MENITI RATUSAN ANAK TANGGA DI MAKAM PAJIMATAN IMOGIRI



Perjalanan saat itu tak berhenti usai menikmati eloknya bangunan peninggalan masa lampau di Kotagede. Setelahnya kami berencena mengunjungi Istana Pakualaman sekaligus berwisata kuliner di warung tenda di sekitar situ. Tapi entah bagaimana ceritanya saya yang hanya mengekor di belakang menuruti panduan Uul dan Angga yang memacu motor di depan seolah berpindah haluan menuju Makam Raja Mataram, namun bedanya sekarang yang ada di Imogiri. Pikir saya apa mereka membatalkan rencana yang tadi kami bicarakan biar sekaligus tema perjalanan hari itu adalah trip ziarah ke makam Raja-raja Mataram. Akan tetapi sebenarnya hal itu berawal dari saya yang sok tahu memilih jalan saat keluar Kompleks Makam Kotagede. Awalnya sih saya keluar kompleks makam tersebut duluan dan dua teman saya di belakang. Jalannya kan sama saja, lewat pasar lalu ketemu jalan raya yang tadi kami lewati. Eh, ternyata saya salah pilih jalan. Lebih uniknya lagi dua teman saya yang ada di belakang juga diam saja seolah tak ada yang salah dari jalan yang dipilih itu. Dari situlah perjalanan malah mengarah ke Imogiri. Tak ada salahnya lah jika sekalian mengunjungi kerabat Raja-raja yang dimakamkan di Kotagede tadi. Jadilah kami meluncur menuju kompleks makam yang berada di salah satu dataran tinggi di deretan Pegunungan Seribu. Jaraknya, hmm cukup lumayan agak jauh sedikit lah.

Makam Imogiri tak lain adalah kompleks makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya yang berada di Ginirejo, Imogiri Kabupaten Bantul. Makam ini didirikan antara tahun 1632 – 1640 M oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, Sultan Mataram ke-3 yang masih keturunan dari Panembahan Senopati, Raja Mataram pertama.



Setelah Mataram terpecah menjadi 2 bagian melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755, yaitu Kasunanan Pakubuwono di Surakarta dan Kasultanan Hamengkubuwono di Yogyakarta, maka tata letak pemakaman dibagi 2. Bagian sisi timur diperuntukan bagi raja-raja dari Kasultanan Yogyakarta dan sebelah barat untuk pemakaman raja-raja dari Kasunanan Surakarta. Proses pembangunan makam Pajimatan Imogiri diperkirakan berlangsung selama 13 tahun, yang dimulai pada tahun 1632. Pada tahun 1645 makam ini digunakan untuk memakamkan raja besar Mataram, Raja Mataram yang pertama dimakamkan di Imogiri yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau sendiri lah yang sebenarnya sudah memutuskan bahwa Imogiri menjadi makamnya suatu saat nanti setelah beliau wafat.


Konon kabarnya mengenai pembangunan kompleks Makam Pajimatan Imogiri bahwa pada suatu ketika Sultan Agung bersembahyang di Mekah. Di sana ia berkata kepada seorang ulama bahwa ia ingin dimakamkan di Mekah. Permintaan itu ditolak ulama tersebut dengan halus. Beliau disarankan untuk tetap dimakamkan di Jawa (Mataram) karena ia adalah panutan atau pimpinan masyarakat Jawa (Mataram). Akan tetapi Sultan Agung tetap bersikeras untuk dapat dimakamkan di Mekah. Lantas karena sang Sultan tetap dalam pendiriannya maka ulama itu meraup tanah dan melemparkannya hingga jatuh di Tanah Jawa. Tanah dari Mekah itu jatuh di sebuah bukit di Giriloyo yang tempatnya berada di sisi timur laut dari kompleks Pajimatan Imogiri yang sekarang. Berdasarkan jatuhnya tanah dari Mekah itu, maka Sultan Agung berusaha mulai membangun kawasan Pegunungan Giriloyo untuk menjadi area pemakaman.

Raja-raja Mataram yang dimakamkan di tempat itu antara lain : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral, Amangkurat Mas, Paku Buwana I, Amangkurat Jawi, Paku Buwana II s/d Paku Buwana XI. Sedangkan dari Kasultanan Yogyakarta antara lain : Hamengku Buwana I s/d Hamengku Buwana IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Astana Kotagede.

__**__

Sesampainya di gerbang masuk Kompleks Makam Pajimatan Imogiri kami langsung menuju satu rumah yang dijadikan tempat parkir yang ternaungi. Sesudahnya kami langsung saja dihadapkan pada ratusan anak tangga yang entah jumlahnya berapa. Tak begitu menanjak sih tapi entah kenapa nafas cukup tersengal. Sampai di atas ternyata kami hanya baru sampai di permulaan titian anak tangga. Kami baru sampai di pelataran dengan satu pendopo tanpa atap yang ada di depan satu masjid kuno yang konon sebagai tempat menyolatkan jenazah raja-raja yang akan dimakamkan di atas. Masjid tersebut dikenal sebagai Masjid Kagungan Dalem Pajimatan Imogiri.

ini dia masjidnya

Sesaat setelah sampai di pelataran dan duduk sejenak di pendopo, kami lalu dihampiri seorang abdi dalem berapakaian khas Jawa yang menjaga disana. Kami saling bertegur sapa dan bercakap sejenak. Beliau tak lupa mempersilahkan kami untuk menunaikan sholat Dhuhur dulu karena jam sudah menunjukkan pukul 1 siang lebih. Bapak itu seolah tahu kalau kami belum sholat.





Usai sholat kami bersiap untuk memulai pendakian yang sebenarnya. Bukan gunung yang akan kami daki, tapi rentetetan anak tangga menanjak tajam yang kata bapak penjaga total anak tangga tersebut berjumlah 409 buah sampai pintu masuk makam Sultan Agung. Wow, saya pun berniat menghitungnya secara manual satu langkah demi langkah. Saya pun melaju duluan ke atas meninggalkan dua orang teman di belakang. 10, 20, 30, hingga di hitungan 380-an saya berhasil menghitungnya tanpa hambatan. Karena cukup menguras tenaga saya berhenti dulu sejenak sekaligus karena saya berpapasan dengan dua orang ibu-ibu penjual minuman di sisi anak tangga. Tapi entah kenapa setelah ngobrol sama ibu-ibu tadi saya jadi lupa sudah sampai berapa anak tangga yang sudah saya hitung. Yahh, gagal ngitung deh... hahaha T.T






Di satu ujung anak tangga saya menemukan tiga percabangan anak tangga yang ternyata mengarahkan pengunjung ke makam raja-raja mataram yang terbagi dua antara Jogja dan Solo. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya duduk-duduk dulu menunggu Angga dan Uul yang belum tiba. Seorang ibu tua yang lain pun menghampiri saya dengan menawarkan 3 buku yang berisi skema tata letak makam dan juga sejarah singkat mengenai raja-raja yang dimakamkan di Kotagede dan Imogiri. Biar lebih afdol sekalian buat kenang-kenangan akhirnya saya belilah buku tersebut. Isinya menarik sih, ada tentang sejarah dan silsilah raja-raja Mataram.





Kami lanjut setelah kami semua lengkap sampai atas. Kami beranjak ke sisi kanan dulu melihat kompleks makam raja-raja dari Kasultanan Jogja. Yah, entah kenapa kami hari itu dihadapkan pada pintu-pintu yang tertutup. Nggak di Kotagede, warung Sido Semi, hingga Kompleks Makam Raja-raja di Imogiri. Memang kami datang bukan di saat yang tepat. 

Waktu berziarah Makam Pajimatan Imogiri sudah ditetapkan yaitu pada hari:

1.     Senin     pukul 10.00-13.00
2.     Jumat     pukul 13.30-16.00
3.     1 Syawal  pukul 10.30-13.00
4.     8 Syawal  pukul 10.30-13.00, dan
Khusus Bulan Ramadhan ditutup satu bulan penuh.

Mengenai aturan mulai pakaian sampai pantangan bagi peziarah sama seperti aturan berziarah di Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Kotagede.

By the way, katanya sih di salah satu tangga ke makam ada sebuah nisan yang sengaja dijadikan tangga agar selalu diinjak oleh para peziarah, nisan itu tak lain kabarnya adalah makam Tumenggung Endranata karena dianggap mengkhianati Mataram. Cerita lain menyebutkan bahwa yang dikubur di tangga itu adalah Gubernur Jenderal Belanda, JP Coen. Akan tetapi kami tak tersadar ada begituan. Kami tinggal naik saja, entah kami juga menginjaknya atau tidak kami tak tahu. Saking konsentrasi menghitung sekaligus kelelahan menaiki anak tangga kali ya, sampai ga tahu ada nisan di tengah jalan.

Selain makam-makam yang terletak di dalam pagar tembok, ada pula makam-makam lain yang terdapat diluar tembok makam Pajimatan Imogiri. Makam-makam tersebut merupakan makam-makam umum dari warga sekitar dan ada pula beberapa makam lain yang merupakan makam tokoh yang cukup penting sehubungan dengan sejarah Mataram.
 

Konstruksi bangunan Makam Imogiri terbuat dari batu bata. Ada satu bagian yang kami lihat menyerupai arsitektur Tamansari namun karena terpagari tembok tinggi nan tebal terlebih lagi tergembok pintunya jadi kami hanya bisa melihat bagian atasnya saja yang tampak dari sisi luar pagar tembok.








Meski di trip hari itu kami dihadapkan pada pintu-pintu yang tertutup rapat di setiap destinasi yang kami datangi, namun paling tidak kami sudah merasakan atmosfirnya bagaimana "merindingnya" bisa sedikit lebih dekat dengan para petinggi Kerajaan Mataram Islam yang bersemayam di Kotagede dan Imogiri. Kini kami akan pulang dengan membawa cerita. Ngomong-ngomong tadi kan belum sempet wisata kuliner tuh, nah pas jalan pulang kami sempatkan buat mampir ke warung sate yang katanya khasnya daerah situ. Sate kambing tepatnya, tapi bedanya tusukan satenya pakai jeruji sepeda bro. Uul pastinya yang mengajak karena dia yang lebih paham Jogja. Katanya sate itu sering disebutnya "Sate Klathak". Penasaran juga jadinya, kami langsung menuju warungnya yang masih ada di Jalan Raya Imogiri. Rasanya??? rasain sendiri deh. Saya no commen... nih tampilannya...

Sate Klathak, mak nyuwozzz....



Komentar

  1. Balasan
    1. Boleh juga mas... Sekalian mendalami sejarah

      Hapus
  2. Makasiiih.... Bagus banget alur critanya.. Mampir ke rumahku yaa
    Salam dari penjelajah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama mas. Makasih jg udah mampir di blog sy.
      Rumahnya dmn emang...

      Hapus

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!