Sebar Apem di Perayaan Tadisi YAQOWIYU



Tradisi Sebar Apem "Yaqowiyu"
Berawal dari sebuah pesan singkat dari seorang teman yang memberi tahu kalau setelah sholat Jumat di tanggal 28 Desember 2012 ada acara sebar apem di Jatinom, Klaten. Kebetulan saat itu adalah masa-masa liburan sekolah sehingga aku sekeluarga mudik ke rumah Klaten. Perayaan sebar apem itu memang sudah aku tunggu sedari lama karena dari dulu aku hanya mendengar gaungnya saja dan belum sempat berpartisipasi secara langsung. Denger-denger sih kalau berhasil mendapat kue apem yang disebar dari suatu menara tinggi di satu lapangan di Jatinom niscaya bakal dapat keberuntungan, tapi kalau aku sih hanya sekedar pengan tahu saja untuk mengenang jasa salah satu tokoh penyebar agama Islam di sekitar Jatinom yaitu Ki Ageng Gribig, soal nanti kalau dapat keberuntungan itu sih biar tangan Allah yang menentukan. Acara tersebut merupakan bagian dari satu tradisi turun-temurun sejak ratusan tahun yang bernama Yaqowiyu.
Asal mula tradisi sebaran apem yaqowiyu ini memang tak lepas dari sosok Ki Ageng Gribig, ulama santun berwibawa yang hidup di abad XVI. Sejarah kue apem itu dulunya Ki Ageng Gribig saat selesai menunaikan ibadah haji dari Mekah membawa beberapa buah kue apem untuk oleh-oleh anak cucunya. Karena tidak cukup, maka Nyi Ageng Gribig membuat apem lagi sekaligus untuk dibagikan kepada penduduk Jatinom dan saat membagikan apem beliau meneriakkan kata “yaqowiyu” yang artinya “Tuhan berilah kekuatan”. Oleh karena itu momen tersebut diabadikan dalam sebuah tradisi setiap satu tahun yang dikenal sebagai Tradisi Yaqowiyu.
Perlu diketahui sepulangnya Kyai Ageng Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah dari Oro-oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro-oro Tarwiyah. Adapun Oro-oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig yang berasal dari Padang Arafah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari hari tersebut dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah.
Sedang nama Yaqowiyu berawal dari pengajian yang diadakan oleh Kyai Ageng Gribig yang pada saat mengakhiri acara selalu memanjatkan doa “Ya qowiyu Yaa Aziz qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin”, untuk memohon kekuatan terhadap kaum muslim. Untuk menghormati para tamu, maka dibuatlah hidangan kue apem dan makanan kecil lainnya. Karena tradisi ini diadakan setiap bulan saffar dalam penangglan Islam maka masyarakat sekitaran Jatinom Klaten sering menyebutnya dengan Saparan.
Saat itu di pertengahan bulan Saffar bertepatan di akhir bulan Desember 2012 saya juga diajak untuk sholat Jumat di dekat lokasi sebar apem, agar nantinya setelah sholat bisa langsung ke TKP (Tempat Kejadian Penyebaran apem  *-*v).
Apem dalam bahasa arab “affan” yang bermakna ampunan tujuannya agar masyarakat selalu memohon ampunan kepada sang pencipta. Ada yang belum tau gimana bentuk kue apem??? Kalau orang Jawa pasti sudah tentu tahu kue ini yang sering kali digunakan saat ada acara atau hajatan misalnya pernikahan atau khitanan. Terbuat dari tepung beras, kelapa, dan gula jawa lalu dimasak diatas penggorengan dengan bentuk khas. Kalau kamu sudah lihat secara langsung bentuknya, pasti kamu juga bakal teringat kue dorayakinya Doraemon itu.
Saat itu saya dan teman sekelas saya saat kuliah di STAN BDK Manado yaitu Sarjono sholat Jumat di salah satu masjid tertua di Jatinom yang juga peninggalan Ki Ageng Gribig yang diberi nama masjid Alit. Memang sih ukurannya tak terlalu besar sehingga saat itu kami hanya kebagian tempat di bangunan sebelah masjid, bukan di bangunan utamanya. Setelah sholat saya sempat melihat bagian dalam bangunan utama masjid yang terhitung kecil itu, sesuai namanya sih, dan memang arsitekturnya menunjukkan gaya bangunan lama dan menurutku sangat eksotis sekali terkesan masih dalam bentuk aslinya.
Lalu kami menuju salah satu rumah teman Jono yang  tak jauh dari mesjid alit untuk nanti ikut acaranya bareng-bareng. Lalu kami menuju satu alun-alun di pinggir sungai dengan dua menara tinggi yang nantinya kue apemnya akan disebar dari sana oleh para santri yang mengenakan baju dan ikat kepala serba putih. Lapangan tersebut juga berada tak jauh dari Masjid Besar Jatinom yang bersebelahan dengan kompleks pemakaman Kyai Ageng Gribig juga. Menurut info yang saya dapat sebanyak lima ton kue apem yang berasal dari sumbangan para warga masyarakat Jatinom akan diperebutkan para pengunjung (banyak juga yaaa, semoga bisa ketangkep deh itu apem….  *;*)
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apem yaqowiyu bisa mendatangkan keberuntungan, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Untuk petani, bisa ditaruh di sawah agar tanaman subur dan berhasil panen, bagi pedagang supaya dagangannya laris, bagi para lajang agar cepat dapat jodoh, bahkan ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu adalah tanda akan memperoleh rezeki melimpah.
Di tempat yang sama terdapat juga peninggalan Kyai Ageng Gribig berupa Gua Belan, Sendang Suran, dan masjid alit atau masjid tiban yang saya kunjungi saat sholat Jumat waktu itu.
Sedari di jalan raya Jatinom hingga menuju lokasi memang sudah dipadati oleh pengunjung, parkiran sepeda motor pun penuh dimana-mana. Rumah warga pun dijadikan lahan parkir dadakan. Sementara yang lain pedagang juga memadati sekitar jalan menuju lokasi penyebaran apem. Tak lupa arena bermain anak-anak atau yang biasa disebut pasar malem juga tak lupa digelar. Tradisi tahunan ini memang sangat menarik animo masyarakat untuk datang sekedar mengisi waktu luang dan menghibur diri sampai yang berniat untuk mendapatkan apem langsung dari sebaran dari atas menara atau masyarakat setempat menyebutnya oro-oro Tarwiyah untuk mendapat keberuntungan. Ada yang percaya kue apem ini mempunyai kekuatan supranatural yang membawa kesejahteraan bagi yang berhasil mendapatkannya.
Perayaan yang dipusatkan di kompleks makam Kyai Ageng Gribig ini biasanya juga dihadiri Bupati beserta pejabat Kabupaten Klaten agar lebih meramaikan suasana dan mendekatkan diri kepada rakyatnya. Diharapkan pula tradisi ini juga akan meningkatkan potensi pariwisata Kabupaten Klaten dari segi kebudayaannya.
Sudah bisa terbayangkan sih gimana ramainya di TKP tapi hal itu tak menyurutkan kami untuk juga turut serta dalam acara tangkap apem itu. Apem yang akan disebar dibentuk dalam satu tumpukan yang disebut  gunungan lanang juga dikenal dengan nama Ki Kiyat dan gunungan wadon atau  dikenal dengan nama Nyi Kiyat, yang telah disemayamkan semalam di dekat masjid lalu diarak menuruni tangga menuju panggung di lapangan Sendang Plampeyan yang ada di pinggir Kali Soka, di selatan masjid dan makam Ki Ageng Gribig. Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat fardhu.
kerumunan ribuan orang menanti apem disebar
Kami pun segera menuju lapangan dengan menyusuri jalan berbatu dan menurun menuju pinggir sungai lalu mulai terlihatlah kerumunan ribuan orang memadati lapangan tersebut menanti-nanti apem disebar. Sebelum disebar dilakukan doa-doa terlebih dahulu oleh pemuka agama setempat. Setelah diamini oleh seluruh orang yang hadir maka acara yang ditunggu pun di mulai. Apem-apem disebar dan dilempar ke segala penjuru yang membuat orang-orang di bawahnya saling mengankat tangan dan berteriak-teriak meminta apem dilemparkan ke arahnya. Dari anak-anak hingga lansia pun tumpah ruah di lapangan itu, bahkan sempat saya lihat ada seorang ibu hamil besar yang juga datang di kerumunan orang-orang (ngilu juga sih ngelihatnya *o*) tapi dia hanya duduk kok, masak iya ikut rebutan di tengah lautan manusia hehehe. 

sebagai sarana hiburan keluarga juga

Sarjono pun dapet satu apem yang walau tak tepat saat menangkapnya dan sempat apem itu jatuh tapi tetap saja diambilnya dan dikantongi. Saya pun makin berniat juga untuk bisa mendapatkan apem itu, Sarjono aja sudah dapat.
para santri dengan pakaian serba putih melempar apem
Maka saat itu saya mengajaknya untuk turun lebih mendekat di kerumunan. 
Akhirnya dengan tangan kanan memegang kamera dan tangan kiri berusaha menangkap apem yang dilempar saya bisa menangkap satu apem dengan tepat ditangan. Pas banget ketangkap di tangan walau saat itu juga berebutan dengan orang lain (mungkin sudah rejekiku yaa *2*). Apem yang saya dapatkan terbungkus plastik dan diikat, beda dengan yang di dapat Sarjono yang “telanjang bulat”. 
pengunjung menanti-nanti apem dilempar ke arah mereka
Saat pertengahan acara gerimis mulai terasa dan langit mulai gelap, agar tak terjebak hujan di tengah kerumunan orang maka kami pun kembali ke rumah teman Sarjono di atas. Benar saja setelah kami sampai, hujan deras datang dan sedikit membanjiri jalan-jalan di tengah desa.





apem disebar


apem-apem dilempar ke segala arah


Jika kamu sedang jalan-jalan ke Klaten dan sekitarnya pas bulan Saffar atau bulan kedua dalam penanggalan Islam biasanya di hari Jumat minggu kedua tak ada salahnya ikut berpartisipasi di acara tersebut. Buktikan sendiri kemampuanmu dalam menangkap apem yang disebar bersaing dengan ribuan orang yang tumplek di satu lapangan. 
Pengalaman yang Seru dan Asikkk *©*…..  Cobalah…!!!


Komentar