Beruntungnya
saya yang punya FB dan selalu bisa menemukan hal-hal yang kadang tidak
ditemukan orang lain disana. Satu hari, seperti biasanya saya yang selalu tidak
bosan memandangi tulisan-tulisan di dinding facebook yang isinya macem-macem
mulai dari curhatan, makian, iklan, foto-foto selfie dengan bibir yang
dimonyong-monyongin, sampai ajakan-ajakan piknik di grup-grup yang makin kesini
makin rame saja dengan orang-orang yang pengen piknik, termasuk saya. Kalau
dimanfaatkan untuk hal positif, media sosial sangat banyak manfaatnya. Nah, itu
pula yang membuat saya makin berterimakasih sama yang namanya FB karena dia
bisa jadi sarana bertukar info hingga akhirnya saya bisa menemukan ajakan trip
yang sangat menggugah selera.
Yap,
dari sekian open trip yang nongol di wall FB saya, mata saya tertujukan pada
ajakan seorang member dari grup “Makassar Backpacker” yang ngajak trip ke Pulau
Lanjukang plus bonus 2 pulau lain yaitu Pulau Langkai dan Badi. Dari foto yang
dishare mengikuti postingannya membuat saya makin ngiler saja. Pake
kuota lagi tripnya. Sudah, tanpa pikir panjang saya pun langsung
meregistrasikan nama saya dalam list peserta trip. Satu hal lagi yang
bikin makin semangat adalah ongkos alias iuran per orangnya Rp 100.000,- doang
uda dapet tiga pulau keren.
Menuju 3 Pulau Eksotis
Pada hari H, kami berkumpul di depan Pelabuhan
Paotere Makassar. Pelabuhan ini adalah pelabuhan tua peninggalan Kerajaan Gowa
Tallo yang sudah ada sejak abad ke-14. Pada masa Raja Tallo ke-2, sebanyak 200
armada Phinisi diberangkatkan dari pelabuhan ini untuk menyerang Malaka. Sampai
saat ini kita bisa melikat kapal-kapal phinisi yang bersandar di Pelabuhan
Paotere.
Namun, kami nggak naik kapal Phinisi juga kali ke Pulau Lanjukangnya,
kami cukup naik perahu bermesin motor tempel (jolloro) dengan dua deck sudah cukup. Satu
kapal itu diisi 42 orang belum termasuk nahkoda dan rekannya. Dengan segitu
banyak orang kami nggak bersempit-sempitan kok, pokoknya pas.
Kalau Papua punya kepulauan Raja Ampat,
Jakarta punya Kepulauan Seribu, Sumatra punya Kepulauan Anambas, Kalimantan punya Kepulauan Derawan, maka Sulawesi
Selatan punya Kepulauan Spermonde yang kurang lebih mencakup 120 pulau dari
Takalar sampe Pangkep termasuk tiga pulau tersebut. Ketiga pulau yang bakal
kami datangi berada di wilayah yang sama yaitu Kelurahan Barrangcaddi, Kec.
Ujung Tanah, Kota Makassar, kecuali Pulau Badi yang masuk dalam wilayah
administrasi Kab. Pangkep.
sumber: SAC Makassar |
Urutan pulau yang kami datangi adalah Pulau
Langkai, Pulau Lanjukang, lalu Pulau Badi. Pulau Lanjukang jadi pulau yang diprioritaskan,
karenanya kami bakal menghabiskan malam minggu dengan camping di pulau
tersebut. Meski yang terdekat dengan Makassar adalah Pulau Badi tapi pulau ini
yang kami datangi terakhir.
Perjalanan selama 3 jam dari Pelabuhan Paotere
hingga pulau yang pertama sempat terkendala cuaca yang amat ekstrim.
Keberangkatan kami dari Makassar diawali dengan cuaca yang bersahabat bahkan
kami prediksikan bakal panas terik. Sempat kami melintas di sebelah pulau-pulau
kecil berpasir putih dengan laut yang jernih. Namun tujuan kami masih jauh
banget. Setelah hampir dua jam terombang ambing di lautan, tiba-tiba di depan
kami ada segumpalan awan kelam yang kami tahu disitu sedang terjadi hujan.
Jelas banget kalau hujan, padahal di posisi kami saat itu sedang
terik-teriknya. Ini fenomena alam yang baru pertama saya lihat, mungkin
teman-teman yang sering melaut sudah sering kali ya melihat fenomena alam yang
kayak gitu.
Daerah hujan semakin dekat, kami pun bersiap menghadapinya. Ada
yang berlindung di bawah terpal, ada pula yang masuk ke deck bawah. Saya gabung
dengan yang berlindung di bawah terpal. Namun sayang ternyata terpalnya
bolong-bolong dan akhirnya basah kuyup deh. Baru kali itu saya kehujanan di
tengah laut, rasanya serem-serem seru. Langitnya bener-bener horor. Saking
ekstrimnya, habis melewati gumpalan awan kelam yang membawa hujan itu cuaca
kembali terik. Dan pulau pertama pun sudah terlihat dari kejauhan.
Pulau Langkai
Ini adalah pulau pertama yang kami pijak setelah
3 jam terombang-ambing di lautan. Baju masih basah sisa hujan di perjalanan
tadi, tapi begitu melihat bening perairan di Pulau Langkai ini rasanya pengen
lebih membasahi diri ini. Anak-anak pulau bersorak-sorai menyambut kami di
dermaga.
buseeet, bening banget kan ??? |
Pulau Langkai memiliki jarak dari Kota Makassar
sekitar 36 km dengan luas 27 Ha. Tak terlalu besar dan tak terlalu kecil. Saya
sempat mengelilingi pulau ini. Pemandangan dari berbagai sisi begitu memukau
dengan pantai pasir putih yang mengelilinginya. Pulau yang banyak ditumbuhi
kelapa ini memiliki area karang hingga 142,2 Ha. Di sekitaran dermaga kita bisa
melihat dasar laut meski terlihat polosan saja tanpa adanya terumbu karang.
Namun, warna biru beningnya itu lho yang menggoda. Tak heran ada beberapa teman yang langsung menceburkan diri ke laut meski kapal belum merapat dengan
sempurna di tepian. Jangan khawatir, di sisi pulau yang lain tentunya ada spot
untuk bersnorkling ria karena pulau ini juga punya taman laut.
Turun dari kapal saya masuk ke tengah pulau untuk mencari mesjid karena sudah masuh waktu dhuhur. Disitu saya melihat kehidupan orang pulau. Tak banyak beda sih, mereka juga sudah memegang HP bahkan yg masih berusia kanak-kanak. Semuanya sangat ramah terhadap pendatang.
Listrik pun sepertinya sudah masuk ke pulau ini terlihat dari kabel-kabel yang menjuntai di genteng rumah. Namun tentunya bukan dari PLN, melainkan dari dua buah generator yang beroperasi antara pukul 17.30 – 21.00 WITA. Selain generator sebagai sumber listrik, terlihat pulau panel-panel tenaga surya sebagai sumber listrik alternatif.
Mata pencarian penduduknya kebanyakan nelayan
pancing, nelayan pukat, pengrajin perahu, pedagang kelontong, guru dan pegawai
negeri. Pulau Langkai sudah terdapat Puskesmas Pembantu sebagai sarana
penunjang kesehatan penduduk. Tak hanya penduduk Pulau Langkai saja yang
memanfaatkan fasilitas kesehatan tersebut, namun penduduk pulau di sekitarnya
yang belum memiliki fasilitas kesehatan turut memanfaatkan pustu dengan 3
ruangan tersebut dengan mantri lokal Pulau Langkai. Secara periodik
dokter Puskesmas Pattingalloang, Ujung Tanah, Makassar sebagai induk pustu
ini sesekali mengunjungi Langkai.
Sarana pendidikan berupa SD sudah permanen,
siswanya berasal dari Pulau Langkai sendiri dan pulau-pulau di sekitarnya.
Fasilitas transportasi umum ke pulau ini belum ada, jadi kalau mau ke pulau ini
harus menyewa kapal sendiri. Oiya, warga Langkai juga punya kebiasaan
memancing gurita untuk dijadikan konsumsi sehari-hari maupun dijual.
pulau ini dikelilingi pantai yang nggak terputus |
Kami tak berlama-lama di pulau ini, karena
perjalanan masih lanjut ke pulau selanjutnya.
Pulau Lanjukang
Pulau kedua yang kami singgahi sekaligus sebagai
tempat kami menghabiskan malam minggu adalah Pulau Lanjukang. Pulau ini bisa
terlihat dari Pulau Langkai karena memang jaraknya hanya 5,5 km saja di sebelah
selatan. Pulau ini tergolong sangat sepi, dengan luas sekitar 3,4 Ha dan hanya
dihuni 14 KK (45 jiwa).
Berada di sebelah barat ke arah selatan sejauh 40 km
dari kota Makassar. Memang jauh dari pusat kota sehingga pulau ini termasuk pulau
yang paling luar di Kepulauan Spermonde.
Pulau ini dikenal dengan nama Lanyukang atau
Lancukang. Sesuai dengan namanya, para nelayan sering singgah di pulau ini
sebelum melanjutkan berlayar mencari ikan.
Ada banyak keunikan di Lanjukang. Mulai dari
keindahan alamnya dengan pantai yang menjorok panjang membentuk gusung, sampai penduduk
pulau yang tergolong unik dengan (maaf) kondisi tubuh yang kerdil, bungkuk, dan
berambut merah nyaris botak dengan tinggi hanya 80 – 130 cm saja saat berusia
dewasa. Hal itu dikarenakan perkawinan yang masih sedarah.
Bagaimana nggak
terjadi begitu coba, secara letak pulau yang sangat jauh dari keramaian.
Jadinya ya mereka ketemunya dengan orang-orang itu saja. Menikah pun dengan
tetangganya yang masih termasuk saudaranya. Namun seiring perkembangan jaman,
banyak penduduk asli Lanjukang yang menikah dengan penduduk pulau lain di
sekitarnya menghasilkan anak yang normal meski tak jarang gen (maaf) kerdil
lebih kuat.
Dari segi penelitian Budi Susanto mengungkapkan
bahwa penduduk pulau Lanjukang berasal dari keturunan seorang legiun veteran
Sulawesi bernama Mamma Bora. Veteran ini dikenal ketika ia berbicara
mengenai kasus Andi Azis, DI/TII dan PERMESTA dan mengikuti
perkembangannya sekitar tahun 50-an. Mamma Bora mengakui telah menghuni Pulau
Lanjukang sejak pendudukan Jepang tahun 1942 dan kemudian beranak pinak.
Sebuah penyakit aneh kemudian menjangkiti keturunan Mamma Bora secara turun
temurun sehingga membuat fisik mereka berubah menjadi aneh. Menurut hasil
penelitian Budi Susanto, jika keturunan Mamma Bora ini sudah menginjak usia 30
maka akan mengalami kebutaan.
senyum tawa anak-anak Pulau Lanjukang |
bukan maksud membedakan anak yang kiri terlihat unik kan seperti yang saya bilang sebelumnya |
Lepas dari semua itu, biarlah penduduk
Lanjukang menjadi daya tarik tersendiri bagi Indonesia disamping alamnya yang
begitu WOW. Dengan konsisi fisik yang seperti demikian, tak lantas menjadikan
mereka pemalu dan minder. Mereka malah begitu ramah dan membaur bersama kami.
Terbukti saat kami turun dari kapal mereka menyambut kami dan menemani kami
membangun desa (dari tenda-tenda).
desa dadakan di Pulau Lanjukang |
Ada sebuah mercusuar setinggi 20 meter di sisi
barat pulau yang dibangun pada bulan Juli 1997. Saya belum sempat naik, tapi
kata teman-teman yang naik, jendela di bagian atasnya tertutup. Kalau terbuka
berarti bisa memandang keindahan Pulau Lanjukang dari ketinggian tuh.
Pasokan listrik bersumber dari dua buah Genset yang
beroprasi pada jam 17.30-21.00. Terdapat satu musholla di bagian tengah pulau
sebagai sarana peribadatan. Sumber air bersih berasal dari sebuah sumur. Namun
jelas lah kalau rasanya masih payau. Untuk mengantisipasinya, jika teman-teman
datang ke pulau ini alangkah lebih baik kalau membawa persediaan air bersih
dari Makassar ditampung dalam galon-galon. Disamping itu sudah terdapat 1
resort atau rumah panggung besar dengan dua kamar yang menurut informasi dapat
dipesan melalui Hotel Pantai Gapura dengan tarif 1,5 juta per malam (kalau belumberubah). Rumah
panggung tersebut diketahui milik keluarga Manggabarani yang cukup terkenal di
Makassar.
Teman-teman, penduduk Lanjukang juga saudara
kita. Kita mengunjungi pulau jangan hanya menikmati keindahannya saja. Bantulah
mereka yang sangat kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika kesana,
bawalah bahan makanan secukupnya dan pakaian bekas agar dipakai mereka. Mereka
bakal sangat senang sekali.
semoga bermanfaat ya Pak... |
berfoto bersama penduduk pulau |
Beberapa foto tentang keindahan "Serpihan Surga" Pulau Lanjukang...
pohon kelapa tumbang bisa dijadikan tempat main-main seru |
vegetasi pulau didominasi pohon pinus pantai, pohon kelapa, dan pohon pisang di tengah pulaunya |
cakep bangeeet kan |
ini menjelang sunset |
tak ada dermaga di Lanjukkkang |
keindahan yang tak mungkin bisa dilupakan |
Pulau Badi
bening juga |
Bersama Pulau Pejenekang Pulau Badi berada dalam wilayah Desa Mattiro Deceng, Kec. Liukang Tupabbiring, Kab. Pangkep. Luasnya hanya sekitar 6,50 Ha dengan jumlah penduduk 402 kepala keluarga atau 1868 jiwa, 920 jiwa Laki - laki dan 948 jiwa perempuan berdasar sumber data Desa Mattiro Deceng. Cukup padat dibanding dua pulau sebelumnya yang telah kami kunjungi. Tampak pula kehidupan di pulau ini lebih maju.
Tak seperti Lanjukang yang belum terdapat
sarana pendidikan, di Pulau Badi sudah terdapat SD dan SMP. Aktifitas
sehari-hari penduduknya membuat kapal, berdagang, warung, dan beternak. Tak
heran jika kami pilih pulau ini sebagai persinggahan sebelum kembali ke
Makassar. Kita bisa mengisi perut di warung mie di pulau ini. Cukup Rp 3.000,-
saja kita dapat merasakan nikmatnya semangkuk mie instan panas. Jika beruntung
si ibu penjual menyediakan bakso sapi yang diimpor dari Makassar. Kali itu kami
belum beruntung karena bakso belum tiba di pulau, nah giliran sudah selesai
makan barulah si bakso datang. Yaaah....
Dari penuturan ibu penjual mie, ada jasa
angkutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun bahan-bahan untuk
berjualan yang bolak-balik dari Makassar ke pulau. Kami juga sempat melihat
kesibukan warga yang sedang menurunkan barang-barang dari kapal.
pulau ini perekonomiannya lebih berkembang |
Sumber air tawar pun lebih mengandalkan hujan
ketimbang sumur yang agak payau. Terdapat pohon mangga setinggi kurang lebih 30
meter yang terletak di belakang SD. Bukan karena dikeramatkan oleh masyarakat
setempat, namun menjadi daya tarik bagi anak-anak hingga remaja di Pulau Badi.
Saat atap SD berbunyi, bergegaslah para anak-anak menanti buah mangga tersebut
jatuh. Bahkan pada malam hari, sebagian dari mereka membekali diri dengan
senter. Maklum saja karena pohon mangga tersebut menjadi satu-satunya di Pulau
Badi.
Kemarin saya mau ikut trip ini, tapi momentnya pas say lagi ngebolang di Bali.
BalasHapusyahhh, kalo ikutan kan bisa sharing2 bang heheh...
Hapusnext time semoga bisa ngetrip bareng...
Iya yah, padahal saya mau banyak belajar sama anda bro.
HapusSekarang tinggal dimana?
di Majene bang...
Hapusmainki ksini...
keren bro... ternyata anda seorang penulis aktif,
BalasHapussalam saya #huraaa
haha iya...
HapusThx juga lho uda ngasi tumpangan tenda... Kalo gak kehujanan malem2 tuh
Kereeeen ^^
BalasHapusThanks...
Hapusgilak bagus banget ntul...ngiler ngiler liatnya. beningnyaaaaaaaaaaaaaaaa
BalasHapusyadong ngUl... Keren kan ???
HapusAyo raja ngampat
Eh sumpan keren bener jadi ngiler mau kesana :-)
BalasHapusJangan ngiler banyak2 Om, ntar malah jadi pulau pulau buatan di atas bantal...
BalasHapusBuruan datengin, pas banget tuh buat arena baring2 pamer kancut kesayangan...
Request yak, kalo kesini pake yg warns orens...
Mantaappp kak. Sampai2 ngiler juga mau kesana .bagi IG ?
BalasHapusAda... IG ardiyanta
HapusKalau ada open trip bro...
BalasHapuska itu kaka ikut paket wisata ya apa gimana? kalo ada open trip kayak gitu info dongg kaa. thx
BalasHapusikut open trip ini via FB Makassar Backpacker....
Hapusada open trip lho ? http://superbubur.com/?p=1438
BalasHapus