Insiden Saat Turun Gunung Lawu



Kami berdua memutuskan untuk turun gunung setelah berhasil mengisi perut dengan sarapan yang teramat spesial yaitu soto ayam Mbok Yem yang sudah melegenda. Sebenarnya saya dan Bandon masih penasaran dengan spot-spot sakral yang ada di Gunung Lawu, namun karena ketidak tahuan kami sekaligus tak ada narasumber yang bisa memberi informasi yang akurat yasudah kami putuskan untuk menuntaskan misi tersebut di kemudian hari sekaligus mencoba jalur pendakian Lawu via candi Cetho yang katanya lumayan ajib pemandangannya.

Oiya cerita pendakian malam hari sebelumnya ada di sini nih (klik

Setelah perut terisi kami keluar dari pondokan pendaki Warung Mbok Yem, kami mulai turun gunung. Sempat berhenti sejenak di hamparan sabana yang tengah mengering di bawah Hargo Dumilah. Terlihat sangat menakjubkan, ada yang bilang saat saya meng-up load fotonya di instagram dikatakan sangat mirip dengan sabananya Rinjani.

Sabana mengering eksotis

Bandon di tengah rerimbunan rumput kering sabana

Lanjut jalan lagi kami sampai di keramaian Sendhang Drajad yang belum berkurang sedari pagi tadi saat kami melintasinya. Masih ada saja yang menunggu dengan sabar tetes demi tetes air yang keluar dari sendhang yang kala itu masih enggan mengeluarkan airnya, efek kemarau kemarin mungkin.


Berjalan langkah demi langkah lagi, kami sampai di Pos 5 yang mulai ditinggalkan oleh para pendaki. Tenda-tenda pun sudah mulai sepi karena memang panas matahari sudah sangat membara. Bandon yang kepingin foto-foto di puncak bukit kecil di dekat Pos 5 pun saya tunggui dulu, lama kelamaan saya kepengen juga foto disitu. Ternyata keren juga view-nya.

Pos 5

Bukit kecil dekat Pos 5

Bandon di puncak bukit

Mulai banyak pendaki yang mulai turun. Tak jarang kejadian ngantre terulang lagi, harus sabar dan jangan terburu-buru karena jika saling senggol kalau kebablasan bisa fatal juga akibatnya, di satu sisinya jurang dalem menn.

Singkat cerita Pos 4 sudah terlewati dengan sempurna. Nah, di tengah perjalanan kami menuju Pos 3, mulai lah terjadi satu kejadian yang membuat saya kebingungan setengah mati, hal aneh dengan tanda tanya besar. Sebenarnya sedari awal hingga sampai di warung Mbok Yem kami mendaki sering berjalan berdampingan dan tak jarang juga jarak antara kami terpisah sedikit agak jauh, namun tak sampai seperti kejadian yang kami alami di perjalanan turun setelah Pos 4 terlewati tersebut.

Awalnya saya berniat rehat sejenak di bawah pohon yang lumayan rimbun dan menyuruh Bandon jalan duluan. Tak tahu berapa lama saya rebahan di bawah pohon tersebut seorang diri tapi sekiranya tak sampai tertidur lah yaa. Setelah itu saya susul bandon yang sudah berjalan duluan di depan. Saya pun agak mempercepat langkah dengan diselingi berlari kecil untuk mengejar ketertinggalan. Sedari naik sudah berjalan bareng dan setidaknya speed jalan Bandon sudah saya hafalkan. Dengan saya agak berlari tersebut saya harapkan bisa saya susul. Ternyata apa yang saya harapkan tak terwujud begitu saja. Dalam hati saya berkata, “kok tumben cepet banget tu anak jalannya…” seperti yang saya bilang tadi kalau speed Bandon sudah saya pahami dan dengan kecepatan langkah saya yang sudah saya tingkatkan beberapa kali lipat saya perkirakan bisa tersusul, tapi ternyata kok Bandon nggak keliatan juga batang hidungnya. Pos 3 saya lewati saja karena disitu tak saya temukan Bandon, pikir saya “Wah tega banget tu anak ninggalin saya begitu saja, kebelet kali ya pengen cepet-cepet sampe basecamp…”


Saya percepat langkah lagi siapa tahu dia di Pos 2 nunggunya. Oke lanjut berjalan ke Pos 2 dan sesampainya disana dengan terengah-engah saya mencari Bandon lagi dan hasilnya tak saya temukan Bandon di pos tersebut. Walah sumpah, cepet banget jalannya, apa jangan-jangan pake lari turunnya. Tapi kan nggak mungkin mengingat jalur pendakian berbatu terjal kaya gitu bisa lari. Oke oke, mungkin sudah sampai di Pos 1. Lanjut lagi berjalan ke Pos 1.

Lha, mulai disitulah pikiran negatif diselingi sedikit pikiran positif mulai berhamburan di dalam otak. Hingga puncak kepanikan saya terjadi sesaat setelah sampai di Pos 1. Saat duduk-duduk di dekat warung saya mendengar percakapan seorang pendaki yang baru turun dengan temannya yang sudah sampai Pos 1 duluan.

“Eh di atas tadi ada yang sakit ya”

“Di Pos dua kan…”

“He’em, sakit apa sih emang ?”

“Sakit gatel kali, minta digaruk Tim SAR”

“HAHAHA”

Sambil bercanda sih emang mereka ngobrolnya, tapi candaan mereka tersebut merupakan satu hal yang serius bagi saya. Awalnya saya kira Bandon yang berjalan di depan saya namun mulai dari kecepatan jalan saya yang sudah dipercepat, saya mulai yakin kalau Bandon masih ada di belakang.

Percakapan dua pendaki tersebut mengingatkan saya pada Bandon yang saya tahu memang punya riwayat sakit tipes sedari kami berteman saat di bangku kuliah dua tahun lampau. Pikiran negatif mulai menghampiri, dalam hati berkecamuk firasat-firasat yang mengatakan kalau pendaki yang sakit di Pos 2 tersebut adalah Bandon. Namun ada selingan fikiran positif pula yang mengatakan kalau yang sakit itu bukan dia. Sempet juga terbesit asa untuk balik ke atas lagi untuk memastikan kebenaran siapa pendaki yang sakit itu. Jika temen-temen pernah mendaki Lawu, tentunya tahu kan jarak antara Pos 1 dan 2 jalur Cemoro Sewu. Super jauh brooo. Namun saya mencoba berpikir jika saya balik ke Pos 2 apa bisa memperbaiki keadaan, toh juga banyak pendaki lain disana yang mungkin sudah menangani Bandon. Dari pada menghabiskan tenaga untuk balik ke atas tanpa hasil yang belum pasti saya pun memilih menenangkan diri, tapi tetap saja nggak bisa. Ntar kalau saya pulang tanpa Bandon apa yang saya bilang sama bapaknya coba. Ntar kalau pulang nggak sama Bandon apa yang temen-temen bilang yang tentang loyalitas dan tanggung jawabku sudah ngajak Bandon naik gunung. Ntar kalau, ntar kalau, dan ntar kalau pulang nggak sama Bandon gimana ya… Aaaaaarrrgggghhhhh...

Saat itu kegelisahan mulai memenuhi diri ini. Saya pun mencoba menenangkan diri di tengah kecamuk pikiran nggak karuan tersebut. Apalagi semua logistik juga dibawa Bandon dan kami mulai terpisah sedari Pos 4 alhasil mulai dari situ tak ada satupun makanan dan menuman yang bergulir di kerongkongan saya. Saya pun memesan teh di warung Pos 1, siapa tahu dengan minum bisa sedikit membuat tenang dan berfikir lebih jernih. Sayang sekali di tengah haus yang melanda, teh yang saya dapatkan bukan es teh yang segar tapi teh yang super panas seperti baru keluar dari tungku. Waduh, apa boleh buat. Itu merupakan minuman panas yang pernah saya minum dalam keadaan yang terpanas pula karena memang haus yang sudah tak tertahan. Saat menikmati minuman tersebut, tim SAR dengan sepeda motor trailnya mulai berdatangan dan berkoordinasi dengan rekan-rekannya melalui HT. Memang saat momen satu Suro tersebut pengamanan keselamatan lebih diperketat dengan adanya Tim SAR yang selalu standby dan juga Posko PMI yang berjaga di basecamp.

Segelas teh panas sudah ludes, saya mulai bisa berpikir. Ckckck, kenapa aku gak tanya yang sakit cowok apa cewek ya. Saya pun menghampiri pendaki yang baru tiba di Pos 1. “Mas yang sakit di atas cowok apa cewek ya?” mas itu menjawab “Cewek mas…” Ya Allah terimakasih, alhamdulillah bukan Bandon. Bisa sedikit tenang. Lhah terus Bandon kemana coba, saya hitung-hitung saya sudah satu jam di Pos 1 dalam keadaan yang nggak karuan dengan pikiran berkecamuk. Pikiran yang lebih kotor lagi mulai datang, kalau yang sakit cewek terus Bandon? Jangan-jangan jatuh ke jurang, jangan-jangan kesasar, jangan-jangan…

Mencoba berpikir positif, saya berkesimpulan kalau Bandon sudah berjalan di depan dan mungkin sudah sampai di basecamp mengingat waktu kami terlampau satu jam. Tidak mungkin kalau dia berjalan duluan sejak saya istirahat sebentar di bawah pohon tadi dan saya susul dengan berlari bisa tertinggal di belakang. Saya pun juga tak berpapasan dengannya sedari melintasi jalur pendakian tadi.

FIX, saya turun dengan harapan Bandon sudah sampai di bawah. Turun ke basecamp dengan langkah yang cukup cepat akhirnya saya sampai di gerbang pendakian Cemoro Sewu. Mulai lah saya mencari sesosok Bandon di sekitaran basecamp. Ah, nggak ketemu juga. Oh ya, mungkin dia menunggu di parkiran. Saya pun berjalan ke parkiran tempat motor kami terparkir semalam. Dannn, hasilnya nihil. Tak ada Bandon disitu. Ya Allah, apa benar Bandon masih di atas. Saya mulai benar-benar lemes plus haus. HP saya aktifkan dan ternyata ada beberapa SMS masuk dan salah satunya dari Bandon. Di SMS itu dia mengatakan kalau dia masih di Pos dua dan menanyakan saya ada dimana. Saya balas SMS itu namun tak ada jawaban. Saya mulai tenang namun masih belum sepenuhnya tenang. Intinya dia masih selamat dan mungkin baru OTW turun. Saya tunggu saja di warung kali ya, siapa tahu ntar papasan. Kalau sampai magrib belum juga ketemu baru saya lapor ke Tim SAR saja.

Oh my to the God, OH MY GOD… Saat sampai warung yang niatnya mau beli es jeruk, eh kok disitu ada Bandon sudah duduk di meja dengan sepiring pecel yang baru dihantarkan mbak-mbak. Saya pun duduk untuk mengintrogasinya. “Hey, kamu tu tadi kemana wae”. Bikin panik setengah mampus aja. Ternyata kenapa coba, apa yang saya pikirkan mengenai pendaki yang sakit di pendakian ternyata dipikirkannya juga. Bandon juga sempat mengira kalau saat turun tadi ada tandu yang dibawa oleh Tim SAR adalah saya, dan dia juga menunggu agak lama di Pos 2 untuk memastikan kebenaran. Hmm… Yasudah lah apa yang terjadi biarlah terjadi. Gak usah dipermasalahkan panjang-panjang. Sing penting udah ketemu, jadi kan saya ayem bisa mengembalikan Bandon ke pangkuan orang tuanya.


Bagi teman-teman yang mengalami hal yang serupa namun tak sama dengan yang saya alami, hikmah yang bisa petik yang bisa menjadi tips-tips mendaki adalah TENANG dan BERPIKIR POSITIF. Jika terjadi seperti itu atau pun tersesat atau apalah itu, kuncinya adalah STOP (sit, think, observe, and pray). Intinya kita harus duduk dulu untuk menenangkan diri, lalu berpikir untuk mengatasi masalah tersebut dan yang lebih penting tentunya berpikir yang positif saja, kemudian mengamati kondisi dan keadaan sekitar siapa tahu bisa menemukan petunjuk atau clue yang bisa memberi pencerahan, dan yang terakhir adalah berdoa karena segala sesuatau ada di tangan-Nya.

*-*
Setelah makan kami sholat Dhuhur di masjid depan basecamp lalu kembali ke rencana awal kami yang setelah turun Gunung Lawu kemudian ke Candi Sukuh yang terkenal keerotisannya. Cerita ke Candi Sukuh ada disini. Saat di candi tersebut lah kami baru menyadari kalau ada salah satu pantangan yang dilanggar. Saat di candi, kami sempat ngobrol banyak dengan juru kunci candi dan salah satu warga mengenai sejarah Gunung Lawu sampai segala hal yang berkaitan dengan Lawu. Hingga di satu percakapan kami membahas tentang pantangan dalam pendakian Gunung Lawu yang melarang pendaki untuk memakai pakaian berwarna hijau. Terus pak tua juru kunci pun melirik celana saya yang berwarna hijau army dan seketika berkata “Asline celanane niku nggih mboten pareng mas” dalam Bahasa Indonesia “sebenarnya celanamu itu juga nggak boleh mas” wah iyaa saya baru sadar. Padahal sebenarnya saya pernah baca juga lho pantangan-pantangan tersebut. Saya ingatnya memang nggak boleh pakai pakaian hijau dan saya dari rumah memang tidak memakai baju hijau, namun tak sadar ternyata celana saya yang berwarna hijau. 

Apa jangan-jangan ini yang menyebabkan kejadian membingungkan tadi terjadi. Kami pun sempat juga menceritakan kejadian tersebut pada sang juru kunci dan memang dibenarkannya. Beliau juga berkata kalau mendaki Lawu jangan dalam jumlah yang ganjil karena bisa berdampak salah satu atau beberapa bisa tersesat atau nggak bisa pulang katanya. Huuh, untunglah kami masih bisa selamat tak kurang satu apa pun. 
Pesan saya, pantangan memang terkadang nggak masuk akal. Akan tetapi pantangan dibuat tentunya ada sebab dan akibatnya yang sudah diperhitungkan matang-matang. Seperti pantangan makan daging kambing bagi penderita hypertensi yang berakibat fatal jika nekat dilakukan. Hal itu juga senada dengan pantangan dalam satu pendakian gunung, tak hanya Lawu, mungkin gunung lain juga punya pantangan dan hal yang harus dilakukan masing-masing. Jadi alangkah baiknya jika kita mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang gunung yang akan kita daki. Tak hanya mengenai jalur pendakiannya saja, namun pantangan dan kewajiban pendakian juga harus dipertimbangkan.


Salam

Ardiyanta








Komentar

  1. beginilah resiko kalau naik dengan pendaki yang ngebut. resiko tertinggal atau terpisah itu selalu ada. Kancamu ojo ditinggal Le! haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada faktor X nya kayake mas... Biasane terpisah yo wajar kok, ga terlalu jauh gt. Lah yg pas turun iku terpisah g wajar bgt.

      Hapus
  2. Keren jg,, nih jepretanya. Smakin mengukuhkan langkah saya menuju kesana..

    BalasHapus
  3. keren banget foto*nya..
    ceritanya jg seru banget..
    ahh gunung lawu emang bkin aku galauuu..
    pngen ksna.
    :'(

    BalasHapus
  4. Monggo2 silahkan dicoba mendaki Lawu... Tetap hati2 yaa...

    BalasHapus
  5. memang keren gan view nya, bikin ketagihan muncak lagi^^

    BalasHapus
  6. yap bner mbak... naik gunung emang addictive

    BalasHapus
  7. kapan2 kesitu ah keren bang lanjutkan...

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. Boleh2... Tuliskan sumbernya ya saat dishare

      Hapus
  9. Postingan yang sangat bagus, saya setuju dengan Anda 100%!

    BalasHapus
  10. Postingan yang sangat bagus, saya setuju dengan Anda 100%!

    BalasHapus
  11. Sangat jarang saya menemukan sebuah blog yang informatif dan menghibur seperti ini.

    BalasHapus
  12. saya tidak melakukannya untuk tujuan SEO , tetapi untuk belajar hal-hal baru.

    BalasHapus
  13. Blog Anda sangat penting bagi semua orang, teruslah berbagi.

    BalasHapus
  14. saya harus mengatakan bahwa secara keseluruhan saya benar-benar terkesan dengan blog ini.

    BalasHapus
  15. blog yang bagus dan informatif, yang berisi semua informasi dan juga memiliki dampak yang positif

    BalasHapus
  16. setahuku yang ga boleh hijau pupus ( hijau muda cerah ), ternyata hijau army juga ga boleh ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Jangan enggan beri kritik dan saran yaaa...!!!