Menggapai Atap Tertinggi Pulau Sulawesi "Rante Mario, Latimojong"


Puncak Rante Mario (3.478 mdpl), Pegunungan Latimojong

Nggak hanya di level dunia yang punya seven summits, di Indonesia pun ada. Dari ratusan gunung yang terpancang di negri kita tercinta, tentunya ada 7 puncak yang menjadi puncak tertinggi yang mewakili 7 gugusan pulau besar Indonesia.

Diantaranya yang pernah saya daki adalah Semeru (3.676 mdpl) yang merupakan puncak tertinggi Pulau Jawa. Beberapa saat lalu saya juga berkesempatan mendaki salah satu yang lain dari seven summits-nya Indonesia yaitu Puncak Rante Mario (3.478 mdpl) bagian dari Pegunungan Latimojong yang menjadi pucak tertinggi Pulau Sulawesi. Puncak Tertingi Kepulauan Nusa Tenggara, Gunung Rinjani (3.726 mdpl) pun alhamdulillah tercoret dari daftar rencana di tahun 2015 lalu.

Terkhusus melalui postingan ini bakal dikupas tuntas mengenai pendakian saya bersama dua rekan sesama anggota STAPALA STAN yaitu Samin dan Primbon menuju Puncak Rante Mario. Nggak perlu panjang lebar lagi, mari kita kenalan dengan Latimojong.

PEGUNUNGAN LATIMOJONG

Pegunungan yang juga mendapat predikat Big Mountain ini punya batas-batas yaitu sebelah baratnya adalah Kabupaten Enrekang, sebelah utara Kabupaten Tana Toraja, sebelah selatan adalah daerah Kabupaten Sidenreng Rappang, dan bagian timur seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Luwu sampai ke Teluk Bone. Semuanya masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

Pegunungan ini punya beberapa puncak yang mempunyai elevasi yang cukup tinggi untuk ukuran gunung di Indonesia, karenanya predikat terebut pantas disandangnya.

Berikut nama puncak-puncak yang ada di Pegunungan Latimojong:

Puncak-puncak yang membentang dari Barat ke Timur yaitu:

  • Gunung Pantealoan 2.500 mdpl
  • Gunung Pokapinjang 2.970 mdpl

Puncak-puncak yang membentang dari Utara ke Selatan adalah:

  • Gunung Sinaji 2.430 mdpl
  • Gunung Lapande 2.457 mdpl
  • Gunung Sikolong 2.754 mdpl
  • Gunung Rante Kambola 3.083 mdpl
  • Gunung Rantemario 3.478 mdpl
  • Gunung Nenek Mori 3.397 mdpl
  • Gunung Bajaja 2.706 mdpl
  • Gunung Latimojong 3.305 mdpl

Jalur pendakian menuju puncak-puncaknya ada beberapa alternatif pilihan, diantaranya:

  • Kec. Mingkendek, Kab. Tanah Toraja,
  • Kec. Baraka, Kab. Enrekang, dan
  • Ranteballa Kec. Latimojong, Kab. Luwu.

Dari ketiga jalur yang sering dilalui itu, kami memilih melewati jalur yang paling favorit yaitu melalui basecamp Dusun Karangan, Desa Latimojong, Kec. Buntu Batu, Kab. Enrekang, Sulawesi Selatan.

Sekitar jalur pendakian masyarakatnya didominasi oleh Suku Duri, yang sehari-hari berinteraksi menggunakan Bahasa Duri. Jangan kaget kalau ada beberapa warga yang jika disapa akan menjawab dengan bahasa yang tidak kita ketahui. Begitu pun yang saya alami waktu itu. Sempat bertemu dengan anak-anak yang usai memancing di sungai dan iseng kami tanya dimana mereka mencari ikan malah mereka seperti bingung dengan apa yang kami tanyakan, padahal kami menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi memang dengan kondisi mereka yang bertempat tinggal sangat jauh dari kota, mungkin hal demikian bisa dimaklumi.

Suku Duri  mendiami daerah pusat Kecamatan Baraka hingga Dusun Karangan pada jalur pendakian Latimojong. Mayoritas mereka merupakan petani kopi. Mereka meyakini bahwa arwah nenek moyang mereka bersemayam di tempat – tempat tertentu di Latimojong. Begitu pula dengan berbagai tempat disana dianggap memiliki penunggu. Hiii serem... Tapi selama saya mendaki bersam 2 orang teman nggak ada sesuatu apa pun yang mengganggu kok. Lagi pula mereka tidak bakal menganggu kalau kita tidak macam-macam. Satu macam saja cukup, hehehe...

Yaaa, Dusun Karangan sangat jauh memang. Sudah pernah dengar cerita pendaki-pendaki Latimojong bagaimana mereka bisa mencapai Dusun Karangan yang merupakan basecamp pendakian dan dusun terakhir sebelum trekking ke puncak?

Hmmm, belum mendaki saja butuh perjuangan ekstra loh. Untuk menuju basecampnya butuh kesiapan mental menghadapi medan-medan yang off road.
Biar lebih enak, gimana kalau cerita selanjutnya dalam bentuk time line saja???

Simak terus yaaa cerita kami sampai ke puncaknya dan bisa bersujud syukur di tanah tertinggi Pulau Sulawesi itu hingga bisa turun lagi sampai basecamp dengan selamat sentosa, adil, dan makmur !!!


DAY 1 (1 April 2015)

09.45 : Sampai di Basecamp Lembayung, Baraka

Setelah mengarungi kerasnya jalanan dari Majene menuju Enrekang di malam yang gelap hari sebelumnya, singkat cerita kami akhirnya sampai di Kecamatan Baraka. Disitu terdapat tempat persinggahan yang biasa digunakan pendaki beristirahat setelah perjalanan jauh. Tak lain tempat itu adalah Basecamp KPA Lembanyung. Menuju basecamp ini masih sangat mudah dicapai, jalanan tergolong nyaman untuk dilalui dan cukup lebar. Mobil bisa masuk tentunya. 

Rute menuju Basecamp Lembayung dari jalan poros Enrekang-Tana Toraja kita masuk di jalan Pasar Cakke yang nantinya bakalan tembus di Baraka. Setelah melewati Pasar Baraka, kita harus mencari lapangan yang di dekatnya terdapat SD Negeri 105 Baraka. Nah, basecamp itu berada di belakang sekolah tersebut. Lewatnya di gang sebelah SD Negeri 105 Baraka.

basecamp KPA Lembayung

Kami singgah sejenak saja di basecamp tersebut sambil minum suguhan teh hangat di basecamp yang dikelola oleh Pak Dadang itu. Disitu kita juga bisa dibantu untuk mencari transportasi ke Dusun Rante Lemo. Kami pun demikian, kami menggunakan jasa ojek dari anak buah Pak Dadang sendiri. Harga bisa dinego lah, saat itu kami dapat harga Rp 150.000,- untuk perjalanan selama 2 jam dengan medan yang sangat tidak wajar untuk dilalui sepeda motor pada umumnya.

bisa juga pake hartop loh
jumlah anggota rombongan harus disesuaikan kapasitas hartopnya

kami sempat juga ditawari batu "Sisik Naga" khas Enrekang

10.30 – 10.45 : Administrasi di Polres Baraka

            Beranjak dari Basecamp Lembayung, kami diantar menuju Polres Baraka yang tak terlalu jauh dari lapangan SD Negeri 105 Baraka. Disitu kami mengurus administrasi dengan menunjukkan KTP dan menulis daftar pendaki di buku administrasi.

ada Pak Untung loh di Polres Baraka 

Daftar pendaki yang terakhir sebelum kami ternyata mendaki pada tanggal 25 Maret 2015 dan sampai hari itu mereka belum juga turun. Pak Polisi yang menangani administrasi berpesan kepada kami jika sampai batas waktu yang ditentukan plus 3 hari jika belum melapor kepulangan maka akan diturunkan Tim SAR untuk mencari.

no. telp Polsek Baraka

Kami rencananya mendaki selama 3 hari dua malam. Sehingga kami tulis saja di jadwal kepulangan kami yaitu tanggal 3 April, semoga saja tidak molor. Diperintahkan pula kepada pendaki untuk mencatat nomor telepon Polres Baraka jika sewaktu-waktu perlu bantuan. Jika kondisi memungkinkan di Pos 8 yang merupakan pos dengan dataran yang paling lapang, bisa ditangkap sinyal seluler. Tak ada retribusi khusus dalam pendakian ini.

10.45 – 12.30 : Perjalanan dari Baraka ke Dusun Rante Lemo, Latimojong   

Nah, inilah perjalanan yang sesungguhnya. Melewati medan-medan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, ditengah perjalanan menantang itu, pemandangan yang ditawarkan begitu memukau.

TRUE...!!!

Untung saja hari kemarin tidak hujan. Meski begitu, waktu itu masih banyak genangan dan lumpur namun entah sisa-sisa hujan hari kapan. Tidak hujan saja perjalanan sudah sangat sulit, apa jadinya kalau sehabis hujan deras. Mandi lumpur kayaknya. Sempat tak menyangka juga bakal melewati medan seperti itu. Dalam hati saya berdoa semoga perjalanan pulang besok lancar dan yang penting nggak hujan.

lewat sungai jernih ini juga

abis itu lewat kaya ginian, padahal udah beberapa hari nggak ujan
gimana kalo abis ujan coba ???

Sampai di Dusun Rante Lemo, motor kami simpan di rumah salah satu warga yang biasa dijadikan persinggahan pendaki Latimojong. Kami juga sempat tidur siang di rumah tersebut. Memang perjalanan menuju kaki gunungnya itu juga merupakan tantangan tersendiri. Melelahkan, karena tak hanya duduk manis seperti mengendarai motor biasanya. Namun, tak jarang harus turun, harus dorong, harus ngangkat, harus ngganjel ban. Hmmm, pokoknya perjalanan menuju basecamp adalah tantangan.

Dusun Rante Lemo

Sekitar satu jam tidur dengan nyenyaknya di ruang tamu yang luas di sebuah rumah panggung, kami terbangun dengan badan yang lumayan segar. Kami siap melanjutkan perjalanan pendakian yang sesungguhnya.

14.00 – 15.15 : Trekking Dusun Rante Lemo - Dusun Karangan (Dusun Terakhir)

Medan yang kami lewati masih nanjak-nanjak wajar melewati jalan Dusun Buntu Lamba yang berada diantara Dusun Rante Lemo dan Karangan. Kita akan melihat kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari berkebun.
Akhirnya kami sampai juga di Dusun Karangan dengan disambut ramah senyum warganya. Kami singgah dulu di basecamp terakhir sebelum trekking menuju Pos 1. Kami masuk ke rumah panggung itu. Suasananya adventure banget pokonya. Di dinding-dindingnya sengaja dijadikan ajang tempel stiker dan corat-coret kesan pesan pendakian Latimojong. Nah, lebih baik begitu dari pada ninggalin jejaknya di gunung.

basecamp di Dusun Karangan

tempel sticker kamu disini dan tulis kesan pesanmu disini

selain kopi, Dusun Karangan juga penghasil bawang merah

kacang merah juga

15.30 – 17.00 : Basecamp Karangan – Pos 1

Setelah dirasa siap kami memulai trekking menuju Pos 1. Keluar dari Dusun Karangan kita akan melewati beberapa sungai, termasuk salah satunya sungai Salu Karangan. 


Waspadalah, tak lama setelah melewati dua jembatan beton kecil, kita bakal menemui satu percabangan yang jika ke kanan kita akan menuju Puncak Nenek Mori dan yang ke kiri menuju Puncak Latimojong. Karena keragu-raguan kami, akhirnya kami ambil yang kanan yang tak lain adalah jalur pendakian menuju Puncak Nenek Mori. Padahal awalnya sempat kami ambil yang ke kiri, namun karena belum memadainya info yang kami dapat. Jadilah kami menuju Puncak Rante Mario dengan melewati jalur Puncak Nenek Mori.


Tak kami sadari kalau kami berjalan melewati jalur yang jarang banget dilewati pendaki. Kebanyakan mereka pasti memilih jalur yang langsung menuju puncak tertingginya. Dari awal saya pribadi memang agak sanksi dengan jalur yang kami lewati. Hampir tertutup sempurna oleh pepohonan kopi warga. Saat kami melewatinya pun harus menyibak-nyibak ranting-ranting pohon. Hingga akhirnya kami menemukan adanya penanda keberadaan Pos 1, kami pun sedikit lega. Itu artinya memang jalur yang kami lewati memang benar, meski judulnya adalah jalur pendakian Puncak Nenek Mori.

Sedikit legenda tentang Puncak Nenek Mori.

Jaman dulu tinggalah seorang Nenek dan cucunya bernama Mori di pedalaman hutan di bawah puncak gunung. Nenek Mori diberkahi satu kelebihan yaitu memiliki indera keenam yang mampu melihat dan bersahabat dengan makhluk gaib. Masyarakat percaya bahwa Nenek Mori sering berburu dibantu makhluk halus di sebuah gunung yang sebagian penyusunnya adalah bebatuan. Selain itu ia juga memiliki kerbau putih yang diberi tanda di bagian telinganya dan jika peliharaannya itu mendadak berlari seolah ada yang mengejar maka pertanda akan segera turun hujan. Konon Nenek Mori berburu dengan cara melantunkan kidung untuk anoa-anoa yang berkeliaran di hutan sekitar gunung tersebut. Bila ingin memulai perburuannya, Nenek mori melantunkan kidung diatas sebuah batu besar di puncak gunung, suarany yang menggema terpantul dinding gunung dan lembah mengalun seolah mengajak yang kedengaran seperti lantunan kidung persahabatan. Sekawanan anoa pun berdatangan dengan jinak kemudian menghampirinya.
Hari berlalu sang nenek makin renta dan merasa ajalnya sudah hampir menjemput. Ia pun  berpesan pada cucunya si Mori “Dengarkan sebaik-baik pendengaran mu kata-kata ku ini. Apabila engkau datang di dekat batu tempat biasa nenek bernyanyi sekaligus berburu anoa, kamu harus berteriak dan seketika itu pula maka daging-daging anoa pun akan tersedia, ini adalah janji mu untuk ku, bila engkau melanggarnya maka kamu tidak akan mendapatkan apa pun dan sungguh aku akan meninggalkan mu cucu ku”. Mori pun mendengarkan dan berjanji kepada neneknya akan mematuhi pesan sekaligus perintah neneknya itu.
Namun semakin lama Mori semakin diliputi rasa penasaran. Karena merasa aneh dengan sikap neneknya, Mori pun mendatangi batu tempat neneknya bernyanyi serta berburu secara diam-diam dengan harapan dapat bertemu dengan neneknya lagi dan kemudian berteriak memanggil neneknya. Mori yang tidak menepati janjinya mengakibatkan sang nenek benar-benar menghilang. Tempat sang nenek melantunkan kidung pemanggil anoa itulah yang sekarang menjadi salah satu tempat yang terlihat dari Rante Mario yaitu Puncak Nenek Mori.
 
Letak Puncak Rante Mario dan Puncak Nenek Mori terpaut jauh sebenarnya, namun tak apa lah. Itung-itung pulang pergi dengan jalur yang berbeda. Nah, begitu baru yang namanya mendaki Latimojong pake greget.

bisa dilihat pada peta jarak Buntu Nenek Mori dan Buntu Rante Mario, lumayan juga...

Sejenak saja kami singgah di Pos 1, ngisi perut sedikit sambil berintrospeksi terhadap jalur yang kami lewati. Kak Samin yang membawa print out catper dari salah satu blog pendaki, berusaha mencocokkan Pos 1 yang tertera di catper dan Pos 1 yang ada di hadapan kami. Hmmm, dari deskripsinya sih gak terlalu berbeda, tapi di Pos 1 yang di catper tidak disebutkan keberadaan rumah panggung di area pos. Padahal jelas-jelas Pos 1 dimana kami berada saat itu ada sebuah rumah panggung yang difungsikan sebagai shelter penduduk yang berladang mau pun pendaki.

17.05 – 19.00 : Pos 1 – Pos 2 (Camp)

            Selepas Pos 1, kami bertiga berjalan menuju Pos 2 dengan trek yang benar-benar tertutup kayu-kayu tumbang. Kelihatan banget kalau ini adalah bekas perbuatan manusia. Artinya daerah tersebut masih terhitung biasa dijangkau penduduk. Padahal rasanya sudah lumayan jauh dari dusun. Nah, jalur yang tertutupi pepohonan tumbang ini pula yang cukup menyulitkan kami melewati jalur pendakian. Salah perkiraan bisa melenceng dari jalur yang seharusnya. Hati-hati yaaa...!!!

Tak berapa lama jalur mulai masuk ke hutan yang lebat dan gelap. Hanya suara alam saja yang bisa terdengar meski sayup-sayup suara musik dangdut masih terdengar. Jalur yang kami lewati tanpa bonusan sama-sekali. Yap, serius ini. Menuju Pos 2 trek pendakian konsisten menanjak terus. Hampir 2 jam berjalan itu semua tanpa bonusan. Sempat terceletuk dari mulut Kak Samin, ini yang bikin jalur nggak butuh tempat camp apa yaaa?”. Hehehe, tak lama setelah itu kami akhirnya menemukan satu tempat miring yang akhirnya kami paksakan membangun tenda disitu.

Malam yang dingin dan basah akhirnya menyapa. Tenda yang telah berdiri kami masuki. Sesegera mungkin kami ganti pakaian dan beristirahat. Dalam hati memang Pos 2 saja belum sampai, nggak bisa nyenyak ini tidur.

Pos 2

Malam berganti pagi. Tak ada sunrise yang menyapa kami karena hutan terlampau lebat untuk menonton pertunjukan sang mentari memunculkan diri itu. Si Primbon keluar tenda duluan dan ternyata dia menemukan papan penunjuk bahwa tempat yang kami pakai untuk camp itu adalah Pos 2. Alhamdulillah lumayan.

DAY 2 (2 April 2015)

07.25 – 08.50 : Pos 2 – Pos 3

            Usai sarapan dan beberes perlengkapan, kami bersiap memulai pagi di hari kedua ini dengan berjalan setapak demi setapak menuju Pos 3. Treknya masih terlalu berbeda dengan sebelumnya. Masih dengan tanjakan yang konsisten derajat kemiringannya serta hutan yang begitu rimbun. Kelembapan udara sangat tinggi sehingga lumut-lumut pun bisa kita jumpai dimana-mana. Nggak di batang pohon, ranting, sampai di jalur pendakian pun dipenuhi lumut. Tapi, lelumutan itu juga menambah keindahan pemandangan selama mendaki. Karakteristik gunung di Sulsel memang hampir sama semua.  Bawakaraeng, Lompobattang, sampai Latimojong keseluruhannya punya hutan lumut indah yang menghiasi jalur pendakian.




Akhirnya kami sampai juga di Pos 3 setelah berjalan hampir 1,5 jam. Pos ini ditandai dengan adanya tanah yang sedikit lapang diantara pepohonan. Sampai dengan pos ini kami belum juga mendapati adanya sumber mata air. Maklum saja, kami hanya sempat membaca sekilas catper yang ada di salah satu blog pendaki. Itu pula yang kami baca adalah rute pendakian lewat jalur yang langsung ke Puncak Rante Mario, sedang yang kami lewati kali itu adalah jalur pendakian menuju Puncak Nenek Mori.

08.50 – 11.20 : Pos 3 – Pos 4 (Kampurampangan)           

Meninggalkan Pos 3, kami berjalan lagi menuju Pos 4. Hutan yang rimbun kini berganti dengan pepohonan perdu yang tak terlalu lebat. Didominasi oleh Pohon Cantigi yang berlumut.



Pos 4 ditandai dengan adanya dataran yang letaknya menyerupai Puncak dengan batu-batu yang disusun. Pos 4 ini sempat kami sangka sebagai Puncak Nenek Mori karena ketinggiannya sudah lebih dari 3.200an mdpl, tapi Puncak Nenek Mori masih naik-naik lagi ternyata. Kami lanjut saja menuju Pos 5.

saya kira ini tanda puncak, ternyata bukan

hujan...!!!

Pos 4

11.30 – 14.00 : Pos 4 – Pos 5

            Kami singgah sejenak di Pos 4 untuk persiapan memakai jas hujan karena hujan makin menjadi saja derasnya. Selain itu karena sedari tadi belum kami temukan keberadaan sumber mata air, maka kami manfaatkan istirahat di pos tersebut untuk menampung air hujan.
di Latimojong, batu alamnya luar biasa, ini salah satunya

Meninggalkan Pos 4, kami mulai dibingungkan oleh jalur pendakian yang tidak jelas. Kami sempat berputar-putar saja, bolak-balik kesana-kemari untuk menemukan jalur yang benarnya dan juga menemukan petunjuk berupa tali oranye bertuliskan “SKL” yang sedari awal pendakian telah menuntun kami. Banyak sekali tali-talian yang terpasang di ranting-ranting pohon. Tapi kami memprioritaskan untuk konsisten mengikuti tali yang berwarna oranye. Kami sempat berbalik arah menuju pos sebelumnya, hingga akhirnya kami menemukan jalur yang benar.

14.00 – 15.00 – 16.00 : Pos 5 – Pos 5 (II) – tempat camp

Beranjak dari Pos 5, kami berjalan mendaki naik ke satu bukit. Namun, sampai di pertengahan kami mulai ragu dengan kebenaran jalur yang kami lewati. Makin tidak jelas saja, tidak seperti jalur pendakian. Tapi kemungkinan diatas adalah Puncak Nenek Mori.

Kami putuskan turun saja dari pada lewat jalur yang tidak begitu jelas dan kami tidak mantap untuk melewatinya. Kami berbalik arah menuju Pos 5 tadi dan berjalan di jalur yang bentuknya dataran.


Tak disengaja kami melihat ada petunjuk Pos 5 lagi, namun dengan papan yang berbeda. Kali ini berwarna hijau, tidak seperti penunjuk pos yang sebelum-sebelumnya. Ini mungkin penanda pos lama, atau mungkin Pos 5 jalur lain entahlah.

Berjalan lagi, kemudian kami putuskan untuk membangun camp di tengah jalur pendakian karena cuaca yang kurang bersahabat serta kondisi badan yang mulai drop. Kurang lebih hari itu kami telah berjalan selama 7,5 jam. Tak sampai di Pos 6, kami membangun tenda di tengah hujan yang awet banget sedari tadi.

DAY 3 (3 April 2015)

08.25 – 09.15 : camp – Pos 6            

Terbangun di pagi yang dingin dan berkabut, kami awali hari ketiga itu dengan memasak sarapan dilanjut dengan beberes tenda. Hari itu target kami bisa mencapai puncaknya. Insyaallah tengah hari bisa sampai di Rante Mario.

anggrek Latimojong

jenis lain

Pos 6

Jalur yang kami lewati kali ini sudah sangat jelas, nggak seperti jalur sebelumnya. Pemandangan sebenarnya sudah terbuka, hanya sedikit pepohonan saja yang dihiasi lumut pada batang-batangnya. Tanjakan pun sudah tak separah saat awal-awal pendakian. Tinggal menghitung waktu saja untuk mencapai puncaknya.

09.15 – 09.45 : Pos 6 – Lapangan (Pos 8 Jalur mainstream)

Berjalan hingga Pos 6 pun kami tidak menjumpai sumber air minum dan juga tidak berpasan dengan pendaki lain. Sampai mendekati sebuah lapangan ternyata disana ada satu rombongan yang sedang beberes tenda bersiap mau turun. Kami sempatkan untuk ngobrol-ngobrol sejenak sembari beristirahat. Mereka adalah rombongan lain pertama yang kami temukan di Gunung Latimojong saat itu. Katanya sih rombongan mahasiswa dari Makassar yang sedang melakukan penelitian budaya. Kami pun sempat dibuatkan kopi panas oleh mereka. Ternyata mereka sudah satu minggu loh di gunung. Mereka itulah rombongan pendaki yang ada di daftar registrasi Polres Baraka sebelum kami. Wow, sudah lama juga ya. Sepertinya mereka tak hanya ke satu puncaknya saja melihat waktu yang mereka habiskan sangatlah panjang.



Tanah lapang itu merupakan Pos 8 jalur Puncak Rante Mario dan merupakan Pos 7 jika kita memakai jalur Puncak Nenek Mori. Jika musim hujan, di pos tersebut terdapat satu kolam air hujan yang bisa dijadikan bahan masak atau pun minum. Akhirnya kami bisa menemukan sumber air setelah berjalan dua malam.

sumber air musiman di Pos 8

ketemu rombongan lain untuk pertama kalinya

ini pacet kecil kecil cabe rawit

10.25 – 11.00 : Tanah Lapang (Pos 8) – Puncak

            Kami berpamitan dengan mereka untuk menuju puncak. Setelah beres mereka langsung turun katanya, karena ekspedisi mereka sudah tercapai yaitu menuju beberapa puncak Pegunungan Latimojong. Lagian mereka sudah seminggu di gunung. Buseeet...

Kami masih harus melewati beberapa bukit-bukit dulu. Pemandangan sudah sangat terbuka. Pepohonan tinggi sudah sangat jarang banget. Menurut info, di jalur ini nantinya bakal ada persimpangan menuju Puncak Rante Kambola. Tapi untuk kesana masih harus trekking dua hari lamanya. Hmmm next time ajah...

Jalur pendakian didominasi bebatuan terjal. Tak sampai berjalan satu jam, tugu triangulai sudah bisa terlihat. Seketika itu pula langkah kaki kami tak terasa berjalan lebih cepat saking semangatnya.

Mendekati tugu triangulasi saya berlari sambil merekam dengan kamera detik-detik pencapaian puncak setelah perjuangan yang nggak gampang itu. Begitu sampai puncak rasa lelah seketika sirna, berganti dengan rasa bangga dan haru bisa mencapai titik tertinggi Pulau Sulawesi.


Waktu di puncak kami habiskan untuk foto-foto saja, mengabadikan memori sebuah pencapaian yang luar biasa. Ntar bisa ditunjukkan ke anak cucu, siapa tahu mereka pengen ngikut jejak kami ini.

saya sudah sampai disini, kalian kapan?

semangat yang mau ikut Ekspedisi Saptanusa mendaki 7 summits of Indonesia

STAPALA JAYA from puncak tertinggi Pulau Sulawesi (SPA 971, 988, & 1.000)

12.00 – 18.30 : Turun Gunung (Puncak – Dusun Baraka)

Sekitar jam 12 teng kami putuskan untuk turun langsung. Target bisa sampai basecamp Dusun Baraka sebelum gelap. Tak terasa pula gerimis mulai datang.

Berikut rincian pos-pos yang kami lewati saat turun. Ini artinya, pos-pos berikut adalah pos yang bisa dijumpai jika melewati jalur pendakian yang satunya yaitu Jalur Pendakian Puncak Rante Mario. Tidak seperti yang kami gunakan saat naik waktu itu yaitu Jalur Pendakian Puncak Nenek Mori.

Pos 8. Lapangan

Setelah turun dari puncak, kami singgah sebentar di pos lapangan ini untuk mengisi air di kolam tadah air hujan yang ada di pinggiran lapangan. Setelah itu kami turun melewati jalur pendakian yang biasa dilalui pendaki. Jalur pendakian lumayan curam, malah curam banget kami rasa. Kemiringannya mencapai 70-80 derajat.

Pos 7. Kolong Buntu

Kira-kira berjalan 45 menit kami sampai di Pos 7. Di pos ini ada aliran sungai yang dapat kita jadikan sumber air. Keadaan pos ini cukup luas sehingga bisa dijadikan tempat camp.
Untuk turun ke Pos 6 kami melewati satu bukit kecil di sekitar pos, bukan yang turun karena itu mengarah ke sungai.

Pos 6. (2.690 mdpl)

Kami lanjut berjalan menuju Pos 6 dengan trek yang tambah curam saja. Kami nggak bisa bayangkan kalau naik dari sisi. Khususnya dasi Pos 5 ke Pos 6. Nggak ada datarannya bro. Sekitar 45 menit turun dari Pos 7, kami akhirnya sampai juga di dataran Pos 6.

Pos 5. Soloh Tama

Pos 5 ini adalah Pos dengan dataran paling luas setelah Pos 8 yang memang bentuknya lapangan. Pos 5 ini juga seperti lapangan namun dinaungi pohon-pohon rimbun. Cocok banget dijadikan camping ground.

penunjuk lokasi mata air

Di pos ini terdapat sumber air yang terbagi menjadi 2 jalur. Ada yang jauh sekitar 30 menit trekking dan ada juga yang dekat kira-kira 15 menit perjalanan. Letak sumber air ada di kiri jalur jika kita naik dari Pos 4. Ada petunjukknya kok, kalau belum hiang.

Pos 4. Buntu Lebu (2.140 mdpl)


Pos 3. Lantang Nase (1.940 mdpl)

Dari catper yang kami baca mengatakan kalau trek pendakian paling berat adalah dari Pos 2 ke Pos 3. Nah, ini kami ingin membuktikannya. Namun, dari arah sebaliknya yaitu dari Pos 3 ke Pos 2.

Memang, terbukti benar. Kami turun saja kesusahan, terlebih kalau naik dari sini. Ada saat-saat harus merayapi akar-akar pohon dan ada juga trek yang mengharuskan kita untuk memanjat.

Pos 2. Gua Sarung Pakpak

Nah, Pos 2 ini sepertinya adalah pos yang paling menarik diantara yang lain. Bentuknya cerukan batu menyerupai goa dengan aliran Sungai Sallu Karangan tepat di depannya. Kalau musim hujan aliran sungainya sangat deras banget. Sampai-sampai kalau kita mau ngobrol sama teman harus teriak-teriak. Oiya, menuju Pos 1 dari Pos 2 kita bakal melewati jembatan kayu yang sangat ekstrim. Saya dan yang lain sempat ragu saat mau melewati jembatan kayu itu. Mau saya foto juga nggak sempet. Jadi bentuknya itu dua kayu yang dijejerin dengan pegangan seadanya. Ditambah aliran sungai di bawahnya yang sangat deras. Namun, dengan kemantapan hati akhirnya kami bertiga selamat bisa melalui jembatan ekstrim itu.

Pos 1. Buntu Kaciling (1.800 mdpl)

Menuju Pos 1 adalah hal yang ditunggu-tunggu. Kami ingin tahu dimana kami bisa sampai malah melewati jalur pendakian Puncak Nenek Mori. Dimanakah persimpangan itu masih kami cari.

Satu jam berjalan dari Pos 2 akhirnya kami sampai di Pos 1 yang ada di tengah perkebunan kopi. Nah dari Pos 1 ini kami bisa melihat rumah panggung yang menjadi Pos 1 jalur Puncak Nenek Mori. Ternyata kalau dilihat dari situ menyimpangnya memang menjadi jauh sekali. Tapi nggak papa. Sekali lagi kami bersyukur karena bisa mendaki ke Puncak Rante Mario dengan jalur naik dan turun yang berbeda.

Akhirnya persimpangan yang membuat kami memutuskan melewati jalur Puncak Nenek Mori ketemu. Ternyata hanya pertigaan kecil saja layaknya pematang kebun kopi namun efeknya menjadikan kami naik turun dengan jalur berbeda. Sebenarnya kami sempat ambil ke kiri dimana itu adalah jalur Puncak Rante Mario, namun kami ragu melihat jalur yang ada di depan mata nanjaknya bukan main. Kami mengira itu bukan jalur pendakian, sehingga kami balik arah dan ambil ke kanan di pertigaan tadi.

Kumandang adzan maghrib menyambut kami seketika saat kami tiba di Dusun Karangan. Sungguh perjalanan pendakian yang luar biasa dan kami bisa melewatinya. Kami menuju basecamp pendakian untuk menginap satu malam lagi disana.

malam terakhir di Dusun Karangan setelah turun gunung, nikmat memang...!!!

DAY 4 (4 April 2015)

08.50 – 10.00 : Trekking menuju Dusun Rante Lemo


sampai jumpa lagi Dusun Karangan dan Latimojong

tadi malem hujan T.T

10.15 – 12.15 : Rante Lemo – Baraka


13.00 : Go Home...!!!    :D


see u next trip




-THE END-

Komentar

  1. awesome Ta! Keep jalan jalan dan nulis nulis ya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. sip Mas...

      oiya, selamat ya... salam buat si embaknya...

      Hapus
  2. Ada yg rencana ke mt. Latimojong bulan sept or nov? Saya bisa joint

    BalasHapus
  3. bang ardian keren tulisannya, informastif abis.
    Kalau boleh minta Contact person pak Dadang dong mas :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pak Dadang - KPA Lembayung (kalau blm ganti no. HP) 081354976976

      Hapus
  4. gokil perjalanan nya
    mantap lah pokok nya .

    BalasHapus
  5. mas keren blognya, catatan perjalanannya juga detail nih,
    oya kalo motor standar, dibawa ke dusun rante lemo bisa ga?
    tanpa harus ganti ban motor..hehe,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks...
      Aku dulu aja pake matic mas...
      yg penting ga pas musim ujan, selese deh kalo musim ujan...

      Hapus
  6. kalo januari ke latimojong gmn rekomen ga bro? kebetulan ane sendirian kali aja ada yg mau barengan yuu

    bole minta info nya ga
    087770133777

    BalasHapus
    Balasan
    1. Januari brrti musim ujan, yah antisipasi ujannya aja bro...
      Waduh blm ada temennya nih?

      Jangan sendiri bro, treknya agak ngebingungin

      Hapus
  7. mntap gan... di pos 3 ada air nya tuh... hehehe...

    BalasHapus
  8. mntap gan... di pos 3 ada air nya tuh... hehehe...

    BalasHapus
  9. Bagus mas ulasannya, jelas sekali. Sangat membantu

    BalasHapus
  10. Itu pakek kamera apa ya ? hehe

    BalasHapus
  11. keren banget ..jadi pengen kesana.. itu sambil jalan mencatat nama2 desa dan pos2 nya gimana cara mas? very2 detail dan bikin penasaran!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pake foto Mbk, kalo ada petunjuk nama desa atau pos saya foto baru kalo mau nulis blog liat dr foto2 itu.

      Hapus
  12. Keren bang,
    Jalur Nenemoi itu memang ada jalurnya yang dibuat sama teman2 SKL tapi sayang jalurnya jarang di perbaharui jadinya agak samar-samar. tapi jika kita bisa tembus lewat jalur SKL view pemandangan nya sangat mantap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. awal pendakian lewat jalur itu sangat tertutup dan beberapa kali sempat menemukan jalurnya sudah tidak berbentuk jalan lagi, benar2 bilang. Tapi itu pengalaman yg keren bisa naik dan turun lewat jalur yg berburuan.

      Thanks nah sudah berkunjung di blog saya.

      Hapus

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!