JEJAK-JEJAK SEJARAH DI KOTAGEDE



Beberapa orang tak jarang yang mendapatkan kesan mendalam di pandangan yang pertama, tak peduli entah dengan seseorang maupun pada suatu hal. Kali ini saya ingin berbagi mengenai kesan yang saya dapatkan saat pertama kali memandang eksotisme bangunan di Kotagede Jogjakarta.

Berawal dari ketidaksengajaan saya beberapa tahun silam yang berniat berangkat ke Kota Pelajar untuk mengikuti ujian masuk salah satu universitas terpopuler di kota tersebut. Saat itu saya yang masih buta akan Jogja memberanikan diri memacu sepeda motor ke kota itu tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang isi kota dan letak demi letaknya, bahkan posisi universitas yang ingin saya ikuti ujian masuknya pun tidak saya ketahui secara pasti. Hasilnya pun saat mencari kosan teman yang akan digunakan untuk bermalam sebelum ujian keesokan harinya yang katanya berada di Condong Catur tak saya temukan dengan mudah seperti yang saya perkirakan. Maklum lah, masih anak “rumahan” yang baru “keluar rumah”. Rencana awal memang seperti itu, tapi entah kenapa ketika sore menjelang waktu maghrib di hari itu, saya malah sampai di Kotagede. Tersasarlah saya di daerah pengrajin perak yang cukup tersohor tersebut. Dalam hati saya bertanya, “weh tempat apa ini???” rasanya saya berada di satu masa yang lain dimana disitu banyak bangunan-bangunan tua namun rupawan dan penuh nilai seni. Yaa, yang kala itu menarik pandangan saya adalah satu benteng yang terletak di pinggir jalan raya. Sungguh menarik, keindahan arsitektur dan nilai sejarahnya tentu sangat tak ternilai. Meski masih awam tentang hal yang begituan, namun entah kenapa dalam hati saya berniat untuk kembali ke daerah itu lagi suatu hari untuk menyusuri tiap lorongnya yang penuh bangunan tua nan eksotik itu. Untuk sementara kembali konsentrasikan untuk mencari kosan temen dulu dan ikut ujian masuk universitas.

Terwujudlah keinginan tersebut setelah kurang lebih 4 tahun berlalu sejak hari itu. Gagasannya berasal dari Angga yang juga memendam keinginan untuk menikmati eksotisme setiap sudut Kotagede, terlebih didukung dengan Uul yang saat itu tengah berada di Jogja. Sepertinya memang kami memiliki minat yang sama, mulai dari alam, wisata, sampai sejarah. Jadilah setelah beberapa hari berunding lewat dunia maya kami berdua pagi-pagi berangkat menuju Jogja. Kami menghampiri Uul dulu karena dialah yang menjadi penunjuk jalan, secara dia tuan rumahnya dan yang paling menguasai hafalan jalanan kota gudeg, Jogjakarta.

Setelah kami bertiga bertemu di satu sudut jalan kota, kami mengawali pagi itu dengan sarapan di warung soto yang lain dari pada yang lain. Warungnya tepat berada di depan kuburan yang  tak jauh dari tugu Jogja. Terlepas dari letaknya yang lumayan tak lazim itu, ternyata kursi yang dijejerkan di meja panjang sudah dipenuhi manusia-manusia yang memiliki satu misi yaitu mengisi perut yang lapar. Sempat terceletuk perkataan dalam obrolan kami di tengah santap pagi kala itu. “Gimana jadinya ya kalo tiba-tiba ada yang meninggal dan dikubur  bersamaan dengan sekumpulan orang-orang yang sedang meyantap soto???” Pasti semua terdiam dengan tatapan kosong memandang mangkuk penuh kuah itu dengan backsound suara krik krik bunyi jangkrik. Secara warung sotonya benar-benar berada di depan pintu gerbang makam persis coy. Hahaha lupakan !!!

Okelah… Beranjak dari warung soto unik itu, kami bertiga langsung menuju destinasi utama kami. Uul yang menguasai jalanan dan Angga yang sudah membuat oret-oretan urutan spot yang bakal dikunjungi, melaju di depan sedang saya tinggal mengikuti gerak-gerik mereka saja di belakangnya.

Tak semudah yang diperkirakan ternyata. Setelah menemukan daerah Kotagede, kami sempat berhenti beberapa kali untuk menanyakan kepada penduduk sekitar tentang lokasi tepatnya pusat Kotagede yang kami maksud. Akhirnya sampailah kami di kawasan ramai-ramai yang ternyata adalah pasar yang juga merupakan jalan masuk sebelum sampai di kompleks makam Raja-raja Mataram.



Kami masuk area parkir yang cukup tertata. Dari situ kami mulai melihat satu gapura unik yang ada di kejauhan yang tak lain adalah jalan masuk menuju Masjid Tua Kotagede dan kompleks makam. Tak menunggu lama, setelah motor terparkir kami pun masuk melalui gapura mirip candi itu. Begitu masuk kami langsung disambut satu bangunan yang ternyata adalah sebuah masjid tua dengan tugu menyerupai candi di depannya.

Gapura masuk ke kompleks Masjid Kotagede dan Makam Raja-raja

Karena belum waktu sholat, maka kami pun tidak masuk lebih dalam ke masjid tersebut. Lagian sedang ada satu acara yang diadakan satu kelompok mahasiswa dari satu universitas di Jogja, tepatnya jurusan sejarah kalau tidak salah nguping. Kami pun lanjut ke spot selanjutnya dengan memasuki area lain yang dibatasi dengan tembok batu-bata dan gapura sebagai jalan masuknya, disitulah kompleks makam Raja-raja Mataram. Tapi sayang seribu sayang, sepertinya kami salah memilih hari. Kami memang tak sampai kepikiran mengenai hari dan waktu dibukanya kompleks makam untuk pengunjung yang ingin berziarah. Dan hari itu, Hari Sabtu persisnya, ternyata bukan hari dibukanya kompleks makam untuk kegiatan ziarah. Tapi tak apalah, cukup tahu saja kalau kami datang diwaktu yang kurang tepat, bukan salah waktu sih.

Sejarah yang pernah terukir di Kotagede

Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah dengan Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu, menghadiahkan Hutan Mentaok yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Beliau beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke hutan tersebut yang sejatinya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu.

Desa kecil tersebut seiring berjalannya waktu mulai berkembang dan makin ramai. Setelah Ki Gede Pemanahan wafat maka putranya lah yang bernama Senapati Ing Ngalaga yang menggantikannya. Di bawah kepemimpinannya, desa itu tumbuh semakin makmur dan dipadati penduduk, hingga disebut Kotagede. Selain itu Senapati juga membangun benteng-benteng dan parit yang mengelilingi wilayah tersebut.

Di lain sisi, Kesultanan Pajang sedang terjadi perebutan tahta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putranya yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pageran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tak adil. Arya Pangiri berhasil ditakhlukan dan sang Pangeran menawarkan tahta kepada Senapati, namun sayang dotolaknya dengan halus.

Setahun berlalu, wafatlah Pangeran Benawa. Sebelum meninggal, beliau sempat berpesan agar Kerajaan Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itulah Senapati Ing Ngalaga menjadi raja pertama Mataram Islam dengan gelar Panembahan. Beliau tidak menggunakan gelar Sultan karena untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Pusat pemerintahannya tak lain berada di Kotagede yang sekarang menjadi daerah pusat pengrajin perak yang cukup termasyhur.

Panemabahan Senapati kemudian mengadakan ekspansi wilayah kerajaannya hingga Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Beliau wafat pada Hari Jumat Kliwon Asyura tahun 1601 dan dimakamkan di kompleks pemakaman Raja-raja Mataram Kotagede berdekatan dengan makam sang ayah.

Kerajaan Mataram Islam kemudian berhasil menguasai hampir seluruh Pulau Jawa kecuali Banten dan Batavia. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaan saat berada di bawah kepemimpinan raja ketiganya, Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati).

Tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kejayaan ke Karta yang berlokasi di dekat daerah Plered, Bantul. Mulai saat itu lah era kejayaan Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram islam berakhir.

Meski sudah tidak menjadi pusat kerajaan namun daerah tersebut tidak menyurut keramaiannya hingga saat ini. Selain itu, Kotagede menyimpan beberapa peninggalan sejarah berupa bangunan-bangunan unik yang berarsitektur kuno namun eksotis yang masih dipertahankan keasliannya, berupa rumah-rumah tradisional, masjid tua Kotagede yang merupakan masjid tertua di Jogja, beberapa sendhang atau mata air, benteng-benteng kokoh yang masih berdiri, Pasar Kotagede dan masih banyak lagi tentunya.


Kita bahas satu persatu yaa…


  • Pasar Kotagede
Kerajaan-kerajaan di Jawa memiliki satu aturan sendiri mengenai tata perkotaannya dengan menempatkan Kraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai tempat berkumpul dan bertemuanya para pesohor dengan masyarakatnya, serta pasar yang menjadi tempat perputaran ekonomi dengan lajur dari selatan ke utara. Pola ini sudah digunakan sejak masa Kerajaan Majapahit sekitaran abad ke-14 yang bisa diketahui dari Kitab Negarakertagama.

Pasar Kotagede yang sudah ada sejak pemerintahan Panembahan Senopati masih aktif hingga sekarang, lebih tepatnya pada hari pasaran Legi dalam penanggalan Jawa. Para pedagang dan pembeli bakal tumpah ruah disitu sampai melebar ke jalanan.

Pasar Kotagede yang sekarang mungkin merupakan penerusan dari pasar zaman Mataram. Namun pasar yang ada sekarang ini menurut beberapa sumber dibangun pada zaman Belanda di tahun 1930. Pasar tersebut bisa digunakan sebagai pintu masuk atau awal perjalanan menyusuri bekas sejarah Kerajaan Mataran Islam. Seperti yang kami lakukan beberapa waktu lalu yaitu dengan masuk melalui jalanan pasar hingga menemukan Kompleks Makam Raja-raja Mataram.

  • Masjid Kotagede

Masjid Kotagede yang sedang digunakan untuk pertemuan mahasiswa sejarah

Sebelum sampai di gapura masuk menuju bangunan kompleks makam, kita akan menemukan terlebih dulu bangunan Masjid Kotagede yang merupakan masjid tertua di Jogja. Di sebelah masjid terdapat gapura lain yang mengarahkan kita menuju lorong-lorong di tengah bangunan rumah-rumah tradisonal yang unik dan berpenghuni. Kita bisa mencoba menyusuri lorong di sela rumah-rumah itu untuk lebih bisa merasakan atmosfir kehidupan masyarakat yang tengah beraktifitas. 

  • Makam Raja-raja Mataram


Setelah melewati Pasar Kotagede, sekitaran 100 m kita akan menemukan pintu masuk menuju kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam. Di depan sudah menyambut dua pohon beringin tua di sekitaran area parkir kendaraan yang konon ditanam oleh Sunan Kalijaga.  Lebih masuk lagi kaita kaan menemukan gapura paduraksa mirip Candi Hindu yang mengarahkan kita menuju Masjid Kotagede dan kompleks makam.


di dalam gapura itulah makam Raja-raja Mataram

Tapi apa daya, seperti yang saya katakan tadi bahwa kami datang di waktu yang kurang tepat. Saat itu bukan merupakan waktu dibukanya kompleks makam untuk ziarah. Kami hanya bisa memandang tembok tinggi saja yang mengelilinginya. Kalau datang di saat dibukanya kompleks makam, kita bisa masuk untuk berziarah tapi sebelumnya kita harus mengenakan busana adat Jawa berupa kemben dan kain jarik batik untuk wanita dan beskap untuk laki-laki yang bisa disewa di sana dengan harga Rp 15.000,- jika belum berubah.


peraturan bagi peziarah

Waktu diperbolehkannya ziarah adalah Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 10.00 - 13.00 terkecuali pada Hari Jumat pada pukul 13.00 - 16.00. Khusus pada Bulan Ramadhan kompleks makam ditutup. Selain itu yang tak kalah penting adalah tidak boleh mengambil gambar atau membawa kamera serta mengenakan perhiasan emas saat masuk ke area makam.

  • Sendhang Seliran
penunjuk menuju Sendhang Seliran

gapura menuju dua sendhang

Menyadari kami datang di hari tidak dibukanya makam untuk ziarah, kami lanjutkan saja penelusuran sejarah Kotagede dengan mampir ke Sendhang Seliran yang letaknya yak jauh dari pagar tembok kompleks makam. Sendhang tersebut ada dua yang terpisah antara diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan. Kami bertiga masuk ke area kedua sendhang tersebut dan menengok ke arah sumber mata air ternyata kedua sendhang sama-sama dihuni oleh ikan-ikan yang hidup bebas hingga ada yang ukurannya cukup gede.

sendhang untuk laki-laki

pemandian yang ternaungi

udah mandi belom?

yang nongol ikan kecil, ada juga lele raksasa bersemayam disitu lho...

wew, gak salah tempat kamu Ul ???

Waktu itu Islam masuk ke dalam Kerajaan Mataram sangat sarat dengan ajaran. Sunan Kalijaga memberikan pelajaran pada pengikutnya bahwa air harus suci. Kala itu, sebelum ada tempat untuk berwudhu, masyarakat selalu membersihkan kakinya di depan pintu masuk masjid.

Berlaku pula dalam ritual menguras sendang yang merupakan tempat kegiatan manusia membersihkan diri. Ada satu kegiatan rutin di sendhang di dekat Makam Raja tersebut yaitu "Nawu Sendang Seliran" yang berlangsung pada bulan Jumadil Akhir dalam penanggalan Islam. Kegiatan tersebut dipusatkan di dua sendang yaitu Sendang Seliran Kakung dan Sendang Seliran Putri. Prosesi dimulai dengan penyerahan siwur atau gayung pada petugas penguras sendang. Saat abdi dalem menguras sendang inilah, di halaman masjid diselenggarakan acara rayahan atau berebut makanan atau jajan pasar yang menghiasi ambengan. Masyarakat percaya jika berhasil mendapatkannya, niscaya berkah akan didapatkan pula. Pada malam harinya diadakan pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk, yang merupakan acara penutup sekaliguas sebagai acara ruwatanyang dimaksudkan agar warga mendapatkan keselamatan, terbebas dari segala macam rintangan, nasib jelek, dan dapat mencapai kehidupan yang ayom ayem tentrem (aman, bahagia, damai di hati). 


--**--

Puas mengelilingi Kotagede hingga menyusuri lorong-lorong sempit yang sarat keindahan arsitektur Jawa Kuno dengan berjalan kaki di tengah terik panas hingga berganti mendung bergelayut di langit, membuat kami bertiga agak sedikit letih serasa ingin menyegarkan badan. Menurut info yang didapat kabarnya ada satu warung yang konon termasuk warung es yang paling tua di Jogja, letaknya masih di Kotagede juga. Kami sebenarnya sudah merencanakan pula untuk mampir ke warung yang bernama "Sido Semi" itu namun belum tahu lokasi keberadaannya. Tak disangka tak dinyana setelah kami berjalan keletihan dan sempat duduk-duduk di salah satu toko ternyata di sebelahnya berdiri rumah dengan bertuliskan Warung Ys SIDO SEMI. 




Yap itulah yang kami cari, tapi sekali lagi pintunya tertutup rapat. Perih memang... hiks... Ditengah rasa sesal itu kami membaca selembar kertas yang tertempel di daun pintunya. Bertuliskan Yen Seloso' Tutup. Hmmm, sepertinya kata-kata yang tertulis itu sangat ambigu ya. Dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan "Kalau Selasa Tutup" tapi bisa bermakna lain lagi melihat warna huruf ada yang dibedakan dan adanya tanda petik satu di belakang huruf O yang bisa berarti lain menjadi "Kalau Senggang Kadang Tutup" dan kami pun terbingungkan dengan hal itu. Kami datang pada Hari Sabtu, berarti makna pertama gugur. Berarti yang berlaku adalah makna kedua. Hhhh, yasudah kami lanjutkan perjalanan saja menuju...???

Tunggu kelanjutannya yak... masih to be continued alias bersambung kayak sinetron Tersanjung... hehe

Gallery Keeksotisan Sudut Kotagede




























Komentar

  1. Gaweyanmu kok jalan" terus to lee. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena jalan-jalan bikin hati senang mas Bobs...

      Hapus
  2. mantap yanta, berasa belajar sejarah aku pas mbaca. saran dong sarang, kasih page break di blogmu, jadi biar loadingnya ndak lama. -__-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejarah kalau cuman di kelas terasa monoton, kalo saja pelajaran sejarah lgsg ke TKP asik kali ya...

      Maklum Ngga, post baru sering kelupaan...

      Hapus
  3. masih di kpp salatiga?

    BalasHapus
  4. kemarin sempet berkunjung ke Kasunanan Solo, Pura Mangkunegaran n Keraton Ngayogyakarto. Pengen ke Pura Pakualaman ngga sempet. Moga moga nti dapet kesempatan main ke Kota Gede buat nyusurin sejarah Mataram :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. amin mas, Di Kotagede suasana kerajaannya kental banget

      Hapus

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!