Makassar Hari Pertama (Fort Rotterdam, Masjid Apung, & Pantai Losari)



Sudah jadi hal wajib bagi saya jika ke tempat baru  untuk menyempatkan diri  mendatangi tempat indah yang ada. Entah itu keindahan alamnya, budayanya, maupun hal-hal yang menjadi ciri khas daerah itu yang tak bisa ditemui di tempat lain.

Ngomong-ngomong tentang tempat baru, sebenarnya saya juga baru memasuki minggu ketiga di Kota Majene, Sulbar untuk menjalani  penempatan kerja dari salah satu intansi pemerintahan. Tempat baru saya ini belum seberapa saya eksplore keindahannya. Baru satu pantai di Majene yang berhasil  saya sambangi. Pantai ini pula yang pertama kali tampil di halaman mesin pencarian saat diketikkan “Majene” di kotak pencarian. Tunggu saja, pastinya nanti bakal menjadi salah satu post di blog ini. Heheh…

Mungkin karena saking mendadaknya pengumuman penempatan sekaligus begitu jauh jaraknya dari rumah, alhasil satu barang yang teramat penting bisa lupa dibawa. Biasanya benda itu selalu dikantongi kalau pergi-pergi.

Yap, handphone saya tertinggal di rumah saat saya mau berangkat ke bandara. Apa jadinya saya tanpa hempina kesayangan. Masih bisa hidup sih memang, tapi mungkin pahit. Sepahit kopi tanpa gula.

Berawal dari situ saya malah bisa sampai di Kota Makassar untuk yang kedua kalinya. Kali pertama sih cuman mampir nginep setelah turun dari pesawat. Kali kedua ke Makassar ini dalam rangka megambil HP beserta SIM cardnya pada seorang teman yang bersedia menggantikan jasa titipan kilat konvensional. Dialah Agung Hercules, yang tak lain merupakan teman magang di KPP Pratama Salatiga. Kami di tempatkan di provinsi yang berbeda memang, namun masih dalam satu pulau. Pendek kata setelah melalui negosiasi dan segala macamnya, akhirnya kami putuskan untuk ketemuan di Makassar.

Dari Majene butuh hampir 6 jam perjalanan darat untuk sampai di kota yang dulunya bernama Ujung Pandang tersebut. Hal itu membuat saya memutuskan kapan hari yang paling strategis untuk mengambil salah satu benda kesayangan itu, ditambah masih bisa melakukan hal lain yang bermanfaat. Apalagi kalau bukan jalan-jalan. Makassar yang saya tahu merupakan salah satu kota yang punya banyak tampat menarik untuk dikunjungi, apalagi makanannya sepertinya laziz laziz. Cotto, Konro, Pallu Bassa, dkk… nyams deh pastinya...

Saya putuskan pergi ke Makassar di long weekend pertengahan April 2014 ini yang mana mulai hari Jumat hingga Minggu bisa dimanfaatkan untuk mengeksplor sebagian keindahan yang dimiliki Kota Anging Mamiri itu. Kenapa hanya sebagian Tak lain karena kalau semuanya dieksplore mungkin butuh berbulan-bulan untuk menyelesaikannya sebab saking banyaknya tempat menarik disana.

Tengah malam saya berangkat dari Majene menuju Makassar menggunakan bus istimewa dengan jok yang super enak karena bisa menyelonjorkan kaki dengan bebas dan juga mnggunakan suspensi udara. Kenapa saya memilih bus yang sebegitu memanjakan diri banget yak. Hmm, karena hanya bus itulah yang saya tahu punya jurusan ke Makassar dari Majene. Tiketnya juga lumayan menguras kantong bagi backpacker yang pengen ngirit kayak saya. Rp 110.000,- sekali jalan dari Majene ke Makassar. Tapi itu tadi, yang dibayarkan tentu saja sebanding dengan yang didapatkan.

Pendek kata, setelah menempuh perjalanan darat selama 5.5 jam, akhirnya saya pun dengan selamat mendarat di tanah Makassar. Turun di Terminal Daya Kota Makassar pas pagi buta seperti waktu itu memang belum ada angkotutan umum atau bahasa lokalnya pete-pete, kecuali ojek yang memang selalu stanby menunggu “mangsa” yang baru turun dari bus.

Hari pertama tentunya saya berencana mau ngambil HP dulu yang menjadi hal inti kenapa saya ke Makassar. Baru setelahnya saya isi dengan jalan kesana sini untuk menemukan hal menarik yang ada di Makassar. Kata orang sih belum ke Makassar kalau belum foto di Pantai Losari. Karenanya tempat itulah yang pertama mau didatangi. Cukup mudah sebenarnya untuk sampai ke Pantai Losari, namun karena kekurangpahaman kami mengenai trayek-trayek pete-pete atau angkutan umum, jadilah kaki-kaki ini yang nantinya bakal jadi angkutan pengganti jikalau memang kami kesusahan mencari pete-pete menuju kesana.

MENUJU PANTAI LOSARI, MAMPIR KE BENTENG ROTTERDAM

Yang kami ketahui kalau untuk ke Pantai Losari dari terminal Daya, kami harus naik pete-pete dulu jurusan sentral. Setelah itu kami tak tahu harus naik pete-pete mana lagi. Dari angkot pertama, kami turun di dekat lapangan Karebosi yang tak lain merupakan titik 0 km Kota Makassar. Ternyata di situ jalanan mulai menjadi satu arah saja. Sempat membuka google maps dan kami melihat ada spot menarik satu lagi yaitu Benteng Rotterdam yang jaraknya sepertinya tak terlalu jauh dari tempat kami berada saat itu. Lebih dekat jaraknya dari pada Pantai Losari yang awalnya ingin kami datangi terlebih dulu.

Dengan berbekal kaki yang kuat, di tengah terik matahari Makassar, kami berjalan mendekati Benteng Rotterdam berbekal petunjuk peta digital di HP. Cukup lumayan agak jauh memang total perjalanan yang harus ditempuh dari sentral ke benteng. Tapi bagi saya itu adalah hal yang mengasikkan karena memang judulnya adalah jalan-jalan, maka cocok sepertinya kalau memang ditempuh dengan jalan kaki. Hahaha #berusahamenghiburdiri…

BENTENG ROTTERDAM


Benteng Rotterdam merupakan sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa yang dibangun sekitaran tahun 1.545 pada masa raja yang kesembilan bernama Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumpa’risi. Awalnya benteng tersebut bernama Benteng Ujung Pandang, namun kedatangan Belanda kala itu membawa pengaruh besar pada pemerintahan yang ada. Sebuah perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaiyya mengharuskan Kerajaan Gowa harus menyerahkan benteng tersebut ke tangan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Cornelis Speelman. Hingga akhirnya benteng tersebut berubah nama menjadi Fort Rotterdam.



Kalau dilihat dari atas katanya kompleks benteng ini menyerupai bentuk penyu. Menurut info, filosofi yang terkandung dari bentuk benteng tersebut adalah karena penyu bisa hidup di darat dan di laut sehingga diharapkan pasukan krajaan bisa kuat berjuang di darat maupun di lautan. Bangunan tersebut juga dibangun di pinggir laut sehingga bisa disimpulkan benteng tersebut difungsikan sebagai sarana pertahanan dan pengintaian terhadap musuh.

Sebelum seperti yang kita lihat saat ini, Benteng Rotterdam dibangun dengan bahan baku tembok yang bercampur tanah liat. Saat pemerintahan Raja Gowa yang ke-14, barulah bahan konstruksi benteng diganti dengan batu hitam yang keras.

Masuk ke area dalam benteng ini tak dipatok harga tiket yang pasti, hanya saja pengunjung dipersilahkan mengisi buku tamu dan memberi bantuan sekedarnya untuk perawatan. Di dalam area benteng terdapat beberapa bangunan yang sekarang ada yang dialihfungsikan sebagai Museum yang diberi nama Museum La Galigo. Selain museum, di salah satu ujung bangunan ada satu lagi spot menarik yaitu tempat pengasingan Pangeran Diponegoro.




Perang Diponegoro (1.825 – 1.830) berakhir tragis dengan tertangkapnya sang pangeran melalui proses penjebakan. Beliau ditangkap dan dibuang ke Manado. Barulah tahun 1.834 dipindahkan ke Benteng Rotterdam di ruangan sempit yang teramat pengap.




Panas yang makin terik menyebabkan kami kepingin segera meneduhkan diri dan hati. Karena saat itu adalah hari Jumat, kami juga harus berkejaran dengan waktu sholat. Jumat pertama di Makassar pengennya sholat di masjid yang istimewa pula. Sempat kepikiran buat sholat Jumat di Masjid Al-Markaz, masjid megah yang pernah saya lihat di TV. Tapi karena waktu yang sudah mepet, apalagi kami nggak tahu lokasi tepatnya jadilah kami mencari masjid istimewa lain namun yang dekat dengan lokasi kami berada.

MASJID APUNG "AMIRUL MUKMININ" 


Agung mengusulkan untuk sholat di masjid apung dekat Pantai Losari. Wah, ide yang bagus sepetinya. Sekalian nyamperin landmark Makassar yang juga jadi tujuan pertama kami. Oiya, saat masuk benteng kami sempat ditawari buat nyebrang ke pulau sebelah tapi lagi-lagi kami tidak tahu pulau apa yang dimaksud. Melihat peta memang di seberang Makassar ada banyak pulau kecil namun tak tertera namanya. Setelah bertanya-tanya sama om-om yang nawarin kapal, ternyata pulau yang dimaksud ada beberapa. Dua yang mejadi favorit adalah Pulau Khayangan dan Pulau Samalona. Wah mendengar namanya saja saya sudah bisa membayangkan bagaimana cantiknya pulau-pulau itu. Kalau Pulau Samalona saya pernah mendengar sebelumnya, tapi tak menyangka kalau pulau tersebut saat itu ada sebegitu dekat dengan kami. Ada sedikit paksaan memang dari om yang nawarin kapal agar kami segera menyebrang saat itu, mungkin dia melihat saya yang membawa tas carrier 80 L yang biasa saya bawa ke gunung dan disangka siap menyebrang pulau. Tapi rasanya terlalu buru-buru kalau saya meng-iya-kan saat itu juga. Lagian waktu sholat Jumat sudah makin dekat.

Cukup lama om-om itu mengikuti kami berdua, termasuk saat foto-foto di depan benteng om itu masih mengikuti juga. Kami pun bergegas pergi dengan alasan mau sholat Jumat dulu. Dada om…!!!

Kami sempat mampir di warung es pisang ijo depan Fort Rotterdam. Sekalian pula kami tanya akses transport ke Pantai Losari. Oh, ternyata tinggal lurus saja namun sayangnya tak ada pete-pete yang menuju ke sana. Yah, dengan terpaksa semangat kami harus jalan kaki di teriknya Kota Makassar di siang bolong itu.



Berjalan santai di jalan tepi laut Makassar, saya teringatkan pada Kota Manado dengan Boulevardnya yang mirip-mirip lah sama yang ada di Makassar. Dan akhirnya kami lewati juga tulisan Pantai Losari yang sering buat foto-foto itu. Sudah saya sangka sih memang kalau pantai tersebut tak seperti pantai yang dibayangkan. Namun “pantai” tersebut menjadi semacam alun-alun tempat berkumpul warga Makassar dan wisatawan di kala sore hari sembari menunggu sang fajar tenggelam.





PANTAI LOSARI

Sorenya, kami mencoba menyambangi Pantai Losari lagi. Benar saja, disana yang tadi siangnya sepi banget, tak ada yang mengerubungi tulisan Pantai Losari. Saat sore harinya jadi rame buanget, tumpah ruah disitu. Jadi arena mobil-mobilan mini anak-anak lah, buat foto-foto lah, ada yang sepedaan lah, banyak pokoknya.






Senja tak terasa mulai berganti gelap.  Kumandang adzan magrib juga mulai bersahutan. Hari pertama di Makassar kami tutup dengan mencicipi kuliner khas yang juga bikin saya penasaran sebelumnya. Pisang Eppe dekat Pantai Losari berhasil membuat rasa penasaran kami berakhir dengan ucapan “Oh, ternyata rasanya begini to…”.



Berjalan kaki di siang bolong dari Lapangan Karebosi Makassar menuju Benteng Rotterdam dan berakhir di Pantai Losari mengisi hari pertama saya di Makassar. Masih ada kuota 2 hari selanjutnya bagi saya untuk melihat keindahan apa lagi yang ditawarkan oleh kota tersebut.

Buat bocoran saja kalau hari berikutnya saya berhasil mendarat di Pulau Samalona, pulau kecil nan cantik di seberang Makassar. Dan hari  ketiganya saya dengan selamat bisa sampai di Desa Berua, desa yang terisolir gugusan pegunungan Karst-Maros yang untuk menuju kesana hanya menyusuri sungai dengan kapal-lah cara satu-satunya yang tersedia. Banyak keindahan tersembunyi di tempat yang tersembunyi pula, tunggu saja di postingan selanjutnya.

Salam…

Komentar

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!