak berbeda
jauh dengan puncak sebelumnya yaitu sekitar 15 menit. Sungguh kebahagiaan
tersendiri setelah 4 hari mendaki akhirnya kami sampai puncak. Tapi perlu
diingat, puncak bukan tujuan utama kami mendaki, tapi perjalanan panjang penuh perjuangan untuk menuju puncak
lah yang memberi banyak pelajaran berharga.
|
menuju Puncak Argopuro |
|
nanjak nanjak dan terus nanjak |
|
yeah finally Puncak Argopuro 3.088 mdpl |
Tinggal
satu puncak lagi yang akan kami datangi yaitu Puncak Hyang. Dari Puncak
Argopuro kita harus turun dulu melalui jalan setapak curam yang penuh bebatuan
lalu berjalan di antara pepohonan pinus yang mirip jalur jembatan setan GunungMerbabu, sebelah kanan dan kiri langsung jurang. Jalur diantara Puncak
Argopuro dan Puncak Hyang ini bisa dibilang sangat istimewa. Selain
pemandangan yang nggak biasa, juga atmosfer dan suasana yang terasa beda entah
yang merasa saya sendiri atau teman-teman yang lain juga merasa demikian.
Puncak
Hyang juga biasa disebut Puncak Arca karena disitu terdapat arca berbentuk sapi
yang terpenggal bagian kepalanya. Sangat menimbulkan tanda tanya besar dalam
lubuk hati bagaimana bisa terdapat patung di puncak gunung yang
teramat sepi dan susah sekali untuk dijangkau. Kalau boleh nebak sih
sepertinya dibuat langsung di puncak soalnya disekitaran puncak tersebut
terdapat batu-batu gede yang mirip batuan bahan candi. Tapi bisa jadi dipahat
dibawah lalu ditaruh di puncak. Yah, inilah misteri yang masih menjadi rahasia
kehebatan dan kekuatan orang-orang jaman dulu. Kebanggaan tersendiri hidup di
nagara dengan latar belakang sejarah yang sangat kaya.
|
jalur dari Puncak Argopuro menuju Puncak Hyang/Arca |
|
penuh bebatuan gede-gede |
|
this is it Puncak Hyang dengan Arca Sapi yang nggak ikut kefoto (foto arca sapi di postingan sebelumnya) |
Ketiga
puncak sudah berhasil kami datangi satu per satu. Tiba saatnya untuk turun
gunung. Yap, finally kami turun
gunung. Kami sudah kangen berat dengan peradaban. Selama mendaki belum pernah
bertegur sapa dengan orang lain selian anggota rombongan kami saja. Terakhir
ketemu pendaki lain paling pas hari kedua dan hari ketiga itupun masing-masing satu rombongan saja yang berpapasan dengan kami. Selebihnya kami hanya bertujuh doang
di sepanjang jalur pendakian yang kami lewati.
|
Bayu yang sedang memantau jalur pendakian melalui applikasi Orrux Map |
Kami
turun dari Puncak Hyang melewati jalur yang sangat nggak biasa. Mungkin ini menjadi jalur yang paling ekstrim selama kami
di Argopuro. Bahkan ada catatan perjalanan yang menyarankan untuk menggunkan
webbing sebagai pengaman. Untuk
berpindah tempat saja kami harus ngesot karena saking curamnya dan kami nggak
berani turun dengan posisi berdiri. Jalur ini kerap disebut “Jalur Trabasan”
alias jalur potong kompas agar nggak terlalu jauh harus balik ke Savana Lonceng
dulu untuk turun gunung.
Sampailah
kami di akhir jalur yang sangat menegangkan tersebut. Trek pendakian kembali
normal dan otomatis tanjakan-tanjakan berganti dengan turunan, secara kami
sudah masuk fase turun gunung. Beberapa meter dari puncak di jalur ini terdapat
satu mata air yang berupa air terjun kecil yang entah kalau musim kemarau masih
ada atau mengering. Oiya, sangat nggak disarankan turun dari puncak saat malam
hari karena jalur menuju Basecamp Bremi ini kebanyakan mlipir jurang.
Sepat
di tengah hari saat kami asik dengan jalur pendakian yang menurun, tiba-tiba
hujan turun dan menjadikan jalur pendakian menjadi sangat licin dan makin lama
malah menjadi seperti aliran air. Nggak heran kami satu per satu merasakan
terpleset dan pakaian yang kami pakai pun menjadi belepotan lumpur. Makin siang
hujan bukannya berhenti malah makin mejadi-jadi saja derasnya. Jalur pendakian
pun makin seperti sungai. Luar biasanya lagi tanah di jalur pendakian sebagian besar
berupa tanah lempung yang sangat licin jika basah. Sungguh terasa kontras
banget dengan jalur Baderan yang kebanyakan berupa dataran dan savana, jalur
Bremi ini seolah menghajar kami dengan curamnya medan ditambah dengan hujan
yang super duper deras menambah sulitnya kami melangkah.
Keadaan
anggota rombongan saya perhatikan makin down.
Kami hanya berharap semoga segera sampai di Taman Hidup untuk segera melepas
lelah yang sungguh luar biasa itu. Sepanjang perjalanan kami nggak banyak
bicara satu dan yang lain, hanya fokus untuk melangkahkan kaki di jalan setapak
yang seolah tak berujung. Saya sendiri pun seperti sudah mati rasa dengan
gesekan dan benturan dengan batu dan pepohonan. Semua rasa sakit, perih, dan
nyeri saya abaikan. Jatuh tersandung akar maupun batu satu per satu dari kami
secara bergantian mengalaminya, namun luar biasanya kami bisa segera bangkit
dengan sendirinya, mungkin agar anggota yang lain nggak direpotkan dalam
keadaan yang memang masing-masing dari kami hanya punya sisa-sisa tenaga saja.
Dalam
perjalanan turun Argopuro kami sempat bertemu satu rombongan pendaki yang naik
via Bremi. Saat itu kami hanya berharap agar mereka bisa kuat menghadapi jalur
yang sungguh luar biasa ektrimnya itu, apalagi dalam rombongan itu ada satu
perempuan yang saya lihat seperti sudah nggak kuat. Kami saja yang dalam posisi
turun gunung merasa sangat dihajar dengan kondisi yang ada saat itu, gimana
yang naik coba
Kami
sempat melewati Pos Cemara Lima dan juga pertigaan menuju Pos Aing Kenek yang
mengarah langsung ke Cisentor tanpa harus ke puncak dulu. Setelah itu kami
mulai masuk ke dalam hutan yang sangat rimbun dan dengan pepohonan yang sangat
tinggi-tinggi. Kondisi hujan deras makin parah dengan adanya angin badai. Guys,
di hutan lumut ini please hati-hati banget entah itu pas cuaca cerah maupun pas
hujan badai. Sepertinya pepohonan di hutan lumut ini sangat rawan tumbang.
Terbukti saat kami melintas di hutan lumut tersebut kami sempat hampir ketimpa
pohon besar. Untung saja jatuhnya pohon nggak sampai melintang di jalur
pendakian. Kami selamat tapi penuh was-was karena kami belum betul-betul keluar
dari hutan dengan pepohonan yang batangnya penuh ditumbuhi lumut itu. Mungkin
karena lumut yang tumbuh di batang itu pula yang menyebabkan pohon disana
sangat rapuh dan mudah tumbang. So, please hati-hati banget yak!
Keluar
dari hutan lumut kami masuk ke hutan lainnya. Pepohonan mulai tampak berbeda
dengan sebelumnya yang penuh lumut. Kami melintasi kurang lebih 2 sungai
lumayan besar dan airnya lumayan jernih. Bisa dijadikan sumber air tuh kalau
mau ngisi botol-botol kosongnya untuk bekal camp di Taman Hidup yang air danaunya masih disangsikan apakah layak konsumsi atau nggak.
Beberapa
meter dari sungai kami menjumpai pertigaan yang mengarah ke Danau Taman Hidup
dan Bremi. Jelasnya sih antara menuju Taman Hidup dan Bremi lebih dekat ke
Taman Hidup. Jarak ke Bremi masih jauh banget bro. Sesuai rencana kami bakal
bermalam di tepian Danau Taman Hidup. Ada petunjuknya kok mana yang mengarah ke
Taman Hidup, jadi ga perlu bingung kalau sampai di pertigaan itu. Kalau pun
petunjuknya copot atau hilang, arah kiri adalah yang menuju Danau Taman Hidup.
Sekitar setengah jam dari pertigaan tersebut kami mulai melihat
penampakan genangan air yang diatasnya berselimut kabut tipis yang menimbulkan
kesan mistis diawal perjumpaan kami dengan Danau Taman Hidup, terlebih lagi
hari sudah mulai sore dan cahaya disekitar pun agak remang-remang.
Kami
sampai di Danau Taman Hidup sekitar pukul 4 sore dalam suasana sekitar yang
sungguh sunyi dan terkesan “wingit”. Terhitung 7 jam perjalanan dari Puncak
Arca menuju Danau Taman Hidup. Sesaat sebelum benar-benar sampai, kami melihat danau tersebut dari kejauhan namun ternyata sulit untuk mencapai
tepiannya karena jalanan sangat becek dan berlumpur. Lokasi camp agak jauh dari
tepian danau. Selain itu juga tertutup semak yang lumayan tinggi sehingga dari tempat
kami mendirikan tenda nggak bisa melihat danau secara langsung. Untuk
melihatnya harus melewati jalan becek itu tadi.
|
The Misty Taman Hidup Lake |
|
Lokasi camp kami yang juga becek |
|
horor gak sih suasananya bang |
Setelah tenda berhasil
didirikan saya memberanikan diri mendekati danau karena rasa penasaran saya
yang meluap. Saat beberapa langkah melewati jalanan becek, saya pun
menyerah dan nggak melanjutkan lagi untuk medekati danau. Sangat susah sekali
untuk melangkah pada jalan yang penuh lumpur. Saya cari di sekitar memang nggak
ada jalan lain untuk lebih mendekat dengan danau. Lebih baik paginya saja kami mendekati
danau itu, mungkin kalau bareng-bareng bakal lebih semangat.
Malam
di dekat Danau Taman Hidup sungguh mencekam. Angin yang berhembus menerpa
pepohonan dan ranting-ranting menimbulkan suara-suara yang bikin bulu kuduk
merinding. Semacam backsound
film-film horor gitu lah. Saat kami tertidur pun kerap terbangun karena di
luar tenda terdengar suara langkah kaki yang sepertinya juga bukan manusia.
Suara itu makin dekat dan tiba-tiba “kresek-kresek” berulang kali. Ahhh, dasar
babi...! Iya, itu adalah suara babi yang mencari makanan dengan mengais-ngais
sisa makanan kami di depan tenda. Pas kami bangun barang-barang dan
plastik sampah pun semua berantakan. Bagi kalian yang camp di lokasi yang berpotensi
terdapat babi hutannya alangkah lebih baik jika menyimpan bahan makanan dan
sisa makanan dengan cara digantung di pohon agar nggak diobrak-abrik babi
hutan.
Pagi
pun tiba, suasana sudah nggak semencekam hari sebelumnya. Kami berencana
melihat keindahan Danau Taman Hidup dari dekat meski sepetinya harus
berbecek-becekan. Air danau tampak bertambah banyak akibat hujan kemarin
sehingga dermaga yang ada di pinggir danau pun agak tenggelam. Saat itu udara
di tepian danau sangat dingin sekali. Matahari pun masih enggan muncul. Yang
kami lakukan saat itu hanya jeprat jepret sambil sesekali masuk ke genangan air
danau untuk membersihkan lumpur yang menempel di kaki. Puas berbecekan ria, kami kembali ke tenda dan melakukan persiapan untuk
melanjutkan perjalanan di hari terakhir pendakian dengan target Basecamp Bremi.
|
beautiful Taman Hidup Lake lengkap dengan dermaga ala-ala |
|
Taman Hidup in panorama |
Pendakian
Hari Kelima
Danau
Taman Hidup – Bremi
Hari
itu kami sangat bahagia sekali karena kami akan kembali ke peradaban. Dengan
semangat kami mempacking semua barang-barang termasuk tenda yang makin berat
karena masih dalam keadaan basah akibat hujan semalam. Untuk menuju Bremi dari
Taman Hidup kami haru kembali ke pertigaan yang kemarin kami lewati dan
mengambil jalan yang agak menanjak sesuai petunjuk anak panah. Trek saat itu
nggak terlalu gimana-gimana banget karena kami telah kenyang merasakan trek Argopuro
yang benar-benar menghajar kami saat turun dari puncak. Perjalanan hari
terakhir begitu nyaman dan damai. Hingga di satu titik kami mulai melihat
perkampungan lengkap dengan ladang-ladangnya. Kami pun makin semangat untuk
segera sampai disana meskipun memang kalau dilihat-lihat masih sangat jauh.
Yahhh, paling nggak udah kelihatan lah
Satu
jam berjalanan dari Taman Hidup, kami mulai memasuki area hutan Damar.
Pepohonannya sangat tersusun rapi menandakan memang hutan itu adalah hutan
buatan. Sampai disitu kami belum menjumpai penduduk sama sekali. Hingga
memasuki ladang-ladang akhirnya kami bisa bertemu dan bertegur sapa dengan
orang lain selain anggota rombongan kami. Setelah kurang lebih berjalan 2 jam
dari Taman Hidup kami pun sampai di Dusun Bremi. Kami tak segera menuju
basecamp Cak Arifin tapi malah singgah dulu di warung nasi yang sedari kemarin
ingin kami datangi. Kami rindu sekali nasi yang benar-benar nasi ditambah lauk
yang benar-benar lauk. Lidah kami serasa sudah terlalu akrab dengan nasi yang
masih berasa beras, sarden, kornet, mie, dan juga teman-temannya sehingga
membuat kami ingin segera “mencuci” mulut kami dengan makanan yang cita rasanya
berbeda dengan makanan lima hari kebelakang.
|
alhamdulillah sampai Bremi, lihat ada 2 pendaki yang sedang sujud syukur ga gaess? |
|
pulang, udah dijemput elf juga nih |
Kalau
diingat-ingat pendakian kala itu memang sangat melelahkan dan nggak
kepingin mengulangnya lagi, tapi setelah beberapa bulan berlalu dan sampai disaat tulisan
ini selesai dibuat, rasanya masa-masa seperti itu sangat ngangenin. Ingin rasanya terus
mendaki dan mengumpulkan memori sebanyak-banyaknya.
Argopuro
nggak memberi sekedar keindahan alam, lebih dari itu. Kekayaan sejarah dan
budaya turut disajikan dengan beragam misteri dan mitos-mitosnya yang makin
mewarnai pendakian. Luar biasa kan...?
Salam
Pendaki, Salam Lestari...!!!
|
nih timing kalau mendaki dari Bremi ke Baderan, kalo kami dari arah sebaliknya sih jadi agak beda timing naik dan turunnya |
|
stiker peta jalur pendakian, zoom zoom zoom |
|
kaos Argopuro kece kenang-kenangan dari Cak Arifin |
Seru gak gaess?
BalasHapusKecee bangettt kakkkk....
BalasHapusMas boleh minta nomor kontak elfnya??
BalasHapusPartogipramono@gmail.com
Sent ya bro...
HapusWahyu.apf@gmail.com
BalasHapusMinta kontaknya bang
Mas, makasi utk postingannya. Jelas dan sangat membantu. Hehehe
BalasHapusBtw, bagi kontak elf dan kontaknya Mas Ardi juga ya.
amsiahaan@gmail.com
Terima kasih
bang boleh minta no kontak elf? terimakasih.
BalasHapusafidsc@yahoo.com
mas boleh no kontak elfnya kaga
Hapusmuammadfadillah@gmail.com
Boleh minta nomor kontak yg punya elf? argocondro@gmail.com
BalasHapusBoleh minta nomor kontak yg punya elf? argocondro@gmail.com
BalasHapusBaca nya kok merinding disko yak, terimakasih Bang, tulisan buat Saya punya gambaran medan Argopuro.
BalasHapusInsyaaAllah oktober 2017 mau kesana, semoga Allah beri kesehatan, kekuatan, kemampuan dan keselamatan buat kami dan siapa pun yang kesana.
Tararengkyu Bang
Siiip, emang argopuro menimbulkan sensasi yg berbeda sejak mau mendaki sampai sudah turun gunungnya...
HapusAti2 yah...!!!
Safety first.
bang, boleh minta no kontak elfnya ?
BalasHapusagustinus_dwiantoro@yahoo.com
Wah sangat menikmati tulisannya bang. Berasa ngalamin sendiri. Ane cmn pernah naik lewat bremi dan turun bremi lagi. Emg ngangenin dah argopuro ini. Gunung terindah menurut ane. Salam lestari bang
BalasHapussippp, thanks yaaa...
HapusWah keren ya Argopuro. Dulu aku pernah ke air terjun di Bermi tapi gak sampe muncak ke Argopuro hehe. Btw mas gambarnya bagus-bagus izin ambil gambanrnya ya, makasih.
BalasHapusMas minta kontak elfnya, sekalian info harganya dong mas. Makasih
BalasHapusalfahasnh@gmail.com
Keren bang.. Bermanfaat banget.. Boleh minta contact elf nya??
BalasHapushusnichowder@gmail.com
ninik.joen@hotmail.com... share no hp elf nya yahh makasihhh
BalasHapusbagus bgt tulisannya, pengemasan kalimatnya menarik jadi ga bosen bacanya. oh ya bang minta nomor telepon elfnya dan informasi harganya ya ke handika_hpp@ymail.com , thanks bangg
BalasHapussent semua yah, cek email...!!!
BalasHapusBang, mnt contact elf (sby-baderan)
BalasHapusE-mail : keliananta.julian@gmail.com
Tanks
Info yg bermanfaat om. Boleh minta CP Elf nya om??
BalasHapuse-mail: lelembutlembahtengkorak@gmail.com
Terima kasih....
-salam lestari-
Keren Subhanallah
BalasHapusmantappp ini, mas boleh minta kontak elf, mau ke sana rencana sama istri n beberapa temen
BalasHapusdocaypasma@gmail.com
ga nyangka udh baca cerita sepanjang ini dan hebatnya ga ngebosenin, mantap pokoknya. saya jg minta tolong kirim kontak carter elf nya ya bang..
BalasHapusisaalmahdi.rob28@gmail.com
makasihh
Boleh minta kontak elf dari besuki ke baderan bang rasyiddrc@gmail.com
BalasHapusSangat bermanfaat kawan, cerita yang dikemas menarik, serta kenangan yang abadi di argopuro. Salam Lestari.
BalasHapus.
Mau kontak Elf yang dari surabayanya kawan, semoga berkenan :)
Dzilal.rotion@gmail.com
Enak lewat mana mas antara 2 jalur tersebut dan +- apa ya? Makasih
BalasHapusjalur bederan jauh lebih panjang karena banyak savana2, tapi datar2 aja.
Hapuskalo bremi lebih pendek tapi nanjak banget. lebih cepet ketemu danau taman hidup. lebih cepet ketemu puncak. tapi di jalur ini gak ada savana keren kayak di jalur baderan.
jadi rekomended kalo lewat baderan dan turun bremi.
cek email yaaa buat yg minta kontak elf.
BalasHapusthx guys.
bolehinta kontaknya bang.
Hapusemailnya?
Hapusjoss gandosss
BalasHapusBoleh tuhh bang minta kontaknyaa. Makasihh
BalasHapusPutrantocatur@ymail.com
bang minta kontaknya dong ke kakamiaaa@gmail.com . makasih
BalasHapussent ya semuan...
BalasHapusthanks
terimakasiii
BalasHapusbang minta konta elfnya dong.
BalasHapusdedy.toni@gmail.com
Keren mas...infonya sangat membantu. Boleh minta kontak elfnya? qarazaharahanum@gmail.com
BalasHapusSalam Lestari mas, Terimakasih untuk ceritanya mas, saya jadi tau gambaran tentang gunung Argopuro. Terus berkarya mas. Saya juga mau minta kontak elf nya mas ini email nya : rahmatsidik017@gmail.com
BalasHapusMas minta nomor kontak carteran elfnya andridrew72@gmail.com terima kasih.
BalasHapusBang, boleh minta kontak elf nya ke adelia.syafitri6@gmail.com terima kasih :)
BalasHapusBang boleh minta kontak elf ny ke bilcust@gmail.com
BalasHapusThanks
Bermanfaat banget bang infonya. Sekalian bang saya mau ke argopuro jg, minta no elfnya bang kirim ke loca.ayu@gmail.com
BalasHapusThanks
nazarioff29@gmail.com
BalasHapusBang, boleh bagi nomor travelnya
halo kak, boleh mnta kontak elf nya..?
BalasHapusernapujiastuti300691@yahoo.com
terima kasih
Minta kontaknya dong om
BalasHapuscupuamateurdtg@gmail.com
Tengkyu
MINTA KONTAK ELFNYA BANG.
BalasHapussinggihcassanova@gmail.com
terima kasih
Boleh minta kontak supir elf nya kak ? Terima kasih 👍👍
BalasHapusBisa minta emailnya, sy kirim via email
HapusIni email saya erzhaanugrah13@gmail.com
Hapussent ya semua...
BalasHapuskang boleh di share no elf nya nuhun ( putrasa0102@gmail.com )
BalasHapusbang boleh share kontak elf nya? email saya sihombing.holmes@gmail.com -terimakasih -
BalasHapusNice post mas, panjang dan sangat lengkap.
BalasHapusbtw boleh minta contact elf. bisa kirim ke email saya anggamwicaksono@gmail.com, terima kasih. :)
Bang, boleh minta contact elf/charternya? dan kira2 muat berapa orang ya?
BalasHapus(sby-baderan)
E-mail : bayu138.brj@gmail.com
Salam kenal mas Ardiyanta,
BalasHapusaku mau minta tolong dikirimkan nomor kontak elf ke stellachrisfanny@gmail.com
Terima kasih sudah berbagi catatan perjalanan Argopuro yang sangat detail serasa ikut dalam perjalanan kalian ketika membacanya.
Boleh minta kontak nya bg bisa kirim ke merpyh@gmail.com..teruskan jelajah nya👍👍
BalasHapusMas info kontak elfnya dong sama mau tanya kalo dari Malang apakah bisa?
BalasHapusMas info kontak elfnya dong sama mau tanya kalo dari Malang apakah bisa?
BalasHapusdinalsensei16@gmail.com
Boleh minta kontak elfnya mas?
BalasHapusemail saya : akendipakusuma00@gmail.com
Wonderful hiking_climbing experience. Membuat saya yang notabene warga Jember teramat penasaran to do the same . Great Argopuro ***** TerimaKasih sharing pengalaman yang sangat menginspirasi ini, sobat * Salam kenal & take care as well *
BalasHapusWsslm,
_Benny Setiawan_
Jadi makin nanjak ke argopuro heuheu makasi mas, ceritanya excited banget
BalasHapusBtw, boleh minta kontak elfnya mas?
begundalsmart9@gmail.com
sudah saya kirim via email yak bagi yg nanya kontak elf, maap kalo ada yg kelewatan...
BalasHapusmantap mas pengalamannya serasa nanjak virtual, jadi pengen segera ke argopuro.
BalasHapusBtw saya boleh minta kontak elf nya mas?
redyu9779@gmail.com
Bro, boleh minta nomor kontak elf nya.
BalasHapuskoleksigame01012001@gmail.com