Nggak hanya di level dunia yang punya seven summits, di Indonesia pun ada. Dari ratusan
gunung yang terpancang di negri kita tercinta, tentunya ada 7 puncak yang menjadi puncak tertinggi yang mewakili 7 gugusan pulau besar Indonesia.
Diantaranya yang pernah saya daki adalah Semeru (3.676 mdpl) yang merupakan puncak tertinggi Pulau Jawa. Beberapa saat lalu saya juga berkesempatan mendaki salah satu yang lain dari seven summits-nya Indonesia yaitu Puncak Rante Mario (3.478 mdpl) bagian dari Pegunungan Latimojong yang menjadi pucak tertinggi Pulau Sulawesi. Puncak Tertingi Kepulauan Nusa Tenggara, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) pun alhamdulillah tercoret dari daftar rencana di tahun 2015 lalu.
Diantaranya yang pernah saya daki adalah Semeru (3.676 mdpl) yang merupakan puncak tertinggi Pulau Jawa. Beberapa saat lalu saya juga berkesempatan mendaki salah satu yang lain dari seven summits-nya Indonesia yaitu Puncak Rante Mario (3.478 mdpl) bagian dari Pegunungan Latimojong yang menjadi pucak tertinggi Pulau Sulawesi. Puncak Tertingi Kepulauan Nusa Tenggara, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) pun alhamdulillah tercoret dari daftar rencana di tahun 2015 lalu.
Terkhusus melalui postingan ini bakal dikupas tuntas mengenai pendakian saya bersama dua rekan
sesama anggota STAPALA STAN yaitu Samin dan Primbon menuju Puncak Rante Mario. Nggak perlu panjang lebar
lagi, mari kita kenalan dengan Latimojong.
PEGUNUNGAN LATIMOJONG
Pegunungan
yang juga mendapat predikat Big Mountain ini punya batas-batas yaitu sebelah
baratnya adalah Kabupaten Enrekang, sebelah utara Kabupaten Tana
Toraja, sebelah selatan adalah daerah Kabupaten Sidenreng Rappang, dan
bagian timur seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Luwu sampai ke Teluk Bone.
Semuanya masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
Pegunungan
ini punya beberapa puncak yang mempunyai elevasi yang cukup tinggi untuk ukuran
gunung di Indonesia, karenanya predikat terebut pantas disandangnya.
Berikut nama puncak-puncak yang ada di Pegunungan Latimojong:
Puncak-puncak yang membentang dari Barat ke Timur yaitu:
- Gunung Pantealoan 2.500 mdpl
- Gunung Pokapinjang 2.970 mdpl
Puncak-puncak yang membentang dari Utara ke Selatan adalah:
- Gunung Sinaji 2.430 mdpl
- Gunung Lapande 2.457 mdpl
- Gunung Sikolong 2.754 mdpl
- Gunung Rante Kambola 3.083 mdpl
-
Gunung Rantemario 3.478 mdpl
- Gunung Nenek Mori 3.397 mdpl
- Gunung Bajaja 2.706 mdpl
- Gunung Latimojong 3.305 mdpl
Jalur pendakian menuju puncak-puncaknya ada beberapa alternatif pilihan, diantaranya:
- Kec. Mingkendek, Kab. Tanah Toraja,
- Kec. Baraka, Kab. Enrekang, dan
-
Ranteballa Kec. Latimojong, Kab.
Luwu.
Dari
ketiga jalur yang sering dilalui itu, kami memilih melewati jalur yang paling
favorit yaitu melalui basecamp Dusun Karangan, Desa Latimojong, Kec. Buntu
Batu, Kab. Enrekang, Sulawesi Selatan.
Sekitar
jalur pendakian masyarakatnya didominasi oleh Suku Duri, yang sehari-hari
berinteraksi menggunakan Bahasa Duri. Jangan kaget kalau ada beberapa warga
yang jika disapa akan menjawab dengan bahasa yang tidak kita ketahui. Begitu
pun yang saya alami waktu itu. Sempat bertemu dengan anak-anak yang usai
memancing di sungai dan iseng kami tanya dimana mereka mencari ikan malah
mereka seperti bingung dengan apa yang kami tanyakan, padahal kami menggunakan
Bahasa Indonesia. Tapi memang dengan kondisi mereka yang bertempat tinggal
sangat jauh dari kota, mungkin hal demikian bisa dimaklumi.
Suku
Duri mendiami daerah pusat Kecamatan Baraka hingga Dusun Karangan pada jalur
pendakian Latimojong. Mayoritas mereka merupakan petani kopi. Mereka meyakini
bahwa arwah nenek moyang mereka bersemayam di tempat – tempat
tertentu di Latimojong. Begitu pula dengan berbagai tempat disana dianggap
memiliki penunggu. Hiii serem... Tapi selama saya mendaki bersam 2 orang teman
nggak ada sesuatu apa pun yang mengganggu kok. Lagi pula mereka tidak bakal
menganggu kalau kita tidak macam-macam. Satu macam saja cukup, hehehe...
Yaaa,
Dusun Karangan sangat jauh memang. Sudah pernah dengar cerita pendaki-pendaki
Latimojong bagaimana mereka bisa mencapai Dusun Karangan yang merupakan
basecamp pendakian dan dusun terakhir sebelum trekking ke puncak?
Hmmm,
belum mendaki saja butuh perjuangan ekstra loh. Untuk menuju basecampnya butuh kesiapan
mental menghadapi medan-medan yang off road.
Biar
lebih enak, gimana kalau cerita selanjutnya dalam bentuk time line saja???
Simak
terus yaaa cerita kami sampai ke puncaknya dan bisa bersujud syukur di tanah
tertinggi Pulau Sulawesi itu hingga bisa turun lagi sampai basecamp dengan
selamat sentosa, adil, dan makmur !!!
DAY 1 (1 April 2015)
09.45 : Sampai di Basecamp Lembayung, Baraka
Setelah
mengarungi kerasnya jalanan dari Majene menuju Enrekang di malam yang gelap
hari sebelumnya, singkat cerita kami akhirnya sampai di Kecamatan Baraka.
Disitu terdapat tempat persinggahan yang biasa digunakan pendaki beristirahat
setelah perjalanan jauh. Tak lain tempat itu adalah Basecamp KPA Lembanyung. Menuju
basecamp ini masih sangat mudah dicapai, jalanan tergolong nyaman untuk dilalui
dan cukup lebar. Mobil bisa masuk tentunya.
Rute menuju Basecamp Lembayung dari jalan poros Enrekang-Tana Toraja kita masuk di jalan Pasar Cakke yang nantinya bakalan tembus di Baraka. Setelah melewati Pasar Baraka, kita harus mencari lapangan yang di dekatnya terdapat SD Negeri 105 Baraka. Nah, basecamp itu berada di belakang sekolah tersebut. Lewatnya di gang sebelah SD Negeri 105 Baraka.
Rute menuju Basecamp Lembayung dari jalan poros Enrekang-Tana Toraja kita masuk di jalan Pasar Cakke yang nantinya bakalan tembus di Baraka. Setelah melewati Pasar Baraka, kita harus mencari lapangan yang di dekatnya terdapat SD Negeri 105 Baraka. Nah, basecamp itu berada di belakang sekolah tersebut. Lewatnya di gang sebelah SD Negeri 105 Baraka.
Kami
singgah sejenak saja di basecamp tersebut sambil minum suguhan teh hangat di
basecamp yang dikelola oleh Pak Dadang itu. Disitu kita juga bisa dibantu untuk
mencari transportasi ke Dusun Rante Lemo. Kami pun demikian, kami menggunakan
jasa ojek dari anak buah Pak Dadang sendiri. Harga bisa dinego lah, saat itu
kami dapat harga Rp 150.000,- untuk perjalanan selama 2 jam dengan medan yang
sangat tidak wajar untuk dilalui sepeda motor pada umumnya.
10.30 – 10.45 : Administrasi di Polres Baraka
Beranjak
dari Basecamp Lembayung, kami diantar menuju Polres Baraka yang tak terlalu
jauh dari lapangan SD Negeri 105 Baraka. Disitu kami mengurus administrasi
dengan menunjukkan KTP dan menulis daftar pendaki di buku administrasi.
Daftar pendaki yang terakhir sebelum
kami ternyata mendaki pada tanggal 25 Maret 2015 dan sampai hari itu mereka
belum juga turun. Pak Polisi yang menangani administrasi berpesan kepada kami
jika sampai batas waktu yang ditentukan plus 3 hari jika belum melapor
kepulangan maka akan diturunkan Tim SAR untuk mencari.
Kami rencananya mendaki selama 3
hari dua malam. Sehingga kami tulis saja di jadwal kepulangan kami yaitu
tanggal 3 April, semoga saja tidak molor. Diperintahkan pula kepada pendaki
untuk mencatat nomor telepon Polres Baraka jika sewaktu-waktu perlu bantuan. Jika
kondisi memungkinkan di Pos 8 yang merupakan pos dengan dataran yang paling
lapang, bisa ditangkap sinyal seluler. Tak ada retribusi khusus dalam pendakian
ini.
10.45 – 12.30 : Perjalanan dari Baraka ke Dusun Rante Lemo, Latimojong
Nah, inilah perjalanan yang sesungguhnya. Melewati medan-medan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, ditengah perjalanan menantang itu, pemandangan yang ditawarkan begitu memukau.
Untung saja hari kemarin tidak hujan. Meski begitu, waktu itu masih banyak genangan dan lumpur namun entah sisa-sisa hujan hari kapan. Tidak hujan saja perjalanan sudah sangat sulit, apa jadinya kalau sehabis hujan deras. Mandi lumpur kayaknya. Sempat tak menyangka juga bakal melewati medan seperti itu. Dalam hati saya berdoa semoga perjalanan pulang besok lancar dan yang penting nggak hujan.
Sampai di Dusun Rante Lemo, motor kami simpan di rumah salah satu warga yang biasa dijadikan persinggahan pendaki Latimojong. Kami juga sempat tidur siang di rumah tersebut. Memang perjalanan menuju kaki gunungnya itu juga merupakan tantangan tersendiri. Melelahkan, karena tak hanya duduk manis seperti mengendarai motor biasanya. Namun, tak jarang harus turun, harus dorong, harus ngangkat, harus ngganjel ban. Hmmm, pokoknya perjalanan menuju basecamp adalah tantangan.
Sekitar satu jam tidur dengan nyenyaknya di ruang tamu yang luas di sebuah rumah panggung, kami terbangun dengan badan yang lumayan segar. Kami siap melanjutkan perjalanan pendakian yang sesungguhnya.
14.00 – 15.15 : Trekking Dusun Rante Lemo - Dusun Karangan (Dusun Terakhir)
Medan yang kami lewati masih nanjak-nanjak wajar melewati jalan Dusun Buntu Lamba yang berada diantara Dusun Rante Lemo dan Karangan. Kita akan melihat kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari berkebun.
Akhirnya kami sampai juga di Dusun Karangan dengan disambut ramah senyum warganya. Kami singgah dulu di basecamp terakhir sebelum trekking menuju Pos 1. Kami masuk ke rumah panggung itu. Suasananya adventure banget pokonya. Di dinding-dindingnya sengaja dijadikan ajang tempel stiker dan corat-coret kesan pesan pendakian Latimojong. Nah, lebih baik begitu dari pada ninggalin jejaknya di gunung.
15.30 – 17.00 : Basecamp Karangan – Pos 1
Setelah dirasa siap kami memulai trekking menuju Pos 1. Keluar dari Dusun Karangan kita akan melewati beberapa sungai, termasuk salah satunya sungai Salu Karangan.
Waspadalah, tak lama setelah melewati dua jembatan beton kecil, kita bakal menemui satu percabangan yang jika ke kanan kita akan menuju Puncak Nenek Mori dan yang ke kiri menuju Puncak Latimojong. Karena keragu-raguan kami, akhirnya kami ambil yang kanan yang tak lain adalah jalur pendakian menuju Puncak Nenek Mori. Padahal awalnya sempat kami ambil yang ke kiri, namun karena belum memadainya info yang kami dapat. Jadilah kami menuju Puncak Rante Mario dengan melewati jalur Puncak Nenek Mori.
Tak kami sadari kalau kami berjalan melewati jalur yang jarang banget dilewati pendaki. Kebanyakan mereka pasti memilih jalur yang langsung menuju puncak tertingginya. Dari awal saya pribadi memang agak sanksi dengan jalur yang kami lewati. Hampir tertutup sempurna oleh pepohonan kopi warga. Saat kami melewatinya pun harus menyibak-nyibak ranting-ranting pohon. Hingga akhirnya kami menemukan adanya penanda keberadaan Pos 1, kami pun sedikit lega. Itu artinya memang jalur yang kami lewati memang benar, meski judulnya adalah jalur pendakian Puncak Nenek Mori.
Sedikit legenda tentang Puncak Nenek Mori.
Sedikit legenda tentang Puncak Nenek Mori.
Jaman
dulu tinggalah seorang Nenek dan cucunya bernama Mori di pedalaman hutan di
bawah puncak gunung. Nenek Mori diberkahi satu kelebihan yaitu memiliki indera
keenam yang mampu melihat dan bersahabat dengan makhluk gaib. Masyarakat
percaya bahwa Nenek Mori sering berburu dibantu makhluk halus di sebuah gunung
yang sebagian penyusunnya adalah bebatuan. Selain itu ia juga memiliki kerbau
putih yang diberi tanda di bagian telinganya dan jika peliharaannya itu
mendadak berlari seolah ada yang mengejar maka pertanda akan segera turun
hujan. Konon Nenek Mori berburu dengan cara melantunkan kidung untuk anoa-anoa
yang berkeliaran di hutan sekitar gunung tersebut. Bila ingin memulai
perburuannya, Nenek mori melantunkan kidung diatas sebuah batu besar di puncak
gunung, suarany yang menggema terpantul dinding gunung dan lembah mengalun
seolah mengajak yang kedengaran seperti lantunan kidung persahabatan. Sekawanan
anoa pun berdatangan dengan jinak kemudian menghampirinya.
Hari
berlalu sang nenek makin renta dan merasa ajalnya sudah hampir menjemput. Ia
pun berpesan pada cucunya si Mori
“Dengarkan sebaik-baik pendengaran mu kata-kata ku ini. Apabila engkau datang
di dekat batu tempat biasa nenek bernyanyi sekaligus berburu anoa, kamu harus
berteriak dan seketika itu pula maka daging-daging anoa pun akan tersedia, ini
adalah janji mu untuk ku, bila engkau melanggarnya maka kamu tidak akan
mendapatkan apa pun dan sungguh aku akan meninggalkan mu cucu ku”. Mori pun
mendengarkan dan berjanji kepada neneknya akan mematuhi pesan sekaligus
perintah neneknya itu.
Namun
semakin lama Mori semakin diliputi rasa penasaran. Karena merasa aneh dengan
sikap neneknya, Mori pun mendatangi batu tempat neneknya bernyanyi serta
berburu secara diam-diam dengan harapan dapat bertemu dengan neneknya lagi dan
kemudian berteriak memanggil neneknya. Mori yang tidak menepati janjinya
mengakibatkan sang nenek benar-benar menghilang. Tempat sang nenek melantunkan
kidung pemanggil anoa itulah yang sekarang menjadi salah satu tempat yang
terlihat dari Rante Mario yaitu Puncak Nenek Mori.
Letak Puncak Rante Mario dan Puncak Nenek Mori terpaut jauh sebenarnya, namun tak apa lah. Itung-itung pulang pergi dengan jalur yang berbeda. Nah, begitu baru yang namanya mendaki Latimojong pake greget.
bisa dilihat pada peta jarak Buntu Nenek Mori dan Buntu Rante Mario, lumayan juga... |
17.05 – 19.00 : Pos 1 – Pos 2 (Camp)
Selepas Pos 1, kami bertiga berjalan menuju Pos 2 dengan trek yang benar-benar tertutup kayu-kayu tumbang. Kelihatan banget kalau ini adalah bekas perbuatan manusia. Artinya daerah tersebut masih terhitung biasa dijangkau penduduk. Padahal rasanya sudah lumayan jauh dari dusun. Nah, jalur yang tertutupi pepohonan tumbang ini pula yang cukup menyulitkan kami melewati jalur pendakian. Salah perkiraan bisa melenceng dari jalur yang seharusnya. Hati-hati yaaa...!!!
Tak berapa lama jalur mulai masuk ke hutan yang lebat dan gelap. Hanya suara alam saja yang bisa terdengar meski sayup-sayup suara musik dangdut masih terdengar. Jalur yang kami lewati tanpa bonusan sama-sekali. Yap, serius ini. Menuju Pos 2 trek pendakian konsisten menanjak terus. Hampir 2 jam berjalan itu semua tanpa bonusan. Sempat terceletuk dari mulut Kak Samin, ini yang bikin jalur nggak butuh tempat camp apa yaaa?”. Hehehe, tak lama setelah itu kami akhirnya menemukan satu tempat miring yang akhirnya kami paksakan membangun tenda disitu.
Malam yang dingin dan basah akhirnya menyapa. Tenda yang telah berdiri kami masuki. Sesegera mungkin kami ganti pakaian dan beristirahat. Dalam hati memang Pos 2 saja belum sampai, nggak bisa nyenyak ini tidur.
Malam berganti pagi. Tak ada sunrise yang menyapa kami karena hutan terlampau lebat untuk menonton pertunjukan sang mentari memunculkan diri itu. Si Primbon keluar tenda duluan dan ternyata dia menemukan papan penunjuk bahwa tempat yang kami pakai untuk camp itu adalah Pos 2. Alhamdulillah lumayan.
DAY 2 (2 April 2015)
07.25 – 08.50 : Pos 2 – Pos 3
Usai sarapan dan beberes perlengkapan, kami bersiap memulai pagi di hari kedua ini dengan berjalan setapak demi setapak menuju Pos 3. Treknya masih terlalu berbeda dengan sebelumnya. Masih dengan tanjakan yang konsisten derajat kemiringannya serta hutan yang begitu rimbun. Kelembapan udara sangat tinggi sehingga lumut-lumut pun bisa kita jumpai dimana-mana. Nggak di batang pohon, ranting, sampai di jalur pendakian pun dipenuhi lumut. Tapi, lelumutan itu juga menambah keindahan pemandangan selama mendaki. Karakteristik gunung di Sulsel memang hampir sama semua. Bawakaraeng, Lompobattang, sampai Latimojong keseluruhannya punya hutan lumut indah yang menghiasi jalur pendakian.
Akhirnya kami sampai juga di Pos 3 setelah berjalan hampir 1,5 jam. Pos ini ditandai dengan adanya tanah yang sedikit lapang diantara pepohonan. Sampai dengan pos ini kami belum juga mendapati adanya sumber mata air. Maklum saja, kami hanya sempat membaca sekilas catper yang ada di salah satu blog pendaki. Itu pula yang kami baca adalah rute pendakian lewat jalur yang langsung ke Puncak Rante Mario, sedang yang kami lewati kali itu adalah jalur pendakian menuju Puncak Nenek Mori.
08.50 – 11.20 : Pos 3 – Pos 4 (Kampurampangan)
Meninggalkan Pos 3, kami berjalan lagi menuju Pos 4. Hutan yang rimbun kini berganti dengan pepohonan perdu yang tak terlalu lebat. Didominasi oleh Pohon Cantigi yang berlumut.
Pos 4 ditandai dengan adanya dataran yang letaknya menyerupai Puncak dengan batu-batu yang disusun. Pos 4 ini sempat kami sangka sebagai Puncak Nenek Mori karena ketinggiannya sudah lebih dari 3.200an mdpl, tapi Puncak Nenek Mori masih naik-naik lagi ternyata. Kami lanjut saja menuju Pos 5.
11.30 – 14.00 : Pos 4 – Pos 5
Kami
singgah sejenak di Pos 4 untuk persiapan memakai jas hujan karena hujan makin
menjadi saja derasnya. Selain itu karena sedari tadi belum kami temukan
keberadaan sumber mata air, maka kami manfaatkan istirahat di pos tersebut
untuk menampung air hujan.
Meninggalkan Pos 4, kami mulai
dibingungkan oleh jalur pendakian yang tidak jelas. Kami sempat berputar-putar
saja, bolak-balik kesana-kemari untuk menemukan jalur yang benarnya dan juga
menemukan petunjuk berupa tali oranye bertuliskan “SKL” yang sedari awal
pendakian telah menuntun kami. Banyak sekali tali-talian yang terpasang di
ranting-ranting pohon. Tapi kami memprioritaskan untuk konsisten mengikuti tali
yang berwarna oranye. Kami sempat berbalik arah menuju pos sebelumnya, hingga
akhirnya kami menemukan jalur yang benar.
14.00 – 15.00 – 16.00 : Pos 5 – Pos 5 (II) – tempat camp
Beranjak dari Pos 5, kami berjalan mendaki naik ke satu bukit. Namun, sampai di pertengahan kami mulai ragu dengan kebenaran jalur yang kami lewati. Makin tidak jelas saja, tidak seperti jalur pendakian. Tapi kemungkinan diatas adalah Puncak Nenek Mori.
Kami putuskan turun saja dari pada lewat jalur yang tidak begitu jelas dan kami tidak mantap untuk melewatinya. Kami berbalik arah menuju Pos 5 tadi dan berjalan di jalur yang bentuknya dataran.
Tak disengaja kami melihat ada petunjuk Pos 5 lagi, namun dengan papan yang berbeda. Kali ini berwarna hijau, tidak seperti penunjuk pos yang sebelum-sebelumnya. Ini mungkin penanda pos lama, atau mungkin Pos 5 jalur lain entahlah.
Berjalan lagi, kemudian kami putuskan untuk membangun camp di tengah jalur pendakian karena cuaca yang kurang bersahabat serta kondisi badan yang mulai drop. Kurang lebih hari itu kami telah berjalan selama 7,5 jam. Tak sampai di Pos 6, kami membangun tenda di tengah hujan yang awet banget sedari tadi.
DAY 3 (3 April 2015)
08.25 – 09.15 : camp – Pos 6
Terbangun di pagi yang dingin dan berkabut, kami awali hari ketiga itu dengan memasak sarapan dilanjut dengan beberes tenda. Hari itu target kami bisa mencapai puncaknya. Insyaallah tengah hari bisa sampai di Rante Mario.
Jalur yang kami lewati kali ini sudah sangat jelas, nggak seperti jalur sebelumnya. Pemandangan sebenarnya sudah terbuka, hanya sedikit pepohonan saja yang dihiasi lumut pada batang-batangnya. Tanjakan pun sudah tak separah saat awal-awal pendakian. Tinggal menghitung waktu saja untuk mencapai puncaknya.
09.15 – 09.45 : Pos 6 – Lapangan (Pos 8 Jalur mainstream)
Berjalan hingga Pos 6 pun kami tidak menjumpai sumber air minum dan juga tidak berpasan dengan pendaki lain. Sampai mendekati sebuah lapangan ternyata disana ada satu rombongan yang sedang beberes tenda bersiap mau turun. Kami sempatkan untuk ngobrol-ngobrol sejenak sembari beristirahat. Mereka adalah rombongan lain pertama yang kami temukan di Gunung Latimojong saat itu. Katanya sih rombongan mahasiswa dari Makassar yang sedang melakukan penelitian budaya. Kami pun sempat dibuatkan kopi panas oleh mereka. Ternyata mereka sudah satu minggu loh di gunung. Mereka itulah rombongan pendaki yang ada di daftar registrasi Polres Baraka sebelum kami. Wow, sudah lama juga ya. Sepertinya mereka tak hanya ke satu puncaknya saja melihat waktu yang mereka habiskan sangatlah panjang.
Tanah lapang itu merupakan Pos 8 jalur Puncak Rante Mario dan merupakan Pos 7 jika kita memakai jalur Puncak Nenek Mori. Jika musim hujan, di pos tersebut terdapat satu kolam air hujan yang bisa dijadikan bahan masak atau pun minum. Akhirnya kami bisa menemukan sumber air setelah berjalan dua malam.
10.25 – 11.00 : Tanah Lapang (Pos 8) – Puncak
Kami
berpamitan dengan mereka untuk menuju puncak. Setelah beres mereka langsung
turun katanya, karena ekspedisi mereka sudah tercapai yaitu menuju beberapa
puncak Pegunungan Latimojong. Lagian mereka sudah seminggu di gunung. Buseeet...
Kami masih harus melewati beberapa
bukit-bukit dulu. Pemandangan sudah sangat terbuka. Pepohonan tinggi sudah
sangat jarang banget. Menurut info, di jalur ini nantinya bakal ada
persimpangan menuju Puncak Rante Kambola. Tapi untuk kesana masih harus
trekking dua hari lamanya. Hmmm next time
ajah...
Jalur pendakian didominasi bebatuan
terjal. Tak sampai berjalan satu jam, tugu triangulai sudah bisa terlihat.
Seketika itu pula langkah kaki kami tak terasa berjalan lebih cepat saking
semangatnya.
Mendekati tugu triangulasi saya
berlari sambil merekam dengan kamera detik-detik pencapaian puncak setelah
perjuangan yang nggak gampang itu. Begitu sampai puncak rasa lelah seketika
sirna, berganti dengan rasa bangga dan haru bisa mencapai titik tertinggi Pulau
Sulawesi.
Waktu di puncak kami habiskan untuk foto-foto
saja, mengabadikan memori sebuah pencapaian yang luar biasa. Ntar bisa
ditunjukkan ke anak cucu, siapa tahu mereka pengen ngikut jejak kami ini.
12.00 – 18.30 : Turun Gunung (Puncak – Dusun Baraka)
Sekitar jam 12 teng kami putuskan untuk turun langsung. Target bisa sampai basecamp Dusun Baraka sebelum gelap. Tak terasa pula gerimis mulai datang.
Berikut rincian pos-pos yang kami lewati saat turun. Ini artinya, pos-pos berikut adalah pos yang bisa dijumpai jika melewati jalur pendakian yang satunya yaitu Jalur Pendakian Puncak Rante Mario. Tidak seperti yang kami gunakan saat naik waktu itu yaitu Jalur Pendakian Puncak Nenek Mori.
Pos 8. Lapangan
Setelah turun dari puncak, kami
singgah sebentar di pos lapangan ini untuk mengisi air di kolam tadah air hujan
yang ada di pinggiran lapangan. Setelah itu kami turun melewati jalur pendakian
yang biasa dilalui pendaki. Jalur pendakian lumayan curam, malah curam banget
kami rasa. Kemiringannya mencapai 70-80 derajat.
Pos 7. Kolong Buntu
Kira-kira berjalan 45 menit kami sampai di Pos 7.
Di pos ini ada aliran sungai yang dapat kita jadikan sumber air. Keadaan pos
ini cukup luas sehingga bisa dijadikan tempat camp.
Untuk turun ke Pos 6 kami melewati satu bukit
kecil di sekitar pos, bukan yang turun karena itu mengarah ke sungai.
Pos 6. (2.690 mdpl)
Kami lanjut berjalan menuju Pos 6 dengan trek
yang tambah curam saja. Kami nggak bisa bayangkan kalau naik dari sisi.
Khususnya dasi Pos 5 ke Pos 6. Nggak ada datarannya bro. Sekitar 45 menit turun
dari Pos 7, kami akhirnya sampai juga di dataran Pos 6.
Pos 5. Soloh Tama
Pos 5 ini adalah Pos dengan dataran paling luas
setelah Pos 8 yang memang bentuknya lapangan. Pos 5 ini juga seperti lapangan
namun dinaungi pohon-pohon rimbun. Cocok banget dijadikan camping ground.
Di pos ini terdapat sumber air yang terbagi
menjadi 2 jalur. Ada yang jauh sekitar 30 menit trekking dan ada juga yang
dekat kira-kira 15 menit perjalanan. Letak sumber air ada di kiri jalur jika
kita naik dari Pos 4. Ada petunjukknya kok, kalau belum hiang.
Pos 4. Buntu Lebu (2.140 mdpl)
Pos 3. Lantang Nase (1.940 mdpl)
Dari catper yang kami baca mengatakan kalau trek
pendakian paling berat adalah dari Pos 2 ke Pos 3. Nah, ini kami ingin
membuktikannya. Namun, dari arah sebaliknya yaitu dari Pos 3 ke Pos 2.
Memang, terbukti benar. Kami turun saja
kesusahan, terlebih kalau naik dari sini. Ada saat-saat harus merayapi
akar-akar pohon dan ada juga trek yang mengharuskan kita untuk memanjat.
Pos 2. Gua Sarung Pakpak
Nah, Pos 2 ini sepertinya adalah pos yang paling
menarik diantara yang lain. Bentuknya cerukan batu menyerupai goa dengan aliran Sungai Sallu Karangan tepat di depannya. Kalau musim hujan aliran sungainya sangat deras
banget. Sampai-sampai kalau kita mau ngobrol sama teman harus teriak-teriak.
Oiya, menuju Pos 1 dari Pos 2 kita bakal melewati jembatan kayu yang sangat
ekstrim. Saya dan yang lain sempat ragu saat mau melewati jembatan kayu itu.
Mau saya foto juga nggak sempet. Jadi bentuknya itu dua kayu yang dijejerin
dengan pegangan seadanya. Ditambah aliran sungai di bawahnya yang sangat deras.
Namun, dengan kemantapan hati akhirnya kami bertiga selamat bisa melalui jembatan
ekstrim itu.
Pos 1. Buntu Kaciling (1.800 mdpl)
Menuju Pos 1 adalah hal yang ditunggu-tunggu.
Kami ingin tahu dimana kami bisa sampai malah melewati jalur pendakian Puncak
Nenek Mori. Dimanakah persimpangan itu masih kami cari.
Satu jam berjalan dari Pos 2 akhirnya kami
sampai di Pos 1 yang ada di tengah perkebunan kopi. Nah dari Pos 1 ini kami
bisa melihat rumah panggung yang menjadi Pos 1 jalur Puncak Nenek Mori. Ternyata
kalau dilihat dari situ menyimpangnya memang menjadi jauh sekali. Tapi nggak
papa. Sekali lagi kami bersyukur karena bisa mendaki ke Puncak Rante Mario
dengan jalur naik dan turun yang berbeda.
Akhirnya persimpangan yang membuat kami
memutuskan melewati jalur Puncak Nenek Mori ketemu. Ternyata hanya pertigaan
kecil saja layaknya pematang kebun kopi namun efeknya menjadikan kami naik
turun dengan jalur berbeda. Sebenarnya kami sempat ambil ke kiri dimana itu
adalah jalur Puncak Rante Mario, namun kami ragu melihat jalur yang ada di
depan mata nanjaknya bukan main. Kami mengira itu bukan jalur pendakian,
sehingga kami balik arah dan ambil ke kanan di pertigaan tadi.
Kumandang adzan maghrib menyambut kami seketika
saat kami tiba di Dusun Karangan. Sungguh perjalanan pendakian yang luar biasa
dan kami bisa melewatinya. Kami menuju basecamp pendakian untuk menginap satu
malam lagi disana.
awesome Ta! Keep jalan jalan dan nulis nulis ya!
BalasHapussip Mas...
Hapusoiya, selamat ya... salam buat si embaknya...
Mas, kaliyan bakoh banget
BalasHapusT.T
Dipaksakan mbak... Heheh
HapusAda yg rencana ke mt. Latimojong bulan sept or nov? Saya bisa joint
BalasHapusbang ardian keren tulisannya, informastif abis.
BalasHapusKalau boleh minta Contact person pak Dadang dong mas :P
Pak Dadang - KPA Lembayung (kalau blm ganti no. HP) 081354976976
Hapusgokil perjalanan nya
BalasHapusmantap lah pokok nya .
Thanks mas...
HapusKapan ke Latimojong ?
mas keren blognya, catatan perjalanannya juga detail nih,
BalasHapusoya kalo motor standar, dibawa ke dusun rante lemo bisa ga?
tanpa harus ganti ban motor..hehe,
Thanks...
HapusAku dulu aja pake matic mas...
yg penting ga pas musim ujan, selese deh kalo musim ujan...
kalo januari ke latimojong gmn rekomen ga bro? kebetulan ane sendirian kali aja ada yg mau barengan yuu
BalasHapusbole minta info nya ga
087770133777
Januari brrti musim ujan, yah antisipasi ujannya aja bro...
HapusWaduh blm ada temennya nih?
Jangan sendiri bro, treknya agak ngebingungin
mntap gan... di pos 3 ada air nya tuh... hehehe...
BalasHapusmntap gan... di pos 3 ada air nya tuh... hehehe...
BalasHapusiya mas... ternyata
HapusBagus mas ulasannya, jelas sekali. Sangat membantu
BalasHapusmakasih mas, salam pendaki
HapusItu pakek kamera apa ya ? hehe
BalasHapusPake kamera outdoor Mbk, waterproof
Hapuskeren banget ..jadi pengen kesana.. itu sambil jalan mencatat nama2 desa dan pos2 nya gimana cara mas? very2 detail dan bikin penasaran!
BalasHapusPake foto Mbk, kalo ada petunjuk nama desa atau pos saya foto baru kalo mau nulis blog liat dr foto2 itu.
HapusKeren
BalasHapusThanks nah
HapusKeren bang,
BalasHapusJalur Nenemoi itu memang ada jalurnya yang dibuat sama teman2 SKL tapi sayang jalurnya jarang di perbaharui jadinya agak samar-samar. tapi jika kita bisa tembus lewat jalur SKL view pemandangan nya sangat mantap.
awal pendakian lewat jalur itu sangat tertutup dan beberapa kali sempat menemukan jalurnya sudah tidak berbentuk jalan lagi, benar2 bilang. Tapi itu pengalaman yg keren bisa naik dan turun lewat jalur yg berburuan.
HapusThanks nah sudah berkunjung di blog saya.