Dalam Bahasa Jawa, “ardi” merupakan salah satu Dasa Nama atau nama lain dari gunung selain arga, giri, meru, dll. Mungkin karena itu pula ikatan batin saya dengan gunung bisa dibilang erat. Pendapat saya pribadi sih hehe. Pasalnya setiap ada waktu luang atau tanggal merah sehari saja langsung kepikiran mau mendaki gunung mana lagi yah. Naluri pendaki kali yaaa.
Pernah
pula satu ketika setelah lulus kuliah, saya punya waktu yang super lowong
selama satu tahun untuk menunggu penempatan kerja. Nah, saat itu adalah saat dimana
saya gencar-gencarnya menjadi pendaki gunung. Bisa hampir tiap bulan mendaki
bahkan sempat dua minggu sekali mendaki gunung. Terlebih lagi karena sangat
mudah menemukan gunung-gunung tinggi di sekitar tempat tinggal. Secara saya
hidup sedari kecil berada di sekeliling pegunungan. Mulai saat itu pula, hobi
mendaki gunung saya geluti benar-benar.
Makin
kesini hobi kadang berbenturan dengan kerjaan. Tapi jangan sampai pekerjaan
menghalangi hobi lah yaaa. Hehe… Bercanda… Kalau bisa sih seimbang, toh bisa
naik gunung duitnya dari kerja. Kesempatan naik gunung seperti saat baru-baru
lulus kuliah itu rasanya saya dapatkan kembali. Sekiranya antara bulan Desember
2016 sampai Februari 2017 alhamdulillah punya kesempatan mendaki beberapa
gunung yang tergolong luar biasa. Awal Desember 2016 saya berkesempatan mendaki
gunung tertinggi di Jawa Barat yaitu Ciremai, lalu akhir Desember berhasil
menapakkan kaki di puncak gunung tertinggi di Jawa Tengah yaitu Slamet,
kemudian peralihan Januari ke Februari 2017 finally
bisa menuntaskan pendakian gunung dengan jalur terpanjang se-Jawa tak lain
Gunung Argopuro, dan akhir Februari 2017 bisa menginjakkan kaki di puncak
tertinggi keempat di Jawa Barat meski harus menerima bantaian tanjakan kejamnya
sedari awal mendaki yaitu Gunung Cikuray.
Khusus
postingan kali ini bakal dibahas semua tentang Cikuray termasuk pendakiannya
yang Alhamdulillah dengan lancar terlaksana beberapa waktu yang lalu. Sebagai
awalan, kita kenalan dulu yuk dengan gunung dengan bentuk mirip kerucut raksasa
ini.
GUNUNG CIKURAY
Gunung
yang terletak di Kabupaten Garut ini memiliki tinggi puncaknya mencapai 2.821
mdpl. Jalur pendakian bisa memilih diantara 3 pilihan yaitu jalur Pemancar di Dayeuhmanggung Kecamatan Cilawu, jalur Kiara Janggot di Kecamatan Bayongbong, dan jalur di Kecamatan Cikajang. Jalur Kiara Janggot adalah jalur yang baru dibuka dan punya pertemuan jalur dengan jalur pemancar di bawah Pos 7. Dari jalur-jalur tersebut, Jalur Pemancar
lah yang menjadi paling favorit meski terkenal tanjakannya yang nggak
habis-habis.
Jalur
Pemancar juga kami pilih untuk pendakian ke puncak Cikuray saat itu. Akses
menuju titik awal pendakian cukup mudah karena gunung ini termasuk gunung yang
cukup sering didaki oleh pendaki yang kebanyakan berdomisili di Jakarta. Gunung ini juga berdekatan dengan Gunung Papandayan dan Guntur yang sama-sama populer. Bisa
dipilih berangkat dari Terminal Lebak Bulus ataupun Terminal Kampung Rambutan.
Tapi mengenai fleksibilitas waktu, bus yang berangkat dari Terminal Kampung
Rambutan lebih banyak pilihannya. Tengah malam pun masih ada bus yang berangkat
menuju Garut.
Pendakian Gunung Cikuray via Pemancar
Begitu
sampai di Terminal Kampung Rambutan, kami langsung diserbu tawaran-tawaran para
pemburu penumpang. Jangan takut, insyaallah kalau kita menyebutkan kemana
tujuan kita pasti diarahkan ke bus yang bisa mengantar kita. Betul saja,
ternyata sudah semalam itu kehidupan terminal masih riuh. Bus tujuan Garut pun masih
banyak banget. Yap, untuk memulai perjalanan menuju Gunung Cikuray kita harus
menuju Terminal Guntur di Garut. Banyak pilihan bus yang bisa mengantar kita ke
kota yang punya sebutan Swiss van Java
itu. Tarifnya pun hanya berkisar 60 ribuan saja. Enaknya, bus yang kami
tumpangi tanpa harus menunggu penuh sudah langsung jalan. Mungkin karena sudah
ada pewaktuannya kali ya, jadi patokannya bukan penuh tidaknya penumpang.
Sekitar
lima jam perjalanan yang sepenuhnya kami isi dengan tidur, akhirnya kami sampai
di Terminal Guntur Kota Garut tepat sebelum adzan subuh berkumandang. Sekali
lagi kami beruntung karena begitu turun bus langsung mendapat tawaran mobil pick up menuju Pos Pemancar yang tak
lain adalah start pendakian Gunung
Cikuray. Tentunya bergabung dengan rombongan lain, soalnya kami hanya berempat
saja. Ada tiga rombongan dalam satu mobil itu yang tanpa sengaja atau hanya
kebetulan saja semuanya dari Bintaro. Haha kok bisa yaaa, padahal nggak
janjian.
Satu
jam perjalanan di atas mobil tanpa atap dari terminal menuju titik awal
pendakian di pagi hari yang dingin itu, kami sempat berhenti sejenak di salah satu
warung makan yang juga menjadi tempat istirahat para pendaki sebelum atau sesudah
mendaki Cikuray. Kami mengisi perut dan tak lupa membawa bekal beberapa bungkus
nasi dengan lauk khas Sunda untuk dimakan saat istirahat nanti.
Usai
sarapan kami lanjut lagi menuju Pos Pemancar yang sebenarnya merupakan tower
relay stasiun televisi. Keluar dari desa kami mulai menjumpai tanjakan-tanjakan
yang luar biasa curam. Tak lama kemudian kami sampai di satu pos perijinan
dimana kami harus menulis nama anggota dan mengisi kotak seikhlasnya. Kira-kira
10 menit kemudian sebelum memasuki kawasan perkebunan teh ada pos perijinan
lagi yang mewajibkan kami membayar Rp 10.000,- per orang. Kami lanjutkan lagi
naik mobil untuk menuju Pos Pemancar yang sudah nggak jauh lagi.
Beberapa
meter dari Pos Pemancar, kami semua turun karena dirasa mobil mengalami kesulitan
melewati tanjakan terakhir yang lumayan curam meski jalannya sudah beraspal. Belum-belum
udah harus jalan nanjak. Anggap saja pemanasan lah sebelum dihajar tanjakan
Cikuray yang sebenarnya.
Sampai
di Pos Pemancar kami repacking dan
istirahat sejenak disamping warung. Kami kira bakal ada basecamp atau sekedar bangunan tertutup yang bisa digunakan
beristirahat maupun bermalam kalau-kalau turun gunung kemalaman. Tapi ternyata yang ada
hanya warung dan pos beratap kayu semi permanen tanpa dinding. Semoga sebentar lagi
segera dibangun bangunan permanen yang bisa dimanfaatkan pendaki untuk
beristirahat.
Pos Pemancar – Pos 1
Cuaca
saat itu sangat mendukung banget. Langit membiru dan Cikuray pun nggak tertutup
kabut sama sekali. Kami pun memulai pendakian dengan berdoa terlebih dulu dan
toss ala-ala pencinta alam untuk menjadi penyemangat. Awal perjalanan kami
langsung disambut tanjakan tajam diantara kebun teh yang ada di samping
tower-tower. Cerahnya langit saat itu makin lama membuat matahari menyengat
dengan sangat teriknya. Apalagi baru awal-awal pendakian gitu, belum masuk
hutan jadi nggak ada peneduh sama sekali kecuali shelter di Pos 1.
repacking di bawah tower |
diantara kebun teh |
Hanya sekitar 5 menit berjalan dari pemancar kita sampai di Pos 1. Disitu banyak warung-warung berjajar, tapi buka hanya saat weekend saja. Dari sekian banyak warung, yang paling hits adalah Warung Cihuy. Disitu pun ternyata kita masih harus membayar biaya administrasi lagi. Kali ini Rp 15.000,- per orang. Bisa beberapa kali bayar gitu mungkin karena peruntukannya berbeda. Yang pertama mungkin administrasi untuk masuk wilayah perkebunan teh, yang kedua untuk pendakian. Gak tahu juga sih alasan tepatnya kenapa bisa dua kali bayar, di gunung-gunung lain biasanya sih sekali doang kan.
Pos 1 – Pos 2
Selepas
Pos 1 kita masih harus mengahdapi tanjankan tapi kali ini berupa tanah keras yang
dibuat menyerupai anak tangga. Suasana masih terbuka, jadi makin siang makin
terik saja matahari menerpa tubuh. Nggak heran bakal sering-sering minum. Perlu
diingat ya, di Cikuray jalur Pemancar ini nggak ada sumber air sama sekali jadi
harus pintar-pintar memanage air agar nggak kekurangan saat naik hingga turun
lagi. Paling nggak satu orang bawa dua botol besar dan satu botol kecil untuk
selama perjalanan.
Sekitar
20 menit berjalan kita akan mulai memasuki kawasan hutan. Alhamdulillah jadi
teduh namun jalur seketika berubah menjadi akar-akar yang menjulur tak
beraturan tapi nanjak masih tetep. Dari catper yang saya baca sebelumnya,
memang jalur yang kami lewati ini minus bonusan alias konsisten nanjak. Hanya
ada nanjak dan nanjak abisss.
Pos
2 letaknya agak cukup jauh dari Pos 1 hingga kami berjalan serasa nggak
nyampe-nyampe. Tanjakan demi tanjakan kami lewati. Trek didominasi dengan
akar-akar pohon yang memenuhi jalur pendakian. Sampailah kami di Pos 2. Terhitung dari Pos 1 kami sudah berjalan selama 1 jam.
Lanjut menuju Pos 3 tanjakan masih konsisten. Kami sampai di jalur yang cukup unik yaitu jalur menanjak yang untuk melewatinya kami harus berpegangan pada akar-akar yang memenuhi jalur tersebut. Selain itu kami juga menemui jalur dengan nama Tanjakan "Wakwaw" yang ngeri-ngeri sedap nanjaknya. Tapi karena namanya lucu jadinya kami ngelewatinya sambil ketawa-ketawa sampai-sampai capeknya pun terlupakan.
Lolos dari tanjakan itu kami kira sudah selesai, ternyata tanjakan lain masih mengintai untuk dilewati. Memang kami akui Cikuray sangat menghajar dengkul. Baru sampai Pos 3 kami sudah dibuat kewalahan. Saat itu kami sudah memperkirakan kalau tanjakan bakal gini-gini terus sampai puncak. Karenanya kami pun beristirahat dulu agak lama di Pos 3 sambil makan nasi yang telah dibungkus di warung tadi. Perut juga sudah keroncongan minta diisi. Hampir sama waktu untuk pos sebelumnya, menuju Pos 3 ini juga perlu satu jam perjalanan dari Pos 2.
Panas terik kini telah berganti langit teduh dengan sesekali angin yang lumayan menusuk tulang berhembus. Seperti perkiraan kami sebelumnya bahwa tanjakan Cikuray jalur Pemancar ini memang sangat konsisten. Sekitar satu jam berjalan dari Pos 3 akhirnya kami sampai di Pos 4. Waktu menunjukkan pukul 12.25 WIB, disitu kami menunaikan sholat sekaligus beristirahat sejenak. Jarak antar pos hingga sampai Pos 4 lumayan sama yaitu sama-sama hampir satu jam perjalanan.
Pos 2 – Pos 3
Lanjut menuju Pos 3 tanjakan masih konsisten. Kami sampai di jalur yang cukup unik yaitu jalur menanjak yang untuk melewatinya kami harus berpegangan pada akar-akar yang memenuhi jalur tersebut. Selain itu kami juga menemui jalur dengan nama Tanjakan "Wakwaw" yang ngeri-ngeri sedap nanjaknya. Tapi karena namanya lucu jadinya kami ngelewatinya sambil ketawa-ketawa sampai-sampai capeknya pun terlupakan.
Tanjakan Wak-waw |
Lolos dari tanjakan itu kami kira sudah selesai, ternyata tanjakan lain masih mengintai untuk dilewati. Memang kami akui Cikuray sangat menghajar dengkul. Baru sampai Pos 3 kami sudah dibuat kewalahan. Saat itu kami sudah memperkirakan kalau tanjakan bakal gini-gini terus sampai puncak. Karenanya kami pun beristirahat dulu agak lama di Pos 3 sambil makan nasi yang telah dibungkus di warung tadi. Perut juga sudah keroncongan minta diisi. Hampir sama waktu untuk pos sebelumnya, menuju Pos 3 ini juga perlu satu jam perjalanan dari Pos 2.
Pos 3 – Pos 4
Pos 4 – Pos 7
Setelah Pos 4 jarak antar pos sudah nggak saling berjauhan seperti pos-pos sebelumnya yang rata satu jam perjalanan normal. Menuju Pos 5 nggak sampai setengah jam dan begitu pula ke Pos 6 atau yang biasa disebut Puncak Bayangan. Pos 6 ini berupa tanah datar yang lumayan luas untuk beberapa tenda. Kalau pun sedang ramai-ramainya masih memungkinkan untuk membangun tenda di sekitaran tanah lapang itu. Pas kami sampai disitu kami hanya melihat sebuah warung tanpa penghuni. Mungkin kalau weekend saja baru buka. Bakal rame juga pasti pendaki-pendaki dari sekitar Garut maupun dari Jakarta yang mendaki Cikuray. Secara do'i termasuk gunung favorit yang lumayan mudah juga buat dijangkau dari segala penjuru. Kami sempat ngebayangin kalau warung itu buka pasti bakal beli teh anget dulu disitu, pasalnya udara juga mulai dingin banget.
Cukup istirahat di Pos 6 atau Puncak Bayangan kami lanjut menuju Pos 7 yang merupakan pos terakhir sebelum puncak. Trek menuju Pos 7 menjadi yang terberat dari sebelum-sebelumnya. Kita juga bakal ketemu dengan percabangan dengan jalur Kiara Janggot yang baru dibuka. Tanjakan yang menghajar dengkul bakal sangat kita rasakan disini selain karena tenaga sudah terkuras dengan tanjakan pemanasan di pos sebelumnya, kemiringan trek sebelum Pos 7 juga jempolan.
Pukul 15.00 WIB kami sampai di Pos 7. Kalau dihitung sejak kami mulai berjalan dari Pemancar berarti kira-kira perlu waktu 6,5 jam menuju Pos 7. Pos ini ternyata hanya muat satu tenda saja. Kebetulan pula belum ada yang nempatin. Kami segera mendirikan tenda, setelah itu kami menunggu saat sunset tiba karena kami juga berencana menikmati syahdunya matahari tenggelam di Puncak Cikuray. Jarak dari Pos 7 ke puncak hanya tinggal paling 15 menitan saja kok. Jarang banget naik gunung bisa summit dua kali dan dapat sunset sekaligus sunset.
Pas menuju puncak ternyata di atas Pos 7 masih ada tanah lapang yang bisa muat banyak tenda. Jadi nggak perlu khawatir kehabisan tempat. Di puncak juga bisa buat camp tapi khawatirnya ada badai atau petir yang membahayakan jadi kalau camp di puncaknya mungkin bisa menjadi opsi paling terakhir dari yang terakhir. Di Puncak Cikuray yang setinggi 2.821 mdpl tersebut terdapat satu bangunan yang entah fungsinya buat apa kenapa bisa di puncaknya banget gitu. Menurut saya pribadi sih kalau sekedar sebagai shelter seharusnya dibuat di bawah puncak. Kalau pun untuk sebagai penanda puncak tertinggi lebih baik hanya berbentuk tugu saja sih. Soalnya kalau ada bangunan di puncak serasa gimana gitu. Agak sedikit ngurangin kealamian gunung itu sendiri. Menurut kalian gimana?
warung di Pos 6 a.k.a Puncak Bayangan |
Pukul 15.00 WIB kami sampai di Pos 7. Kalau dihitung sejak kami mulai berjalan dari Pemancar berarti kira-kira perlu waktu 6,5 jam menuju Pos 7. Pos ini ternyata hanya muat satu tenda saja. Kebetulan pula belum ada yang nempatin. Kami segera mendirikan tenda, setelah itu kami menunggu saat sunset tiba karena kami juga berencana menikmati syahdunya matahari tenggelam di Puncak Cikuray. Jarak dari Pos 7 ke puncak hanya tinggal paling 15 menitan saja kok. Jarang banget naik gunung bisa summit dua kali dan dapat sunset sekaligus sunset.
Pas menuju puncak ternyata di atas Pos 7 masih ada tanah lapang yang bisa muat banyak tenda. Jadi nggak perlu khawatir kehabisan tempat. Di puncak juga bisa buat camp tapi khawatirnya ada badai atau petir yang membahayakan jadi kalau camp di puncaknya mungkin bisa menjadi opsi paling terakhir dari yang terakhir. Di Puncak Cikuray yang setinggi 2.821 mdpl tersebut terdapat satu bangunan yang entah fungsinya buat apa kenapa bisa di puncaknya banget gitu. Menurut saya pribadi sih kalau sekedar sebagai shelter seharusnya dibuat di bawah puncak. Kalau pun untuk sebagai penanda puncak tertinggi lebih baik hanya berbentuk tugu saja sih. Soalnya kalau ada bangunan di puncak serasa gimana gitu. Agak sedikit ngurangin kealamian gunung itu sendiri. Menurut kalian gimana?
Bangunan di Puncak |
jendela |
sunset |
lautan awan |
Papandayan view |
on the top |
salam dari Puncak Cikuray |
Waduh bagus bagus banget foto diatas awannya, jadi gak sabar mau main ke Cikuray akhir bulan ini. Jangan lupa buat mampir juga ke blog saya ya di : Pendakian ke Papandayan
BalasHapussaya juga rencana mau ke cikuray nih tgl 22 Desember, kali aja mau naik lagi om barengan hehe. start dari bandung. Mantep banget view nya jadi ga sabar pengen naik ke sana
BalasHapusKalau ke Cikuray enak nya 2 mlm dipuncak. Ajiibbbb
BalasHapusPendakian gunung Cikuray via pemancar terdapat sumber air ga om?
BalasHapusKalau mengenai jalur yang cocok untuk pemula, gunung cikuray via pemancar atau gunung cikuray via kiara jenggot ?
Tks
via pemancar harus sedia air dari bawah untuk stok naik sampe turun lagi bro...
Hapus